Episode 3

1110 Words
Banyak orang berkumpul di papan pengumuman yang ada di taman kampus. Semua orang membicarakan berita tersebut. Laura dan Amber hanya acuh saja. Mereka cuek meski berita itu besar.  Ya, mungkin karena lelah mencari buku atau karena tidak ingin berurusan dengan orang luar. Samar - samar, mereka mendengar berita tersebut.  "Kau lihat berita tadi, Antonio bergandengan tangan dengan seorang gadis. Pasti gadis itu cantik," ucap salah satu mahasiswa.  Laura berhenti menatap mahasiswa itu. Amber hanya menghela nafas panjang. "Biarkan saja mereka. Antonio hanya mencari perhatianmu." Perkataan Amber dibenarkan olehnya. Lagi pula, dia tidak ada hubungan apa - apa dengan pria itu. Mau pacaran dengan siapa saja bebas.  "Aku berharap dia dapat pasangan yang layak," ucap Laura sedikit lemah. Mungkin, hatinya sedikit merasa sakit mendengar gosip itu. Apalagi, dia tanpa sengaja juga melihat Antonio bersama dengan seorang gadis. Bukan Maya atau Madalia, tapi gadis asing yang tidak dikenalnya.  "Lebih baik seperti ini. Aku tidak mau menambah musuh," ujar Laura lagi. Dia ingin hidup damai di masa perkuliahan nya. Sudah cukup Maya membencinya setelah pernyataan cinta Antonio. Padahal, jelas - jelas dia menolaknya.   "Kita pergi, Laura." Amber menyeret lengan Laura menjauh dari pandangan Antonio. Sekejap, awalnya pria itu memasang wajah lembut berubah jadi dingin. Dia pergi begitu saja.  "Sial," umpat Antonio karena rencananya tidak berhasil. Pria itu ingin melihat Laura cemburu padanya karena dia tahu bahwa gadis itu mencintainya.  Antonio gengsi bila harus memohon cinta di kaki Laura. Hal yang dilakukan saat ini adalah keluar dari keramaian yang telah dibuatnya.  Sementara itu, Amber dan Laura sudah duduk di taman depan kampus. Mereka memakan snack sambil bergurau. Mata indah Laura tampak berbinar saat melihat ponselnya bergetar. Namun, sedetik kemudian mata itu berubah jadi kekecewaan yang mendalam.  "Ada apa?" tanya Amber. Gadis itu selalu tahu apa yang menimpa Laura. "Mereka benar - benar mengabaikanku, Amber." Laura memperlihatkan pesan yang ada di ponselnya.  "Kau harus sabar. Pasti ada alasan dibalik keputusan mereka." Amber selalu menjadi orang bijak dalam menasehati Laura . Kalau saja tidak ada gadis itu, mungkin kehidupannya akan sulit.  "Ngomong - ngomong, aku masih penasaran dengan buku itu." Amber ingin melihat lagi apakah gambar itu benar - benar bergerak.  Laura tidak menjawab dan merogoh tas untuk mengeluarkan buku itu. Dia meletakkannya di atas meja.  "Aku masih bingung, kenapa Miss Ana memintamu untuk membawa buku ini? Buku ini sangat misterius." Laura membenarkan perkataan Amber. Buku yang tidak ada pengarangnya, sudah usang dan tua. Ditambah lagi, sobek. Tapi, meskipun tergolong kuno buku itu masih bagus isinya.  Amber mengambil buku itu lalu membuka perlahan. Dilihat gambar Raja Hantu itu kembali. "Gambar itu tadinya yang bergerak." Gadis itu tidak berani menyebutkannya. Jika ia bilang maka perasaan takut dan tidak aman merayap ke seluruh tubuh.  "Maksudmu, gambar Raja Han-." Belum sempat Laura menyelesaikan perkataannya, Amber sudah lebih dulu membungkam dengan tangan. "Jangan diteruskan. Apakah kau tidak merasa aneh? Setelah menyebutkan namanya, aku merasa ada tidak beres."  Laura melepas kasar bekapan Amber. "Aku kira hanya diriku saja yang merasakannya. Ternyata kau juga."  Amber mengangguk lalu meraba gambar itu. "Asal tidak menyebutnya, kita aman." Laura berdiri lalu duduk di samping Amber. Ia ingin melihat halaman selanjutnya.  Amber langsung memindahkan ke halaman lain. Tapi, halaman itu tidak bisa di buka. "Ini aneh, kenapa halaman selanjutnya tidak bisa dibuka?"  "Jangan mengada - ada, Amber." Laura menyeret buku itu tepat di hadapannya. Memang benar, ternyata halaman selanjutnya tidak bisa dibuka. Sangat aneh, dia merasa ada lem yang melekat rampat di sana.  "Aku akan mencobanya lagi." Laura kembali membuka halaman selanjutnya. Namun, gagal. Ia tidak bisa membukanya, malah buku itu tertutup sempurna.  "Ini gila!!" teriak Amber. "Buku itu benar - benar aneh." Gadis itu sedikit terkejut saat buku itu tertutup sendiri.  "Kita coba ulangi lagi." Jelas Laura sangat penasaran. Ia mengulangi lagi untuk membuka halaman selanjutnya. Yang ada tetap gagal seperti tadi.  "Apakah karena gambar Raja Hantu?" tanya Laura kepada Amber sambil menggerakkan tangan untuk membuka halaman selanjutnya dengan mudah.  Laura tidak sadar jika berhasil membuka halaman itu. Amber melotot sempurna lalu menyentuh tangan gadis itu.  "Ada apa?" tanya Laura menatap Amber. "Kau berhasil membukanya," jawab Amber.  Laura menatap ke arah buku itu dengan tatapan tidak percaya. Kemudian, gadis itu membalikkan kembali halaman awal. Dilihatnya gambar Raja Hantu dengan seksama.  'Apakah karena aku menyebut namanya? Kenapa gambar ini seolah - olah mengawasiku? Tidak mungkin dia keluar dari buku.'  Laura menatap sekeliling tempatnya dengan pandangan yang tajam mencari sesuatu. Namun, semua nihil. Yang dilihat hanya orang - orang saja.  "Kau mencari seseorang?" Amber merasa tidak beres dengan Laura. "Kita pulang sekarang!" ajak Laura sambil menyeret tangan Amber.  Semakin dipikir Laura, buku yang di bawanya semakin menunjukkan keanehan. Ia tidak ingin terlibat dengan buku misterius itu. Dengan cepat, gadis itu memasukkan buku ke dalam tasnya.  "Pelan - pelan, santai sedikit." Laura pun berhenti. "Kembali ke perpustakaan. Aku harus menemui Miss Ana."  Mereka berdua berbalik arah menuju perpustakaan. Sampai di sana, tempat itu tutup.  "Kenapa Tuhan tidak berpihak padaku!?" Laura sangat frustasi karena urusannya harus tertunda. "Ini aneh, perpustakaan seharusnya masih buka. Kemana perginya Miss Ana? Apakah kita perlu ke ruangan dosen?"  Laura menggeleng, jika pergi ke ruangan dosen. Yang ada para tetua itu pasti menyudutkan dirinya. "Aku tidak mau para tetua itu melahap ku hidup - hidup."  "Aku hanya memberi saran saja." Amber menatap Laura dengan cermat. "Kau ingin mencari tahu gambar itu dengan tanya Mis Ana."  "Benar, sejujurnya aku penasaran dengan gambar Raja Hantu itu." Belum sampai semenit bicara, angin kencang berhembus kuat ke arah mereka hingga mundur sampai pintu perpustakaan.  "Sudah aku katakan jangan menyebut namanya!" teriak Amber kepada Laura. "Kita pergi dari sini!" ajak Laura menyeret tangan Amber berlari meninggalkan koridor.  Mereka berdua terus berlari hingga sampai di parkiran. "Aku tidak ingin kau menyebutnya lagi." Laura mengangguk. "Kau mau membawa buku itu?"  "Tidak!!" teriak Amber. "Buang saja buku itu." Laura termenung, membuang buku tidaklah baik. Mungkin lebih baik memberikan buku itu kepada seseorang, daripada membuangnya.  "Kau benar." Laura menatap Caesar dari jauh. Pria kacamata itu pasti suka dengan buku ini. Ia berlari ke arahnya. "Hai, Caesar," panggil gadis itu.  Caesar langsung gugup. Ia hanya diam menundukkan kepala. "Apakah aku berbuat salah?" Laura hanya tersenyum lalu merogoh tasnya untuk mengambil buku. "Ini untukmu, aku dapat dari perpustakaan. Miss Ana memberikannya padaku." Gadis itu menyerahkan buku kepada Caesar.  "Ambilah….! perintah Laura. Caesar pun menerima buku itu. "Terimakasih, aku akan menjaganya." Laura mengangguk lalu meninggalkan Caesar yang masih mematung di sana hingga punggung gadis itu yang semakin menjauh.  Setelah Laura masuk mobil, Caesar baru pergi dari parkiran dan membawa buku itu dalam dekapannya lalu berjalan menuju taman. Pria itu tersenyum sambil meletakan buku pemberian Laura. Ada rasa senang hinggap di hatinya.  Setelah menaruh buku, Caesar merogoh ponselnya karena bergetar. Ia melihat notif pesan yang ada di sana.  "Dia sangat menggemaskan," gumam Caesar sambil menatap ke arah buku itu diletakkan. Namun, mata itu terkejut saat buku itu telah tiada. "Dimana buku itu? Aku tadi meletakkannya di sini?" Caesar kebingungan mencari buku itu. Ia mengusap rambutnya kasar. "Tidak mungkin hilang, bagaimana bisa?" gumamnya bingung mencari keberadaan buku itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD