BAB 1 – NAMANYA RUDY

1135 Words
Bus merah tampak bergoyang – goyang di jalanan berbatu. Pria yang sejak tadi menahan bau yang menggelayut di sekitarnya tampak semringah begitu sang supir yang ia lihat sudah berumur itu menyalakan radio bututnya. Teringat pada suatu waktu Ku berjalan – jalan di muka rumahmu.. Rasa berdebar, dalam hatiku. Ingin..lekas lalu. Sekilas nampaklah engkau di balik pintu.. Tersenyum dikau menusuk hatiku.. Sebelumnya Rudy terpaksa harus lari sprint mengejar bus butut berwarna merah yang ia naiki ini untuk bisa pulang ke kampung halaman. Tadinya bus masih sepi saat ia berangkat. Kemudian semakin ramai di setiap pemberhentiannya. Rudy yang memiliki nama lengkap Shopian Rudy itu, kini harus rela berhimpit-himpitan demi mencapai ke desa yang ia rindukan. Desa Karang Sari namanya. Rasa jenuh dan lelah sudah menjepitnya. Bus ini telah melebihi kapasitas. Tapi si pemilik memaksanya untuk tetap bisa melaju. Sama seperti pengemudinya yang sudah lewat masa produktif untuk menjadi seorang supir bus. Rudy nyaris menyerah. Tapi begitu lagu terputar dari radio yang bergemirisik di depannya, dia merasa cukup tenang meskipun masih sibuk bergeser ke kiri dan ke kanan untuk menghindari ketiak basah si bapak berjanggut di sampingnya. Apa daya sejak saat itu.. Nurani terganggu setiap waktu Teringat selalu pada senyummu Inginku bertemu. Tak apalah, yang penting nyala – batin Rudy si pria berambut klimis hitam yang sedikit berjambang itu. Sebenarnya, dia sudah risih dengan jambangnya. Tapi karena model ini tengah ngetrend tahun ini,maka Rudy sengaja bertahan demi bisa memerkannya pada sang pujaan hati nanti —Siti Maria. Kalau Maria tidak suka, maka ia akan memangkasnya nanti di tangan mbah Kasimin si ahli cukur di desanya. Kalau Maria suka, dia akan mempertahankannya. Jatuh cinta memang membuat Rudy pusing sendiri. Mereka baru pacaran satu tahun yang lalu. Tapi niat untuk menikahi Maria sudah sangat menggebu. Itu semua juga karena desakan umur. Untunglah saat disinggung, Maria tidak keberatan untuk segera dipersunting. Maka Rudy pikir, tahun inilah tepatnya ia bisa menikahi Maria. Gadis yatim yang secara mandiri bekerja dengan menjahit baju di rumahnya. Lagu terhenti saat mereka melewati sebuah terowongan begitu pun dengan lamunan Rudy tentang kekasihnya itu. Setelahnya nyala kembali begitu mereka mendekati tikungan tajam. Kemampuan sang supir di pertaruhkan di sini. Karena supir harus bisa fokus melewati jalanan berkelok yang di sisi kanannya terdapat jurang dengan hutan yang masih lebat. Beberapa orang mulai menarik napas melihat maneuver yang dilakukan sang pengemudi. Bagaimana tidak, nyawa mereka berada di tangan pak supir yang bahkan tak bisa baca tulis. Suasana semakin menegang, ketika bus disalip oleh pengendara lain yang mau tak mau membuat sang supir banting stir ke kiri karena terkejut. Kata-kata makian lolos di mulut bapak itu yang Rudy tahu beliau bukan orang asli jawa di sini. Bus merah akhirnya berhenti setelah berhasil melalui jalanan suram yang terkenal itu. Rudy turun dari bus dengan terhuyung-huyung kemudian membersihkan celana model kampaknya sebelum menyisiri gang becek menuju ke rumahnya. Rudy menahan napas karena melihat jalan yang akan dia lalui. Celana barunya terancam terkena percikan lumpur nantinya. Mau tak mau, Rudy harus tetap melaluinya. Dengan perlahan, ia menaikkan celananya hingga ke dengkul. Tas kulit yang selalu setia bersamanya ia jinjing di lipatan tangannya. Perlahan namun pasti, Rudy akhirnya bisa melewati jalanan becek tersebut lebih dari lima ratus meter. Hingga ia melihat kakek Kasimin, si tukang cukur kampung lewat mengendarai sepeda ontelnya. Rudy menyapa beliau dengan ramah hingga beliau menawarkannya tumpangan. Tanpa pikir panjang, Rudy menerima tawaran tersebut dengan menjadi pengemudinya. "Gimana kabarnya Mbah?" "Baik. Kamu sendiri gimana di kota? Lancar kerjanya?" tanya Mbah Kasimin balik. Rudy senyum-senyum sendiri sambil mengendarai sepeda yang sudah lama tidak ia naiki itu. Melihat sawah yang hijau dengan perpohonan sekitar yang masih lebat di setiap rumah-rumah warga desa Karang Sari, membuat Rudy semringah sendiri. Terlintas di kepala, masa kecilnya yang penuh dengan canda tawa khas anak-anak kampung. Dulu juga ia masih bisa melihat bapak dan ibunya sering memarahinya karena sibuk bermain hingga maghrib. Atau ketika mereka turun ke sawah untuk menanam padi milik sendiri maupun milik orang lain. Tapi sekarang, hal itu hanya menjadi kenangan belaka. Apalagi waktu terasa berhenti bagi Rudy ketika umurnya menginjak delapan tahun. Orang tuanya pergi untuk selamanya meninggalkan Rudy sendiri di desa tercintanya itu. "Lancar Mbah. Ini aku diijinkan libur untuk beberapa hari." "Bagus..bagus," jawab Mbah Kasimin sambil menyapa warga yang ia lintasi. Begitu pula dengan Rudy yang tak berhenti mengucap salam ataupun menundukkan kepala untuk menyapa yang lewat. Hingga mereka sampai di depan pos kamling tempat pamannya bekerja. Rudy terlebih dahulu berterima kasih pada Mbah Kasimin sebelum ia berteduh sejenak di pos tersebut. Hanya tinggal beberapa meter saja Rudy sampai di rumahnya, tapi entah kenapa ia memilih untuk belok ke gang rumah Maria yang letaknya tak terlalu jauh. Namun belum sempat ia belok, satu tepukan keras menghampirinya. Rudy berbalik dan mendapati Jaka — sepupunya yang menyambutnya dengan riang gembira. "Mas Rudy! Baru sampai?" "Iya! Mana bapak?" "Di rumah. Ayo pulang! Bapak pasti senang lihat mas pulang." Rudy menahan diri ajakan Jaka tersebut. Ia menimbang-nimbang apakah ke rumah Maria dulu atau pulang ke rumah paman dulu. Merasa tak sopan karena langsung singgah ke rumah pacar, akhirnya Rudy memutuskan untuk menunda kejutannya pada sang kekasih nanti malam. Lewat rangkulan Jaka, pria yang genap memasuki umur tiga puluhan itu berjalan menuju rumah pamannya alias rumah sepupunya tersebut. Seperti dugaannya, kepulangannya menjadi hal yang membahagiakan bagi keluarga kecil ini. Meski Rudy sudah tak memiliki ayah dan ibu, setidaknya Rudy masih bisa merasakan peran bapak dari paman yang ia peluk kini. Namanya paman Anton. Pria yang sudah mengabdikan dirinya menjadi hansip desa ini sudahlah tak sekuat dan sekekar dulu. Umur kian menyusutkan badannya. Apalagi penyakit diabetes yang juga mulai menggerogotinya. Tapi untungnya, paman Rudy ini bukan tipe orang yang pasrah dengan penyakitnya. Beliau adalah pria yang gemar mencari keringat demi anak dan juga istrinya. Itu semua dia lakukan, demi menjadi pria yang bertanggungjawab kepada keluarganya. Termasuk kepada Rudy, keponakannya yang sangat ia banggakan itu. "Kenapa tidak kabari kalau mau pulang?" "Tadinya mau kasih kabar, tapi Rudy pikir mau kasih kejutan saja —" "Kalau bibi tahu kamu mau pulang, kan bisa bibi potongkan bebek untukmu,"seloroh bibi Delima — istri dari pamannya itu. "Eh eh..bebek siapa yang mau ibu potong?" protes Jaka yang ikut nimbrung di meja makan. "Ya bebekmu lah. Nggak pernah diurusin gitu, mending dipotong!" Jaka pura-pura merengut. Ia tak terima hewan peliharaannya itu dipotong lebih cepat sebelum lebaran tiba. "Assalamualaikum!" Terdengar suara seseorang dari pintu depan rumah yang kebetulan terbuka. Anton segera keluar untuk melihat siapa tamu yang tengah bertandang di waktu makan siangnya itu. "Waalaikum salam." Dengan wajah gelisah si tamu langsung menarik lengan Anton untuk ikut beranjak dengannya. Tapi Anton menahan diri sebelum ia mendengarkan dengan seksama maksud kedatangan sang tamu yang terlihat begitu terdesak itu. Dengan penuh peluh dan juga raut wajah yang menahan diri untuk tak menangis, pria yang akrab disapa Sapto itu mulai menjelaskan semuanya. "Tolong mas. Anak saya..hilang!" . . Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD