Dendam Terbaru

1016 Words
“Sialan! Mimpi apa, sih, aku semalam?!” “Selamat pagi, Pak Arlo. Ini pegawai baru yang saya bilang kemarin,” kata Hernanda sebagai kepala divisi marketing. ”Oh, Hai, Julia!” sapanya seolah sudah mengenal si pegawai baru, padahal Hernanda sendiri belum memperkenalkannya. “Dia beneran Arlo. Orang yang dulu aku bully habis-habisan bersama gengku. Terus kenapa dia bisa segagah dan setampan ini? Dia benar jadi bos di sini?!” Well. Kali ini Julia benar-benar sudah jatuh tertimpa tangga. Dia bukan sekedar Bos saja bagi Julia, dia adalah cowok yang sering menjadi bulan-bulanan gengnya Julia semasa SMA. Arlo Sanjaya. Siswa yang dulu tidak culun, sangat keren untuk dibilang seorang siswa, tetapi itu yang membuat Julia tidak suka, kepopulerannya. “Perkenalkan nama saya Julia. Saya pegawai baru di kantor ini dan semoga kehadiran saya dapat membawa pengaruh baik untuk perusahaan,” ucap Julia dengan rasa segan. Sang Bos menyunggingkan senyum miringnya dan itu membuat jantung Julia berdegup sangat kencang. “Bisakah saya berbicara dengan pegawai baru secara empat mata? Saya ingin berkenalan dengannya lebih dekat,” kata Arlo. Hernanda dengan sigap pun menunduk dan pergi dari ruangan. Arlo pun mulai menatap intens perempuan di hadapannya. Kepalanya dia miringkan dan senyuman miring semakin tercipta di wajahnya yang tampan. “Benarkah yang saya lihat sekarang? Seorang Julia menundukkan kepalanya di hadapan saya,” katanya dengan suara yang rendah. Diakhiri dengan tawa yang meremehkan Julia. Julia melirik ke atas, melihat wajah Arlo yang semakin puas. Pria itu mulai berjalan mendekat dan Julia pun semakin tertunduk. “Ke mana perginya Julia yang arogan?” ‘Tuhan, tolong buat saya kuat untuk saat ini. Saya butuh pekerjaan.’ “Saya kasih dua pilihan untuk kamu.” Arlo mendekatkan wajahnya agar dia bisa berbisik. “Pergi dan cari pekerjaan baru atau bertahan dan memuaskan saya dengan hasil kerjamu agar tidak ada pembalasan di tempat kerja.” Sudah sangat jelas pergi adalah pilihan yang tepat. Seorang Julia yang selalu mementingkan gengsi ketimbang uang tidak mungkin mau menerima tantangan. Apa jadinya jika Julia gagal dan malah malu gara-gara itu? Julia pun mulai mengangkat wajahnya dan sontak membuat Arlo memundurkan tubuhnya. “Saya akan bertahan di sini. Saya yakin bisa membuat perusahaan ini bangga karena telah menerima kehadiran saya sebagai pegawai marketing. Saya juga tidak akan mengecewakan Bapak selaku pemilik perusahaan. Saya akan membuat Pak Arlo terkesan dengan kinerja saya.” Arlo dengan senang hati bertepuk tangan. Tiga tepukan, lalu berhenti dia bertepuk. “Sangat percaya diri. Baiklah, akan saya beri kesempatan. Satu pesan untuk kamu, jangan kecewakan saya atau pemecatan secara langsung di hadapan para karyawan akan terjadi di perusahaan ini.” “Bagaimana kalau hasil penjualan justru meningkat tajam?” Ancam Julia. Terdiam, Arlo mengatupkan bibirnya dengan cepat. “Apa yang akan saya dapatkan jika hasil penjualan meningkat tajam?” tanya Julia sekali lagi. Senyum miring mulai tercipta di wajahnya. “Saya yakin hasil kerja saya tidak akan mengecewakan. Pasti meningkat daripada sebelum ada saya di sini. Jadi, apa yang akan perusahaan berikan kepada saya si pembawa kebaikan ?” “Jangan senang dulu, Nona Manis!” “Nona Manis? Sejak kapan seorang Arlo bisa memuji orang? Bukannya dulu kamu selalu menghina semua orang?” Julia dibuat tertawa olehnya. “Itu sebenarnya hanya hinaan yang dihias sebagai pujian. Kamu tidak ada manis-manisnya jadi perempuan. Waktumu hanya satu minggu, bukan satu bulan!” . . ‘Sial! Sial! Sial! Mimpi apa aku semalem sampe ketemu cowok sok itu di sini.’ Sambil berjalan, Julia terus merutuki kejadian tadi. Wajahnya yang ceria untuk pertama kali bekerja sirna. Dia jadi bete, bahkan untuk bertemu teman-temannya nanti. Mungkin pulang dengan alasan sakit akan menjadi hal yang bagus, tetapi Julia justru mengikuti langkah Pak Hernanda. Ruangan luas dengan beberapa meja dan laptop pun sudah mulai terlihat. Mereka berdua memasuki ruangan dengan wajah Julia yang masih saja ditekuk. Semua pegawai pun lantas berdiri saat atasannya datang. “Pagi, Pak!” “Sesuai janji saya, pagi ini ada teman baru untuk kalian. Silakan perkenalkan diri kamu!” kata Pak Hernanda. Dengan cepat Julia pun tersenyum. “Selamat pagi semuanya. Nama saya Julia, kalian boleh memanggil saya Juli. Saya sangat berharap kita semua bisa bekerja sama agar perusahaan ini bisa maju dengan pesat.” “Santai atuh, Jul! Baru datang udah mau kerja sama. Kita kenal-kenalan dulu atuh,” sahut seorang pria kurus bernama Rendy. . . Bawa berkas ini ke ruangan Pak Arlo. Dia akan senang jika kamu yang mengantarkan. Satu pesan Hernanda yang sangat ingin Julia tolak. ‘Jelas saja Arlo akan senang. Dia bisa menghinaku di ruangannya. Lebih sepi, lebih bebas dia menghinaku. Apa yang akan dia katakan? Julia yang dulu sombong jadi pegawai kantornya? Kurang ajar!’ . . “Permisi….” Julia memasuki ruangan luas nan indah di lantai empat. Pemandangan khas seorang Arlo sudah terlihat, monochrome. Sejak saat itu, Julia ingin sekali berteriak. Tidak peduli apa yang akan dibilang karyawan lain, intinya Julia sangat marah. Lovia, sahabatnya yang menghilang ada di hadapan mata. Dia duduk di sebelah Arlo dengan tangan yang bergelayut manja. “Saya ingin mengantarkan berkas ini.” Arlo langsung berdiri dan tersenyum lebar. “Oh, hai! Julia, saya ingin memperkenalkan kamu dengan istri saya, Lovia. Apa kalian tidak ingin berjabat tangan? Tampaknya sudah lama kalian tidak bertemu, bukan?” “Tidak terima kasih, Pak Arlo yang terhormat. Tidak mungkin saya menjabat tangan seorang istri dari pemilik perusahaan. Tangan kotor saya tidak layak disentuhnya. Lebih baik saya pergi agar kalian bisa melanjutkan kemesraanyang tadi sempat tertunda,” jawab Julia. “Hai, Li! Apa kabar?” tanya si Lovia yang kemudian berdiri. Sudah cukup, Julia tidak bisa menahan rasa emosi yang menumpuk. Ingin sekali dia meninju rahang lunak si Lovia kalau saja dia tidak lupa Lovia adalah istrinya. “Sangat baik. Permisi.” Lima tahun menghilang tanpa ada kabar satupun, ternyata di sini Lovia, menjadi istri se-seorang yang dulu sangat ia benci. Dia yang menghasut Julia dan satu sahabat lainnya untuk ikut membenci Arlo, sekarang justru dia yang menikah dengan Arlo tanpa bilang-bilang. ‘Kita lihat nanti, Vi. Kamu bisa berbohong, kan? Aku juga bisa berbohong dan membuatmu putus asa.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD