Chapter 1

936 Words
Perdana Publish 10.01.2023 - 13.30 Wita, Samarinda ***** Zulfa masih terdiam mengingat kejadian 2 tahun yang lalu. Akibatnya, ia tidak pernah menyukai yang namanya anak bayi ataupun anak kecil. Baginya, mahluk kecil itu adalah sesuatu yang merepotkan dan berisik! Sekarang Zulfa berada di sini. Di kediaman baru yang jauh dari rumahnya dan tempat kelahirannya. Zulfa memutuskan untuk tinggal di Bali. Provinsi yang di kenal dengan keindahan alam dan destinasi yang menyuguhkan pemandangan indah. Sebuah Villa yang sejuk. Yang cocok buat dirinya bersama Nafisah untuk sama-sama mengobati hati yang pernah terluka. Sementara di belakang Villa ini terdapat pantai lautan lepas. Pintu kamarnya terketuk pelan. Buru-buru Zulfa berdiri dan segera membukakan pintunya. Nafisah terlihat menggendong putranya yang bernama Rafardhan atau biasa di panggil Rafa. "Zul.." Nafisah terlihat pucat. Wajahnya juga berpeluh. "Kamu sakit?" "Kayaknya iya. Tubuhku rasanya menggigil banget." "Aku panggil Dokter ya." Nafisah mengangguk. "Terima kasih. Tapi aku minta tolong. Titip Rafa sebentar. Aku mau ke toilet." Sesaat, Zulfa terdiam sebentar. Sejujurnya ia begitu keberatan di titipin anak kecil walaupun cuma sebentar. Seperti yang ia katakan, Zulfa tidak akan pernah menyukai anak kecil selucu apapun. Menyadari Zulfa yang hanya diam, Nafisah langsung sadar. Ia masih bisa tersenyum tipis di balik wajahnya yang pucat. "Tapi kalau kamu nggak bisa-" "Aku bisa! Sini, aku gendong Rafa." potong Zulfa cepat. Akhirnya gendongan Rafa beralih ke Zulfa. Nafisah tak ingin menunda waktu dan langsung pergi ke toilet. Zulfa mendengkus kesal sembari menatap Rafa. Terlihat sekali kalau Rafa itu adalah anak balita berusia 2 tahun 8 bulan yang menggemaskan dan tampan blasteran seperti Ayahnya. Tapi kenyataannya, Zulfa tidak akan pernah menyukai anak kecil sekalipun Rafa. "Jangan nangis atau bawel ya!" Rafa tertawa lebar. Padahal Zulfa baru saja mengancamnya. Kedua iris biru laut itu menatap Zulfa dengan pandangan berbinar. "Dih, malah ketawa! Dasar anak bayik. Nih pipi gemoy banget kayak bakpau! Tante gigit nanti kalau beneran bawel.. " Dan lagi, Rafa tertawa sembari menyemprotkan air liurnya ke arah Zulfa. Zulfa terkejut! Buru-buru ia menurunkan Rafa dari gendongannya. Zulfa langsung mencari tisu karena merasa jijik dengan air liur anak kecil. "Tuh kan bener! Selain berisik anak kecil juga nyebelin!" Zulfa ingin melanjutkan omelannya kalau saja suara bel pintu tidak berbunyi. Zulfa langsung keluar menuju pintu, sementara Rafa mulai panik dan menangis. Lumrahnya anak balita yang takut di tinggal. Zulfa membuka pintunya dan terkejut begitu melihat seseorang yang sudah datang ke Villanya. Marcello... Pria itu kembali dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Sekelebat bayangan masalalu hadir bagaikan potongan-potongan puzzle yang berhasil di kumpulkan. Zulfa memundurkan langkahnya. Dengan cepat ia menutup pintunya. Tapi secepat itu pula Marcello bertindak menahan pintu itu dengan tangan kekarnya. "Langsung saja ke intinya. Aku sudah bebas dari penjara. Mana anak kita?" Suara tangisan Rafa akhirnya memecah keterkejutan Zulfa terhadap Marcello. Rafa berlari keluar mendatangi Zulfa. Dengan cepat Zulfa menggendongnya. Zulfa menepuk pelan punggung Rafa yang bergetar ketakutan. Tanpa Zulfa sadari, Marcello merasa degup jantungnya langsung berdebar begitu melihat semua itu di depan matanya. Putranya... Putranya dalam gendongan wanita yang ia cintai seiring berjalannya waktu... "Maafkan Auntie.. Maaf... Auntie janji tidak akan meninggalkanmu seperti tadi." bisik Zulfa lembut pada telinga Rafa. Tapi masih dapat di dengar oleh Marcello. "Apa? Auntie?" Marcello terkejut. Ia yakin dirinya tidak salah dengar. "Zulfa. Aku yakin anak ini adalah anak ki-" "Siapa yang datang Zul?" Tiba-tiba Nafisah datang dan langsung menghentikan langkahnya. Ia terkejut begitu melihat kedatangan Marcello yang sudah lama tidak pernah di lihatnya. "Mama.. Mama.. Mama.." Rafa langsung ingin berpindah gendongan pada Nafisah begitu melihat sang mama. Dengan cepat Zulfa memberikan Rafa pada sahabatnya itu. Marcello ingin berkata sesuatu. Ia yakin di sini ada kesalahan. Bahkan keyakinannya begitu kuat kalau Rafa adalah putranya. Tapi begitu melihat Rafa memanggil Nafisah Mama, semuanya sanggup membuat Marcello sulit berpikir dengan jernih. "Bawa anakmu masuk, Naf. Kediaman kita tidak akan pernah menerima seorang penjahat yang tidak bertanggung jawab!" Brak! Pintu Villa di tutup rapat. Marcello masih diam di tempat. Hatinya seperti di remas dan sakit. Perasaan kecewa menghampirinya karena balita itu memanggil Nafisah dengan sebutan Mama. Seharusnya Zulfa yang di panggil Mama. Bukan Nafisah! Seharusnya Zulfa adalah Ibunya. Bukan Nafisah! Seharusnya begitu.. Tapi kenapa? Marcello yakin pasti ada yang salah disini.. "Zulfa, benarkah kau sudah membuang anak kita seperti ucapanmu 2 tahun yang lalu?" **** Di satu sisi... Seorang pria baru saja keluar dari sel tahanannya. Dia adalah Adelard alias Daniel. Dengan langkah tegap dan berpakaian serba hitam, Adelard menuju sebuah mobil sedan yang telah menunggunya sejak tadi. Seorang pria berpakaian rapi dan formal menunduk hormat sembari membuka pintu belakang untuk Tuan nya. "Selamat atas hari kebebasan anda, Tuan Adelard. Saya adalah Bagas. Asisten anda yang baru sesuai amanah dari mendiang Mr.Alano." Adelard hanya mengangguk singkat dan masuk ke bagian belakang mobil. Beberapa detik kemudian sedan melaju dengan kecepatan sedang. Raut wajah Adelard terlihat datar dan dingin. Hatinya masih di penuhi kekecewaan dan kebencian pada Nafisah. Tidak ada lagi raut wajah yang ramah seperti dulu. Bahkan tidak ada lagi raut wajah penuh senyuman yang selalu ia berikan untuk orang-orang terdekatnya. Termasuk Nafisah. "Aku ingin ke bandara. Segera lakukan penerbangan menuju kota Bali." perintah Daniel tanpa perlu basa-basi. "Maaf, bukankah kita harus ke Italia malam ini? Masih ada satu masalah yang harus anda selesaikan perihal kasus penipuan itu, Tuan Adelard." "Kasusnya akan menjadi perdata setelah aku mengurusnya dan mengembalikan semua uang mereka." "Kalau begitu saya akan mengurus keberangkatan anda menuju Bali." Adelard memilih diam tanpa menjawab apapun. Setelah itu, Bagas memutar haluan setir kemudinya menuju bandara. Adelard masih terdiam dengan hati yang panas sembari mengepalkan tangannya dengan kuat. Sejak menyadari dirinya terbebas dari penjara, pikirannya secara otomatis langsung teringat pada Nafisah dan tujuannya. "Aku harus memberimu pelajaran Nafisah! Dasar istri penghianat!" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD