Bab 48 Tidak Bohong, hanya Tidak Mengatakan Semuanya Saja

1503 Words
Sepulang ke rumah, Casilda membeli banyak makanan enak untuk ibunya. Uang yang diberikan oleh Arkan memang tidak begitu banyak sebagai jaminan, tapi itu sedikit membuatnya bisa percaya bahwa ucapannya bisa dipegang meski hanya setipis kaca. 10 juta? Itu sangat jauh dari 500 juta. Ketika menerima pesan notif transferan itu, Arkan memberikan sebuah pesan padanya. Isinya sangat menyebalkan penuh ancaman. Arkan: Aku beri 10 juta pertama saat ini. Setibanya di mansion nanti, aku akan beri 10 juta lagi. Jika tidak percaya, maka uang 10 juta yang kukirim barusan, harus kamu kembalikan 3 kali lipat dalam 3 hari. Dasar biadab! Nadi di pelipis Casilda berdenyut kesal dengan kelicikan pria itu. Di saat jalan melewati halaman rumah yang ditempatinya, Casilda menghitung-hitung uang yang sudah dimilikinya saat ini. Di bank, dia punya 43 juta. Tidak pernah disentuhnya sampai detik ini. Lalu kemarin dia mendapat 5 juta setelah drama sepatu yang didapatinya, dan hari ini 10 juta sebagai jaminan. Total yang terkumpul sekarang adalah 58 juta rupiah. Masih tersisa 442 juta lagi untuk biaya operasi itu. Untung saja dia punya simpanan di bank, sisa uangnya nanti setidaknya bisa dibayar untuk biaya rawat inap di ruangan mahal itu. Sakit kepala menusuk otaknya. Sudah mau operasi, malah masuk ruangan intensif yang berbiaya mahal. Casilda sedikit menyesal tidak minta 600 juta dari pria berengsek itu. Wajahnya mengerut dipenuhi penyesalan, tapi segera berlalu. Tidak mengapa. Yang penting adiknya bisa dioperasi dulu. Masalah lainnya bisa minta bantuan dokter Adam untuk membayar cicil sisanya seperti biasa. Kedua kaki perempuan berkaos orange lengan panjang ini berhenti. Termenung dengan tatapan linglung. Sekarang, hutangnya di rumah sakit sudah ada berapa juta? Dia belum melakukan hitungan bulanan untuk akhir bulan ini. Spontan saja hatinya mendingin hebat, mata menjadi sendu. Selain berhutang di rumah sakit, ke depannya dia akan berhutang pada Arkan juga. Itu artinya, dia tidak boleh jatuh sakit lagi. Harus bekerja lebih keras daripada sebelumnya. Dia pasti bisa melakukannya! Selama ini dirinya sudah berjuang sendirian, tanpa ada yang membantunya membiayai keluarganya. Tapi... sampai kapan dia bisa bertahan? Terjebak dalam sumur kemiskinan dan keadaan gawat seperti ini membuatnya sangat kebingungan. Andai dia dulu merawat diri sambil bekerja, mungkin bisa mencari pria yang mau memelihara dirinya. Pikiran buruk itu melintas sekejap dalam otaknya, langsung disingkirkan dengan cepat. “Apa-apaan aku ini?” ucapnya pada diri sendiri, menggeleng cepat. Tapi, dia langsung diam seperti batu mengingat ucapan gilanya sendiri untuk mendapatkan uang dari aktor sombong itu. Jual diri.... Apa dia sanggup suatu hari melakukannya? Dalam hati Casilda tertawa dingin. Tidak dipungkiri olehnya bahwa masih ada banyak orang yang berbaik hati kepada keluarga mereka, tapi jika sudah menyangkut uang, semua akan mundur perlahan dengan berbagai alasan. Casilda sudah pernah mencobanya dulu, dan mereka memberikan gelagat penolakan halus. Tangan mengepal kuat, wajah tersenyum ringkih. Uang memang seperti pedang. Bisa menjatuhkan, bisa menolong. Sialnya, dia sedang dijatuhkan oleh uang saat ini. “Casilda? Sudah pulang? Ibu tunggu video call-mu tapi tidak ada sama sekali.” Ibunya keluar begitu menyadari Casilda berdiri lama di halaman depan rumah mereka, berjalan dengan wajah penuh harap dan sedikit bodoh. Kaos lengan panjang cokelat muda dan rok cokelat tuanya terlihat baru di tubuhnya, sudah siap untuk dipamerkan pada sang putra. Casilda tersenyum kecil melihat ibunya yang sangat bersemangat ingin bertemu Danish, tapi senyum itu langsung berubah menjadi ironi. 'Bu... Danish sedang berjuang melawan maut. Maafkan aku...' batin Casilda yang mau tak mau harus menyembunyikannya dari sang ibu. Tidak tahu bagaimana menyampaikan berita mengagetkan itu. Dia sendiri hampir tidak sanggup menerima kenyataan, bagaimana dengan ibunya yang punya gangguan mental? “Dokter melarang ada gawai masuk ke kamar Danish, bu. Sayang sekali. Katanya takut mengganggu kinerja kerja mesin yang ada di dalam ruangan itu.” “Hah? Menggangu mesin? Mesin apa? Apa adikmu parah?” Wajah linglung ibunya langsung terlihat gelap dan suram, napas tertahan. “Bukan, bu! Bukan! Maksudku, Danish, kan, tidak sendirian. Ada pasien lain di ruangan itu. Jadi, demi tidak mengganggu kerja mesin itu, tidak boleh ada peralatan elektronik masuk ke sana!” terang Casilda cepat, “Oh... begitu... tapi... dulu tidak begitu, kok.” Tiba-tiba saja, ibunya bisa berpikir dengan logika yang bagus. Toh, selama ini mereka memang sesekali melakukan video call tanpa ada masalah. “Sekarang ada aturan baru, bu. Ruangan Danish sudah diganti menjadi lebih baik demi kecepatan penyembuhannya.” “Oh, baiklah. Itu artinya ibu tidak akan bisa melihat Danish lagi kali ini?” ucapnya sedih. “Ibu masih bisa kirim surat untuknya, kan? Nanti aku akan memberi Danish foto ibu. Aku rasa itu juga lebih bagus. Danish bisa menyimpannya, membacanya ulang di kala bosan dan sendirian.” “Ah, benar juga! Danish pasti kesepian. Putraku yang malang...” Casilda keringat dingin, dia bohong dengan tidak mempertimbangkannya dengan baik. Tapi, dia, kan, tidak bohong soal pengaruh ponsel yang bisa memberikan dampak buruk pada alat-alat medis di sana. Dia hanya sedikit memelintir fakta yang ada, alias tidak berkata yang sebenarnya. Tidak bohong, kan? Hanya tidak mengatakan semuanya saja. Lagi pula, adiknya memang masuk ke ruangan yang tidak boleh sembarangan bisa kontak apa pun dari luar. “Nanti, kalau Danish sudah baikan, aku akan meminta dokter Adam untuk dipindahkan ke ruangan biasa saja. Biar ibu bisa video call lagi dengannya.” “Baiklah! Semoga Danish cepat lebih baik. Ibu sudah rindu dengannya!” Kedua bahunya digerak-gerakkan manja, wajah merajuk sedih dan sebal. “Danish kalau melihat ibu begini pasti ketawa.” Sang ibu terkekeh dengan tampang bodohnya, lalu melirik kantongan yang dibawa oleh Casilda. “Apa ini? Makanan enak, ya?” Hati Casilda meradang, tersenyum pahit melihat perhatian ibunya kini teralihkan dengan kantongan yang dibawanya. “Iya. Kita makan siang dulu, ya, bu. Bu Juli masih ada di dalam, kan?” Ibunya mengangguk cepat penuh antusias. “Bu Juli sedang goreng ikan hasil pancingan suaminya kemarin!” “Loh? Katanya sibuk mau urus kawinan selama seminggu ini? Kok, malah pergi mancing? Bukannya kalau Pak Yusuf pergi mancing bisa seharian penuh?” Casilda melongo. Suami Bu Juli, Pak Yusuf adalah seorang penghulu yang sangat sibuk, karena sering keluar menikahkan orang-orang sampai ke kota sebelah, dan anak-anak Bu Juli juga sibuk kuliah semua. Jadi, Bu Juli sangat cocok menghabiskan waktu dengan ibunya selama ini. Tentu saja selain keramahtamahan dan kebaikan hatinya. “Iya. Cuma kemarin, kok, senggangnya. Katanya kawinannya batal gara-gara calon suaminya ternyata diam-diam sudah punya istri 3 orang. Keluarga calon istrinya langsung tidak setuju. Batal, deh. Ibu tadi barusan dengar dari Bu Juli. Pak Yusuf sampai pusing lihat 3 istri calon mempelai pria didatangi ke kantor buat batalin acaranya.” Casilda hampir terbahak, lalu tersenyum kecil. “Ternyata ibu suka gosip juga dengan Bu Juli. Apa ibu selalu bergosip seperti ini? Itu tidak baik, bu,” jelasnya dengan nada suara santai, menggiring sang ibu masuk ke dalam rumah. “Tahu, kok! Pak Yusuf juga bilang begitu. Tapi, kan, kita mau bicara apa lagi kalau ketemu? Tentu gosiplah.” Kali ini Casilda benar-benar terbahak melihat ekspresi sang ibu yang sedikit melucu penuh semangat. “Oh, ya? Kamu masih demam, nak? Kamu mau antar pesanan, kan, sore nanti?” Sang ibu mendekat, mengamati wajah Casilda sungguh-sungguh dengan raut wajah bodohnya. “Sudah mendingan, bu. Habis makan nanti, aku akan minum obat dan tidur sejenak baru datang ke kedai, kok,” terangnya menenangkan, meski sebenarnya demamnya saat ini naik-turun setelah mendapat kabar tiba-tiba mengenai adiknya. “Oh... apa ibu bisa ikut bantu kamu antar pesanan? Sesekali saja tidak apa-apa, kan?” “Ibu ini. Ada-ada saja. Hahaha!” Ibu dan anak ini berjalan masuk ke dalam rumah dengan perbincangan kecil mereka, lalu disambut oleh Bu Juli yang baru saja selesai dengan gorengan ikannya, tersenyum kecil dan menyapa keduanya yang baru masuk. *** Di tempat lain, di sebuah tempat judi terkenal, sebuah kaki melayang keras ke wajah seorang pria tua yang mabuk, jatuh menghantam lantai dengan muka lebih dulu. Memar sudah banyak menghiasi wajahnya. Bau alkohol dan darah menyatu di tubuhnya, menguar ke udara menusuk hidung. “Saya akan bayar! Saya akan bayar! Tolong! Tolong! Biarkan saya main satu kali lagi!” pinta pria tua yang berpakaian kemeja garis-garis biru tua berantakan dan celana jeans hitam. “Apa? Biarkan kamu main satu kali lagi? Apa kamu tidak ingat hutangmu sudah berapa, pria bau tanah? Ternyata kamu juga suka berhutang di kota sebelah!” Sebuah tendangan mengenai wajah pria itu sekali lagi, mulutnya mengeluarkan darah, langsung terbatuk parah. “Uhuk! Ermm....Aku... aku pasti akan bayar! Pasti akan bayar! Jadi, biarkan aku main satu kali lagi! Kali ini, aku pasti akan menang!” Pria yang menjadi lawan bicara pria tua di lantai ini adalah pria bertubuh besar, lebih tepatnya seorang penjaga sebuah casino dalam seragam hitam angkuhnya. “Kamu mau bayar bagaimana? Kamu sudah tidak punya apa-apa lagi, malah menipu orang! Berani-beraninya mencuri sertifikat rumah orang dan mengaku milikmu! Apa kamu tahu siapa yang kamu curi sertifikatnya itu? Dia punya hubungan kuat dengan kepala polisi di kota ini!” Sekali lagi wajahnya ditendang keras, lalu diinjak dengan kuat. Penampilan pria tua itu sangat mengenaskan. “Ampun! Ampun! Saya akan bayar semuanya! Sekali menang, saya pasti bisa bayar semuanya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD