Senyum Pertama

1156 Words
Tiga hari berlalu, laki-laki pemilik bibir hitam, duduk sambil menikmati acara televisi. Liburan kali ini, Jack hanya ingin bersenang-senang dan melupakan semua urusan duniawi. Ditemani dua orang wanita bayaran yang selalu mengenakan pakaian setengah telannjang, ia terlihat bahagia dan selalu tertawa keras. Sebiji anggur disuapi ke dalam mulutnya yang selalu mengangga. Di saat yang bersaman, tangannya yang liar terus saja menyentuh bagian mana pun yang disukai dari kedua w************n tersebut. Malam ini, tampaknya ia tidak ingin ditemani oleh Bianca. Mungkin karena masih marah atas penolakan gadis itu sebelumnya. Sebagai seorang suami, Jack sama sekali tidak mengetahui apa yang hampir saja terjadi pada istri mudanya. Ia hanya melakukan apa pun yang ia sukai dan menganggap Bianca akan baik-baik saja, demi menjaga kedua orangtuanya tetap aman. "Sayang, minumannya! Ambilkan yang paling mahal dan memabukkan!" perintah Jack pada wanita lainnya, yang sejak tadi memijat kedua kakinya. "Iya, Sayang. Segera." Sementara di dalam kamar, Bianca menuliskan sebuah puisi sendu tentang hidupnya. Masa muda gadis itu direnggut paksa dan kini ia seperti tinggal di dalam sangkar emas yang beralaskan ranjau. Tidak, lebih tepatnya penjara berlapis emas. Tidak ada satu pun orang yang tahu tentang perasaan gadis tersebut saat ini, kecuali Arogan yang memang sering mengintip dari sela-sela ruangan. Di depan orang-orang dan para kolega Jack Williams, ia harus tersenyum rapi tanpa beban. Seolah hidupnya begitu indah, bergelimang harta, dan bahagia. Namun kebenarannya sangat berbeda, seperti langit dan bumi, bahkan ia ingin mati disetiap detiknya. Suara ketukan pintu lamban dan terdengar tenang mengusik konsentrasi Bianca, namun ia tidak melarang siapa pun untuk masuk. Wajahnya yang indah seperti purnama di malam hari, terus saja menatap torehan kertas putih yang hampir penuh dengan segudang perasaannya. "Nyonya muda, apa Anda tidak ingin keluar untuk bersenang-senang?" tanya Aro yang memang diperbolehkan mengajak Bianca berjalan-jalan, tapi hanya sebatas penginapan di sisi gunung yang Jack sewa, selama tiga bulan. Bianca menghentikan gerakan tangannya sejenak, kemudian menatap Aro yang hanya berdiri di sisi pintu yang sudah terbuka lebar. Kemudian, tatapan mata Bianca terfokus pada bagian tangan Aro yang masih diperban. Tanpa menjawab, Bianca melanjutkan aktivitasnya. "Bulannya sangat indah dan langitnya begitu penuh dengan bintang." Aro menyambung ucapannya. Tampaknya laki-laki kekar itu sangat ingin mengajak nyonya mudanya bersenang-senang di luar. Apalagi selama ini, Bianca tidak pernah beranjak dari kamar ataupun penginapan selama berada di Jepang. "Apa kamu tidak takut jika saya kembali menyakitimu?" "Nyonya ... ." "Pergilah!" "Setuju," sahut Aro dan Bianca merasa cukup kesal dalam pasrah. Mungkin ia memang ditakdirkan untuk sendiri. "Tapi jika bersama Anda," timpalnya. Bianca terhenyak, tiba-tiba saja ada desiran murni di dalam hatinya. 'Apa ini? Saya belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Seperti ketakutan yang indah.' Kata Bianca tanpa suara sembari mengangkat wajahnya. "Baiklah." Bianca menghela napas panjang. Setelah itu, ia meletakkan pulpen dan buku yang sudah ditutup di atas meja. Kemudian berjalan ke arah Aro yang tampak sudah baik-baik saja, meskipun terluka serius. Ketika jarak keduanya begitu dekat dan mereka saling menatap, hati Aro bergetar dan ia langsung menunduk guna menyembunyikan perasaannya. "Di luar dingin, Nyonya. Silahkan dipakai," kata Aro sambil menyelimuti tubuh muda Bianca dengan jaket bulu angsa tebal berwarna putih yang begitu halus, lembut, dan wangi. Bianca menatap dadaa Aro. Ia berpikir, bagaimana mungkin, orang yang kejam seperti laki-laki yang ada di hadapannya, masih memiliki hati? Sementara suaminya yang kaya dan merupakan bos besar, malah seperti binatang, tanpa etika (Jack Williams). "Silakan, Nyonya!" "Terima kasih." Dengan langkah lambat, Aro dan Bianca berjalan di atas susunan papan kayu yang begitu rapi, cantik, dan apik. Ini adalah penginapan yang sempurna bagi sepasang pengantin baru. Namun sayangnya, Bianca tidak dapat merasakan semua itu dan hanya air mata sajalah yang terus mengalir deras tanpa henti. "Ha ha ha ha ha." suara tawa bergantian terdengar di ruangan televisi. Saat itu, Bianca tahu bahwa yang berada di dalam sana adalah suaminya bersama perempuan murahan lain dan mereka tengah bersenang-senang sambil melakukan perbuatan tercela lainnya. Bianca begitu marah dan sakit hati atas sikap Jack tersebut, tapi bukan karena ia cemburu. Melainkan karena merasa tidak dihargai dan hanya dijadikan bahan permainan demi menyakiti hati papanya. Padahal, Jack sudah puas menghabisi harta keluarga Bianca untuk memuaskan hatinya. Tapi sepertinya semua itu belum cukup untuk membuatnya puas dan bahagia. "Nyonya, Anda tidak perlu memikirkan hal yang bisa menyakiti hati Anda!" pinta Aro dengan suara yang lembut, seolah ia memahami ekspresi wajah Bianca yang kecewa. "Apa? Bahkan saya tidak mendengar apa-apa," jawab Bianca tegang dengan tatapan dingin. "Ayo pergi dari sini!" ajaknya. Saat itu, Aro menundukkan kepala hingga punggungnya, sambil mengikuti langkah Bianca. Setibanya di ujung penginapan, antara papan dan salju yang sudah menutupi permukaan tanah, Aro langsung turun dan menundukkan tubuhnya hingga lutut Aro menyentuh salju dingin. Ternyata ia berniat untuk memasangkan sepasang sepatu khusus musim dingin, pada sepasang kaki indah milik Bianca. Sontak, sikap Aro tersebut membuat hati gadis belia itu menjadi dingin. Bukan karena salju dan udara malam saat ini, melainkan perasaan dihargai sebagai seorang perempuan. "Silakan, Nyonya!" ucap Aro ketika kaki Bianca tidak kunjung masuk ke dalam sepatu khusus milik masyarakat Jepang tersebut. "Terima kasih," jawab Bianca yang cepat merespon Aro kali ini. Bianca dan Aro mulai menapaki kaki di atas tumpukan salju yang lembut dan dingin. Keduanya saling tersenyum sambil memandang ke arah yang berbeda, dengan kaki yang terus melaju dan meninggalkan penginapan mewah, namun terasa seperti di neraka itu. "Pohon-pohonnya ditutupi salju, mereka pasti sangat kedinginan. Tapi itu lebih baik daripada harus diselimuti debu dan kotoran, akibat polusi udara dan sengatan matahari yang jahat," kata Bianca yang sebenarnya ingin mengatakan tentang keadaannya yang lebih buruk daripada nasib pohon-pohon tersebut. Aro pura-pura tersenyum kecil, lalu ia menunduk dan berpikir. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memancing senyum nyonya mudanya tersebut. Terlebih lagi, Aro takut untuk menyentuh Bianca karena bisa saja, hal itu menimbulkan kesalahpahaman bagi Jack Williams. "Aro, saya ingin berjalan lebih jauh lagi. Apa kamu bersedia menemani saya?" tanya Bianca tanpa menatap Aro dan saat itu, Aro langsung melangkah lebih dulu sebagai tanda bahwa ia menyetujui permintaan dari Bianca. "Apa pun yang Anda inginkan, Nyonya." "Apa yang kamu sukai, Aro?" tanya Bianca yang memulai pembicaraan karena tidak ingin berdiam diri saja. "Anda." "Apa?" Bianca terkejut. "Tidak. Maksud saya, kalau Anda? Sebab, saya tidak tahu apa-apa selain berkelahi dan membunuh." "Benarkah? Menurut saya, kamu pandai memperlakukan wanita dengan baik," puji Bianca yang dapat merasakan kehangatan hati Aro. "Saya tidak tahu, Nyonya. Selama ini, saya hanya seorang diri. Saya hanya mengikuti kata tuan Jack saja," jawab Aro yang tampak malu. "Saya percaya, siapa pun wanitanya, dia akan sangat bahagia. Walaupun keras, kamu bukan tipe laki-laki yang suka main tangan dan kasar terhadap wanita," puji Bianca tanpa henti. "Sa-saya tidak tahu, Nyonya. Lagipula, mana ada wanita yang bersedia hidup dengan laki-laki seperti saya." Bianca dan Aro terus bercakap-cakap ringan hingga tawa tergambar jelas di bibir keduanya. 'Akhirnya, Anda tertawa, nyonya. Syukurlah." Kata Arogan tanpa suara. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD