Bab 55 Kamu Bisa Apa Sebenarnya Untukku 2

1317 Words
“Lihat dia! Sungguh menyedihkan. Inilah balasan bagi orang sombong sepertinya. Cantik apa? Sekarang, dia disandingkan dengan babi saja mirip! Atau jangan-jangan dulu, dia cantiknya modal operasi plastik dan riasan saja? Memalukan!” seru seseorang, tawanya lebih jahat dan keras. “Makan ini! Makan! Tuan Arkan sudah mau baik hati memberimu makan, ya, makan!” Kata-kata buruk datang dari berbagai arah sementara Casilda berusaha menari dan menari, tapi tetap saja jatuh terus ke lantai. Napasnya sudah terengah-engah, mata mengerjap-ngerjap lelah, dan keringat dingin membanjiri wajahnya. Kini dadanya sudah terasa amat sesak. Dia butuh pasokan udara segar, jika tidak pasti akan roboh! Casilda menggelengkan kepala mengusir tanda-tanda ingin pingsan. Tapi, bagi yang melihatnya di luar mengartikannya sebagai penolakan. Para tamu pun menjadi marah, semakin melemparkan ayam krispi itu di tubuh Casilda yang terduduk lemas di lantai. Tangannya naik di udara, meminta jeda sejenak. Tapi, mereka mengartikannya lain lagi. Sebuah tanda pemberontakan! “Tuan Arkan, babi sialan ini tidak mau menurut. Hukuman apa yang harus kita berikan kepadanya?” Mic disodorkan kepada Arkan. Masih dengan topeng di wajahnya, “jangan terlalu kejam. Biarkan dia istirahat dulu. Bukankah dia juga lapar? Mungkin dia tidak punya tenaga. Kita biarkan dia makan dan istirahat dulu. Bukan, begitu Ratu Nguik, nguik?” ledek Arkan yang masih duduk bersandar dengan sangat arogan di kursinya. Tawa jahat dan rendahnya terdengar membahana di ruangan besar itu melalui pengeras suara. Ledekan dan tawa itu membuat para tamu terbahak menjijikkan, semakin antusias membully Casilda. Beberapa mulai kembali melemparkan ayam krispi pada tubuh Casilda, seolah tengah memberikan makanan pada hewan menjijikkan di sebuah kandang yang bau dan tak terurus. Seorang tamu wanita bahkan maju dan meludah di hadapan Casilda, lalu menendangnya dengan penuh amarah. Siapa lagi kalau bukan tamu wanita yang sebelumnya berdebat dengannya? Casilda tidak melawan. Melawan artinya uang bisa saja melayang percuma. Tidak ada satu pun yang menegur wanita tadi mempermalukan Casilda seperti itu, sebaliknya, beberapa mulai meniru perbuatannya. Tawa dan tawa menggema, membanjiri mansion mewah itu. Casilda benar-benar menjadi badut menyedihkan di antara lautan pakaian-pakaian indah di sana. “Silakan makan. Bukankah kamu lapar? Di lantai di depanmu ada banyak makanan. Habiskan semuanya agar tenagamu pulih. Malam ini akan sangat panjang.” Dari yang semula menatap Casilda dengan pandangan dingin, Arkan lalu menegakkan kepala ke arah para tamu, suara dinginnya langsung berubah ramah dan penuh semangat, “nikmatilah pertunjukan malam ini. Senangkan hati kalian! Ingat! Aturannya hanya satu: boleh melakukan apa pun kepadanya, tapi tidak boleh ada luka di tubuhnya! Bukankah akan sangat merepotkan seandainya dia mulai macam-macam? Di masa lalu dia bermain licik. Jadi, kita juga akan membalasnya dengan cara yang sama. Ayo, tunjukkan improvisasi kalian balas dendam kepadanya! Kalian senang, aku juga akan senang! Kalian marah padanya, aku juga akan marah kepadanya....” Hati Casilda tertusuk perih, bagaikan lava yang mengalir turun ke perut. Inilah takdir bagi orang tidak berdaya dan miskin. Dipikirnya, penyiksaan menjadikannya asisten sehari adalah yang paling buruk, ternyata di atas langit masih ada langit. Di masa lalu, dia tidak memperlakukan orang seburuk ini. Mereka jauh lebih buruk darinya! Namun, untuk apa protes dan melawan? Hanya akan membuatnya kehilangan hal yang lebih penting untuk dipertahankan. “Hei! Cepat makan! Kamu tidak ingin membuat kami marah, kan? kamu dengar tadi? Kami senang, maka Tuan Arkan akan senang. Kami marah, maka Tuan Arkan akan marah!” “Benar! Cepat makan! Habiskan semua!” “Jangan melamun saja di situ, dasar babi bodoh! Cepat makan!” Seorang wanita bergaun merah, mewah, dan indah maju ke depan, lalu menendang potongan ayam krispis yang sudah diinjak-injaknya lebih dulu, kemudian meludahinya. Di balik topeng indahnya yang penuh bulu, wajahnya sudah seperti iblis yang tertawa puas menindas Casilda. “Makan,” titah Arkan dingin dari mic di kursinya, terlihat arogan dan tidak peduli dengan topeng iblis merah di wajahnya. Duduk dengan malas menanti pertunjukan menarik di depan sana. Dengan tangan gemetar dan sesak napas, juga kepala pusing berdenging, Casilda susah payah meraih potongan ayam di lantai. Tapi, karena bentuk tangan kostum tersebut menyulitkannya, dia pun menggunakan kedua tangannya. “Siapa yang menyuruhmu menggunakan tangan?” suara dingin dan mengintimidasi Arkan kembali terdengar di mic. Gelak tawa dan sorak sorai para tamu terdengar di kedua sisi Casilda, sepenuhnya mendukung ide itu. “Buka kepala kostumnya! Mana kita tahu dia makan atau tidak?!” teriak seorang tamu pria, mengompori adegan menyedihkan itu. Detik berikutnya, suara yang serentak bagai dikomando membahana di ruangan itu, sangat gembira dengan gelak tawa mengerikan: “BUKA! BUKA! BUKA!” “Buka kepala kostumnya,” titah Arkan lagi, sangat dingin dengan suara rendahnya yang penuh titah. Casilda menurut. Dengan kedua tangan gemetar, membuka kepala kostum itu perlahan, dan nampaklah wajahnya yang penuh keringat. Tiba-tiba saja, seseorang, entah dari mana meludah ke wajahnya, mengejutkan Casilda hingga mata terbelalak kaget. Dipikirnya, hatinya sudah kebas, tapi ternyata perlakuan mereka ini sungguh menikam jantung wanita berkepang satu ini. Dia hanya ingin agar adiknya mendapat uang biaya operasi, bahkan hanya dipinjamnya dengan bunga, bukan diminta secara cuma-cuma. Kenapa Arkan mempersulitnya seperti ini? Suara serentak pun kembali terdengar: “Makan! Makan! Makan!” Penglihatan Casilda sudah tidak beres. Jadi, dengan kedua tangan menahan tubuhnya, nyaris mencium lantai, meraih sembarangan sepotong ayam krispi di depannya menggunakan mulutnya secara langsung. Beberapa tamu mulai tertawa ketika melihat Casilda melakukan gigitan pertamanya, dan sebagian tamu wanita mulai mual melihat aksi itu. Beberapa ayam krispi itu sudah kotor diinjak-injak dan diludahi, tapi Casilda masih saja memakannya. Sebagian besar tamu tertawa keras dan puas seperti orang gila yang kesurupan, dan di lantai itu, bukannya Casilda sanggup memakan ayam-ayam kotor di depannya, dia hanya berusaha menahannya dengan memakan tanpa bernapas. Tapi, baru beberapa suap, tiba-tiba saja dia muntah. Teriakan jijik nyaris serentak terdengar dari berbagai dudut ruangan. Casilda tidak sanggup memakannya, tapi terus memaksakan diri, lalu kembali muntah. Kali ini semakin banyak, apalagi bau asam dari muntahannya menguar di udara, dan kondisi Casilda yang tidak bagus. Para tamu sudah mulai mengeluarkan sumpah serapah mereka, berteriak dan memaki Casilda yang dinilainya sangat menjijikkan. Mereka memprotes dan marah dengan apa yang tersaji di depan mata mereka. Ini membuat alis Arkan bertaut keras. Sesuai apa yang dikatakannya tadi: tamu senang, maka dia pun akan senang. Begitu pun sebaliknya. Maka, dengan nada dingin yang terdengar marah dan mengancam, Arkan membuka mulut, “kamu bisa apa sebenarnya untuk membuatku senang? Dari tadi kamu hanya melakukan hal-hal bodoh dan tidak berguna. Membuat tamu-tamu terhormatku merasa tidak nyaman.” “Mungkin dia haus, Tuan Arkan!” Selepas suara itu yang terdengar tiba-tiba, si pemilik suara, yang ternyata adalah seorang pria, menyiram Casilda dengan minuman dari gelasnya. Warna merah dan bau manis menghiasi rambut dan wajah wanita berkostum itu. “Benar. Benar. Mungkin dia tidak hanya lapar, tapi juga haus. Berikan dia minum!” Melihat Arkan hanya tersenyum lebar di singgasananya, semua tamu pun memberanikan diri. Melihat hal itu sebagai lampu hijau untuk melancarkan aksi masing-masing. Segera, semua menyiram sisa minuman yang mereka miliki ke arah Casilda yang masih muntah dalam keadaan pusing. Gelak tawa dan musik mengejek dengan suara khas hewan merah muda itu membuat isi ruangan itu menjadi sangat dramatis. Sekujur tubuh Casilda sudah mendingin luar-dalam, meski demam panasnya masih saja tetap bertahan. Bibirnya gemetar tak terkendali, hendak mengatakan sesuatu, tapi malah melihat Arkan memberikan perintah dengan sebuah gerakan tangan di udara. Apa lagi yang akan dilakukannya? Casilda menahan perutnya untuk tidak muntah. Begitu Casilda masih menerka-nerka apa yang menjadi perintah pria itu, seorang pelayan laki-laki bertopeng putih maju ke depannya, menyiramnya dengan air seember. Casilda langsung menggigil! Benar-benar kejam! Dia memerintahkan pelayan itu menyiramnya dengan air es?! “Masih haus?” sinis Arkan dari mic, suaranya sedingin air yang disiramkan di tubuh Casilda, tersenyum menyiringai sangat jahat. “Jika masih haus, siram lagi kepadanya,” lanjut Arkan tanpa perasaan, terlihat ogah-ogahan dan malas. Gelak tawa menusuk telinga Casilda, mereka seperti lautan setan-setan yang tertawa puas dengan penyiksaan yang sudah diberikan kepadanya. Apakah semua orang di ruangan ini masih manusia? Ke mana hati nurani mereka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD