Bab 93 Tidak Butuh Bantuannya

2063 Words
Dokter Ken menghela napas berat, menatap Arkan sambil menggelengkan kepala heran. Bersedekap di depan sang aktor. “Apa yang kamu lakukan kepadanya?” “A-aku tidak melakukan apa pun kepadanya! Jangan sembarang menuduh, ya!” koar Arkan galak. Meski terlihat galak dan tegas, tapi kuping pria ini memerah mengingat perbuatan mesumnya semalam yang dilakukannya secara diam-diam kepada Casilda. Dia seperti tertangkap basah! Dokter Ken baru saja selesai memeriksa Casilda, dan sebenarnya yang ditanyakan oleh sang dokter adalah apa saja yang diperintahkan oleh Arkan kepada wanita berkepang satu itu sampai tepar hebat seperti sekarang. Dia tahu jelas kalau Arkan kadang memberikan perintah tidak masuk akal kepada para bawahannya jika sedang kesal. Dugaannya, sang asisten pribadinya menjadi alat pelampiasan kekesalannya, mengingat beberapa skandal baru-baru ini yang beredar di internet. Mungkin karena rasa bersalah di hatinya, Arkan malah tidak sadar kalau bahasa tubuhnya mengatakan hal yang membuat sang dokter mencurigainya. “Sungguh?” mata dokter Ken memicing tajam. “Ya! Tentu saja!” Sang dokter ber’um’ pelan bak seorang detektif yang tidak percaya sama sekali. “Saat aku merawatnya pertama kali, dia juga mengalami demam yang parah. Meski kali ini tidak separah dulu, tapi tetap saja demamnya tidak bisa dianggap remeh. Kalau kamu terus menyiksanya, lama-lama dia pasti akan kena penyakit types.” “AKU TIDAK MENYIKSANYA!” gerung Arkan tinggi. Suara itu membuat asisten pribadinya yang menggeliat pelan, kaget hingga setengah terbangun. “Ugh... haus...” gumamnya lemah, mengingau dalam tidur Kedua pria ini kaget, tapi yang lebih kaget adalah sang aktor. Kedua alisnya naik dengan cepat, segera menggertakkan gigi dan bergegas ke sana meraih gelas seperti tengah mencabut nyawa seseorang saja. Air di dalam gelas tumpah sedikit ke lantai. “Pelan-pelan minumnya,” omel Arkan, ketika menyodorkan pipet ke mulut Casilda untuk membantunya minum. Sang dokter yang berdiri sambil bertopang dagu melihat pemandangan tidak biasa itu, menautkan kening penuh pikiran menarik. Seolah-olah menebak apa yang terjadi di sini. Suara batuk Casilda yang tersedak air, membuat nadi di pelipis sang aktor berdenyut kesal. “Aku, kan, sudah bilang, pelan-pelan minumnya!” bentak Arkan tak sabaran. Di saat tengah meminum air itu dengan mata terpejam, kesadaran Casilda jauh lebih jelas. Kedua matanya dibuka pelan, samar-samar dia baru menyadari ada wangi kayu manis lembut dan bunga segar yang menenangkan menusuk hidungnya. Dia sepertinya ingat sekilas wangi ini yang baru-baru saja hadir di sekitarnya. Ketika menolehkan kepalanya, wajah tampan Arkan dengan kening bertaut kesal menjadi pemandangan pertama menghiasi matanya. Hati Casilda seketika berpilin jengkel, tapi sekujur tubuhnya tidak bisa bergerak banyak. Akhirnya hanya bisa memejamkan mata menahan kemarahan ingin meledak, tangannya menolak kasar gelas di dekatnya. Air tumpah sedikit. “Kenapa berhenti? Bukannya kamu haus? Cepat habiskan!” tuntutnya dengan mode tirani. Sang dokter yang melihat Arkan begitu pemaksa, menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah melihat anak kecil keras kepala! “Aku tidak butuh bantuanmu... pergi...” tolak Casilda tegas, langsung saja membuat wajah Arkan menggelap kejam. “Apa katamu?” Nada suaranya merendah seolah langsung dibanting ke titik beku. Sangat dingin dan datar, tapi dengan cepat sang dokter menepuk sebelah bahunya, menghentikan apa pun yang hendak dilakukan pria itu. “Jangan memaksanya. Dia masih lemah. Sebaiknya kita tunggu kepala pelayan pulang membeli obat dan infus untuknya. Dia itu orang sakit, Arkan. Jangan terlalu memaksa seperti itu.” Arkan menoleh tajam. Tatapan dingin tak bersahabatnya penuh protes seolah berkata: ‘Untuk apa kamu ikut campur?’ Sang dokter paham, segera melanjutkan, “aku adalah dokternya. Dia adalah tanggungjawabku. Kalau dia meninggal di bawah pengamatanku, apa kamu bisa tanggungjawab?” “A-apa? Me-meninggal?” gagap Arkan, wajah suramnya terlihat linglung dan menakutkan. Sang dokter tersenyum canggung, mengangguk cepat. 'Wuah.... menarik sekali. Baru kali ini aku melihat dia seperti ini kepada seorang wanita. Dengan Lisa saja dia tidak seperhatian ini,' batin sang dokter takjub. Sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman ganjil. Casilda yang masih mengerang oleh demam, hanya bisa mendengar percakapan itu setengah sadar. Pikirannya yang panas dan seperti listrik korslet, membuatnya agak susah mencerna perkataan mereka berdua. Sebenarnya, Casilda jatuh sakit, bukan hanya karena stres dan kelelahan gara-gara ulah Arkan, melainkan karena sudah merasa hampir depresi dengan masalah yang diberikan oleh ayahnya. Menikah paksa atas dasar hutang kepada seorang pemilik casino yang diyakininya tidak setampan dan sehebat yang didengarnya, membuat Casilda mengalami kejatuhan mental yang sangat serius. Apalagi dengan keputusannya untuk jual diri ke klub malam. Juga dengan adiknya yang harus dioperasi dalam waktu dekat yang hasilnya entah akan jadi seperti apa. Semua pemikiran itu membuat Casilda seketika pusing dan akhirnya demam hebat sekali lagi. Di kamar kecil itu, kedua pria tadi berbicara lebih banyak soal bagaimana merawat Casilda. Sang dokter yang sebenarnya diam-diam sangat penasaran dengan hubungan keduanya, hanya bisa menyimpan rasa ingin penasaran karena tahu kalau Arkan pasti tidak akan mau menjawab pertanyaan pribadi darinya. “Baiklah. Aku akan kembali ke rumah sakit. Sudah paham, kan, apa yang kujelaskan kepadamu?” tanya sang dokter mengonfirmasi, berdiri di depan pintu kamar Casilda dengan mata melirik sebentar ke arah tempat tidur. Arkan dalam mode bersedekapnya, mengerutkan kening kesal. “Aku tidak bodoh! Hanya saja sudah tidak lama melakukannya!” Dokter Ken tertawa kecil, sedikit merasa geli, menepuk sebelah bahu pria di depannya dengan lagak sok kebapakan, berkata dengan nada menarik setengah menggoda, “sungguh sayang sekali, alumni terbaik nomor satu di fakultas kedokteran kita malah berakhir seperti ini. Semua ilmumu jadi melayang sia-sia. Andai kita bisa bertukar otak, ya?” Tangan dokter Ken dihalau cepat dengan perasaan jengkel. “Apa-apaan kamu? Jangan sentuh aku!” koar Arkan galak, nadi di pelipisnya berdenyut kesal. Yang dikatakan oleh dokter Ken memang benar adanya. Dirinya adalah alumni terbaik nomor satu di fakultas kedokteran di angkatan mereka. Tapi, memilih jurusan kedokteran dan menjadi seorang dokter, sejak awal bukanlah keinginannya. Tidak peduli seberapa cerdas otaknya dalam bidang itu, jika bekerja dengan hal yang tidak disukai, jelas akan memberikan tekanan luar biasa, bukan? Dia sangat membenci keadaan tersebut! Itu sebabnya, saat mendapat kesempatan menjadi aktor dan model, Arkan segera mencengkeram kesempatan itu tanpa ragu. Sebagai konsekuensi keputusannya, hal-hal terkait dunia kedokteran dan medis perlahan pupus dari otak dan alam bawah sadarnya, selayaknya seorang tahanan yang baru lepas dari belenggu penderitaan. Tidak mau repot-repot memikirkannya lagi. Namun, saat mendapati Casilda ternyata sangat mudah tumbang seperti saat ini, ada perasaan bersalah dan kesal ketika tidak bisa berbuat apa pun gara-gara keragu-raguan di dalam hatinya dengan ilmu medis yang dimilikinya sekarang. Orang bilang, sebagus apa pun dirimu pada suatu hal, jika kurang praktek, lambat laun pasti akan menjadi tumpul. Inilah yang terjadi kepada kemampuan medis sang aktor. Sudah bertahun-tahun dia tidak menyentuh dunia medis, jelas beberapa hal sudah dilupakan secara alami. Sang dokter yang melihat raut wajah kesal dan gelisah masih belum juga hilang di wajah lawan bicaranya, akhirnya menghela napas berat, menasihatinya kembali. “Karena kamu masih tahu cara memasang infus, mungkin aku hanya bereaksi terlalu berlebihan saja,” goda dokter Ken, tertawa jahil mendapati Arkan kini merajuk sebal menatapnya dengan tatapan berkobar. “Kamu datang ke sini ingin memeriksa pasien, atau ingin menghinaku terus, hah?” Dokter Ken menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan cepat di udara, “jangan marah! Jangan marah! Aku, kan, hanya mengkhawatirkan pasienku di bawah pengawasanmu saja.” Raut wajah sang dokter lalu berubah lunak, kedua tangan berada di saku jas dokternya, berkata dengan nada bersahabat, “aku hanya sangat menyayangkan kemampuan medismu selama ini, Arkan Quinn Ezra Yamazaki. kamu bisa menolong banyak orang dengan dedikasimu. Apalagi, kamu pernah diprediksi bisa menjadi dokter bedah berbakat, bukan?” “Diam! Jangan ungkit hal itu lagi! Kamu mau kembali ke rumah sakit atau tidak?” geramnya menggelap kesal, wajah ditundukkan dengan tatapan tajam. Mata dokter Ken melirik sekali lagi ke dalam kamar, mengedikkan bahu cuek, lalu menggelengkan kepala dengan perasaan menyayangkan sesuatu. “Jaga dia baik-baik. Jika dia seperti itu terus, mungkin dia bisa koma di rumah sakit.” “Jangan berlebihan,” koar Arkan, menahan kekesalan yang sebentar lagi rasanya mau meledak mendengar mulut cerewet temannya itu. Sudut bibir sang dokter tertarik santai, “yah, mau percaya atau tidak. Itu terserah dirimu saja. Aku rasa, kalau memang kemampuan medismu masih ada meski hanya sedikit, seharusnya paham kondisi tubuh wanita itu sangat tidak biasa. Kalau begitu, aku pergi dulu. Hubungi aku jika sesuatu terjadi padanya lagi. Tidak usah mengantarku ke pintu, jaga saja wanitamu itu. Ok?” Sang dokter pamit, melambaikan tangan dengan wajah jahil tersenyumnya. Perkataan dan nada penuh godaan itu sontak membuat Arkan tertegun syok dengan bola mata membesar kaget, wajahnya memerah cepat, entah marah atau malu. “AKU BILANG, JANGAN BICARA SEMBARANGAN!” teriaknya murka. Sang dokter tidak berbalik, cuek menanggapinya. Tangan kanan melambai di udara sebagai respon atas omelannya itu. “Sialan!” gerutu Arkan dalam mode berbisik, meringis kesal karena merasa kalau sang dokter sudah mengendus sesuatu di antara dirinya dan Casilda. Dengan perasaan cemas memikirkan kata ‘meninggal’ dan ‘koma’ sebelumnya, Arkan segera membalik tubuhnya melihat Casilda yang masih menggeliat resah dalam diam sambil kening ditautkan dalam seolah menahan sakit tertentu. Kedua pupil sang aktor menyusut cemas dan bergetar, perasaan ragu-ragu muncul di hatinya. Kakinya kemudian melangkah mendekat ke arah ranjang. Tangannya segera memeriksa dahi sang wanita kembali, tapi kaget begitu tangan Casilda menghempaskannya begitu cepat sambil bergumam tidak jelas. “Hei! Kamu sedang sakit! Aku hanya sedang memeriksa suhu tubuhmu saja! Jangan berpikir yang lain!” Dadanya terasa mau meledak menghadapi tingkah angkuh Casilda yang meski sedang sakit, tapi tetap saja tidak mau mengalah! Benar-benar wanita barbar! Casilda membuka matanya, merasa sedikit lengket dan berat karena kelamaan memejamkan mata. “Aku sudah bilang... tidak butuh bantuanmu. Jangan sok perhatian. Membuatku merinding saja...” ledek Casilda dengan suara serak pelannya, menatap sang aktor dengan wajah lemah yang dihiasi oleh ekspresi jijik. Arkan sontak saja merasa ingin mencekik leher wanita di depannya! Tapi, ingat kembali dengan ucapan dokter Ken soal ‘meninggal’ dan ‘koma’, alhasil tangan kanannya hanya bisa dikepalkan kuat-kuat hingga buku-bukunya memutih, urat-urat hijaunya terlihat jelas. “Jangan merasa kepedean, Gendut! Ingat! Kamu masih punya hutang kepadaku! 1,5 milyar beserta bunganya! Paham?!” Mendengar ancaman dingin itu, Casilda yang terlihat kepayahan dan raut wajah lemah tertawa pelan dengan nada mengejek diri sendiri. Tuh, benar, kan? Pria itu menghitung hutangnya beserta bunganya! Dia juga tidak punya belas kasihan sama sekali sudah membuatnya seperti ini! Sialan! Sebelum Arkan mengomel kembali untuk menjatuhkan harga diri Casilda, sang wanita segera memotongnya dengan suara lemah yang serak. “Tidak usah cemas. Aku tidak akan mati sebelum membayar semua hutang-hutangku kepadamu.” Arkan tersenyum jengkel, langsung ingat kepada telepon beberapa saat lalu. “Bagaimana kamu akan melunasinya? Jual diri ke klub malam Golden Circle? Apa itu ide terhebat yang kamu miliki? Kamu pikir Elric mau menerimamu begitu saja? Babi sepertimu lebih cocok di kubangan lumpur! Dasar badut!” ledeknya dengan wajah penuh hina, angkuh dan menggelap congkak. Seringainya sangat jahat! Casilda kaget mendengarnya, tapi tidak terlihat begitu kaget karena sekarang dia terlalu lemah untuk memberikan reaksi. Suara tawa putus asa wanita ini mengalun di udara, menyindirnya dengan sinis, “dari mana kamu tahu? Jangan bilang kamu seenaknya menyentuh ponsel orang lain tanpa izin. Kamu bukan pencuri, kan?” “Jaga mulutmu, Gendut! Sekali lagi bicara yang tidak pantas, aku akan merobeknya,” ancam Arkan dingin, memicingkan mata kejam. “Heh... dasar sombong,” sinis Casilda dingin, lalu dengan susah payah membalik tubuhnya menghindari tatapan pria itu. Kedua bola mata Arkan membola syok. “BERANI SEKALI KAMU BERBALIK SEPERTI ITU DI DEPANKU!” gerung Arkan murka, tangan mengepal kuat. Casilda tampak tenang, tidak berbalik kepadanya sambil berkata lemah setengah serak dan pasrah: “Keluarlah.... Aku benar-benar tidak butuh bantuanmu, Tuan Arkan. Nanti juga akan sembuh sendiri. Tolong beri aku sehari saja untuk istirahat. Baru setelah itu kamu boleh menyiksaku lagi.” Arkan terdiam syok. Masih memunggungi Arkan, Casilda melanjutkan lagi, suaranya semakin rendah dan melemah, “masalah hutang itu... aku pasti akan segera melunasinya sesuai kesepakatan kita. Tidak peduli jika harus menjadi apa pun di klub malam itu untuk menghasilkan uang.” Hening. “Terima kasih... terima kasih sudah meminjamkan uang berhargamu, Tuan Arkan....” lanjut Casilda dengan nada berbisik sendu, lalu akhirnya terdiam. Arkan yang dadanya mulai naik turun, meringis gelap menahan amarah, lalu menggertakkan gigi sembari berteriak murka: “BAIK! JUAL DIRI SAJA KALAU BEGITU! CEPAT LUNASI SEMUA HUTANGMU, GENDUT! DAN PERGI SELAMANYA DARI HADAPANKU!” Suara pintu dibanting terdengar keras. Casilda yang masih tidak mau melihat Arkan, membuka mata dengan tatapan lemah tak berdaya. Bulu matanya bergerak sedih. Ekspresi wanita ini sangat suram.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD