03 | CEO Cupu

1335 Words
Aku baru benar-benar yakin kalau cowok cungkring dan jerawatan tadi adalah CEO Nitiharta saat kulihat seorang supir membuka pintu belakang sebuah sedan hitam, lalu dia masuk sambil bertelepon serius. Lalu keesokan harinya, dia menandai hari pertamanya kerja dengan berkeliling kantor dan menyambangi tiap-tiap devisi. Sepertinya dia bukan tipe bos yang suka pakai pakaian necis sebagai salah satu penunjang identitasnya. Dia terlihat santai dengan hanya memakai celana bahan dan kemeja warna putih, tanpa dasi atau jas. Dia akan berkantor di lantai 7, lantai teratas gedung ini. Dari balik mejaku, kulihat dia mengobrol dengan Mbak Eli. Tanya apa kendala di divisi kami, ya begitu-begitu lah. Kemarin aku maunya ngejar si Bos untuk minta maaf, tapi dicegah sama Mbak Eli. Katanya, nanti saja sama dia. Dia nggak percaya aku bisa jaga omongan. Ya sudah, aku pasrah saja sambil nunggu Mbak Eli cari kesempatan buat menghadap Pak Bos. Gimana ya, selama 4 tahun aku kerja, baru kali ini aku menemukan bos yang nggak punya aura bos. Terlebih bos-bos muda, biasanya mereka sangat memperhatikan penampilan. Makan nggak mau nyampur sama karyawan, biasanya pada nyuruh OB atau nggak ada kurir yang nganter paket makan dia dari semacam katering sehat gitu. Lah bosku ini, security di lobi aja kelihatan lebih fresh daripada dia. Saat kepalanya tiba-tiba tertoleh ke arahku, buru-buru aku menunduk dan berlagak serius di depan komputer. Aku sungguh nggak mau kepedean, tapi kurasa dia ingat wajahku. Sejauh ini aku dan Mbak Eli masih aman, dalam artian belum ada HRD memanggil. Tapi tidak ada yang bisa jamin besok atau lusa. Jangankan bos, orang biasa pun pasti akan tersinggung jika ada orang lain berkomentar tanpa diminta. Aku mendesah lega saat Pak Bos keluar dari ruangab kami. Saat aku memutus pandangku dari punggungnya, dan kembali ke lembar kerjaku, aku mendapati Mbak Eli menatapku tajam. Aku meringis, kuharap pesan 'peace' dariku tersampai padanya. *** Siang ini aku pergi sendirian ke kantin karena Mbak Eli ada meeting di luar dan beberapa teman seruangan ada yang sudah duluan dan ada yang entaran. Berhubung aku sudah kelaparan, bodo amat aku makan sendirian. Di kantin, aku sedikit menyesal karena saking ramenya, semua kursi dan meja penuh. Dengan nampan isi piring dan mangkuk makanan, aku tolah-toleh cari kursi kosong. Sampai kemudian aku melihat satu tangan lambai-lambai, aku menyipitkan mata berusaha mengenali orang itu. Senyumku merekah mendapati itu adalah tangan Pak Dirga, direktur pemasaran yang masih muda dan kece. Umurnya baru 38 tahun, duda ting-ting habis cerai sama mantan istrinya yang artis sinetron. Ini dia salah satu bos yang mekaryawan dengan mau turun makan nyampur sama pekerja, bedanya Pak Dirga masih perhatian sama penampilan. Kulitnya putih, badannya segar, bugar, kekar. Kalau urusan pekerjaan dia sangat tegas, kalau sudah diluar begini, dia merangkul kami kayak teman. "Yang lain mana?" tanyanya saat aku menempati satu-satunya bangku kosong tepat di depannya. "Nggak tahu, males tunggu-tungguan. Udah kelaperan saya, Pak." Pak Dirga terkekeh, "ya udah, makan yang banyak." Makanan di piringnya sepertinya sudah habis sejak tadi tapi dia masih ingin duduk. Ya sudah lah, terserah-serah bos saja. "Bapak kok makan di sini? Emang nggak ada makan siang bareng gitu di restoran buat nyambut CEO baru?" "Nanti malem pesta penyambutannya." "Oh..." aku manggut-manggut mengerti. "CEO barunya beda dari yang lain ya, Pak?" Kuharap pancinganku cukup sopan, aku tertarik ingin mengulik sedikit tentang CEO baruku. "Anggit?" Tidak mengherankan Pak Dirga akrab dengan Pak Bos soalnya, kudengar papanya Pak Dirga juga salah satu orang penting Nitiharta. Jadi pasti keluarga mereka bersahabat. "Beda gimana nih, maksud kamu, cupu?" "Eh?" Aku hampir tersedak, sambil meraih minum aku menggibaskan tangan, takut sekali Pak Dirga salah paham. Gila saja, yang kemarin belum minta maaf, masa mau buat masalah lagi. "Enggak, Pak, ya Allah saya nggak bilang gitu. Pak Dirga sendiri lho ya yang bilang, bukan saya." Pak Dirga tertawa kencang menunjuk-nunjuk wajahku yang kata dia merah. "Santai, Nya, dia emang cupu, kok. Dari dulu." Aku ingin tahu lebih cupunya gimana, tapi takut itu tidak etis karena di meja ini bukan cuma ada kami. Jadinya aku lanjut makan aja. "Masih sama anak bank itu, Nya?" Lihat, Pak Dirga bahkan ingat secuil kehidupan anak buahnya. "Udah enggak, Pak, baru putus kemarin." "Kok kamu nggak kelihatan kayak orang patah hari." "Patah hati buat apa, Pak? Buaya nggak pantes ditangisin. Biar balik ke habitatnya." "Wih, mantap-mantap." "Modal tampang doang dia, Pak. Pelitnya minta ampun tapi suka pamer gajinya berapa. Bilangnya diutnya dipakai buat mainan saham, padahal mah buat jajanin gebetan barunya yang masih bocah kuliahan." "Jadi kamu kalah sama bocah kuliahan itu?" Aku berdecak remeh. "Aduh, Pak, saya nggak mau berebut orang kayak begitu. Saya mau cari yang siap serius aja sekarang, Pak, bosan pacar-pacaran lucu terus." "Umur kamu berapa sih, Nya?" "26." "Ah, masih kecil itu. Nggak usah nikah-nikah dulu." Aku memelotot. "Bapak pasti nggak punya tetangga rese nanyain terus kapan nikah sih. Sepupu saya yang baru umur 20 tahun anaknya udah bisa jalan sekarang, Pak. Udah pas lah nikah umur segini. Malah target nikah saya tahun lalu, tahu, Pak," ungkapku sedih. Gara-gara Aldo sialan, aku menggantungkan harapan ke orang yang salah. "Yakin udah siap nikah?" Aku mengangguk mantap. "Siap lahir batin, Pak. Cuma sayang calonnya belum ada. Bapak kalau ada kenalannya yang lagi nyari jodoh, boleh tuh tunjukin foto profil WA saya." Pak Dirga tertawa lagi, mungkin dikiranya aku bercanda. Padahal ini serius. Katanya kan orang kaya kumpulnya sama orang kaya, orang pinter sama orang pinter. Siapa tahu, kalau kenalannya dari Pak Dirga, dia juga akan mirip-mirip kayak Pak Dirga gitu. Aku memang nggak punya karir dan background keluarga yang bisa dibanggakan, tapi aku cukup percaya diri sama wajahku yang kata orang-orang mirip Jisoo. Cuma lebih chubby dan belo sedikit. Aku dan Pak Dirga mengangguk saat empat orang di meja kami pamit, sekarang di meja dengan enam kursi itu cuma ada aku sama Pak Dirga. "Memang kamu mau calon yang kayak gimana? Coba saya mau tahu." "Ya, yang orientasinya ke hubungan jangka panjang, Pak. Ke pernikahan." "Pak Dirga menggumam sambil mengurut dagu. "Hmm, kebetulan ada sih yang lagi nyari calon istri. Tapi dia nggak ganteng." "Ganteng doang buat apa, Pak? Saya pengen yang kaya, biar bisa bantu wujudin impian saya berangkatin Mama naik haji." Mulia sekali bukan? Sebenarnya, itu cuma satu alasan. Alasan lain karena aku terlanjur sesumbar ke tetangga akan menikah tahun ini. "Nah, cocok nih. Dia anak tunggal, papanya lagi sakit, jadi pengen lihat anaknya nikah dan nimang cucu secepatnya." "Siapa, Pak?" tanyaku bersemangat. "Mau banget, Pak, rahim saya sehat siap dibuahi." "Bener mau saya kenalin? Dia lebih muda dari saya. Baru 30 kalau nggak salah, tapi lebih kaya dari saya." Bara semangatku meredup. "Yah, kira-kira dong, Pak, masa saya dikasi yang lebih sukses dari Bapak. Bapak aja standarnya artis, gimana dia? Skip-skip, jangan yang terlalu jomplang, Pak." "Kalau mau suami kaya buat ngangkat derajat keluarga ya jangan tanggung-tanggung, lagian dia ini nggak kayak saya. Standarnya bukan artis, malah saya ragu dia punya kriteria khusus. Aduh, pokoknya di pikiran dia cuma kerjaan doang. Suram banget. Makanya saya lihat-lihat kayaknya kamu cucok nih buat mewarnai dunia dia." Aku tertawa ngakak, "buku gambar kali, Pak, diwarnai." Lalu berdehem berusaha mengontrol tawa. Orang-orang pasti mengira aku tidak sopan di depan atasan, walaupun Pak Dirga juga ketawa-ketawa sama aku. Mungkin karena kami kelihatan asyik berdua makanya nggak ada yang berani gabung di meja kami. "Penasaran gimana orangnya, Pak. Ada fotonya nggak, Pak?" Pak Dirga mengibaskan tangan. "Nggak perlu foto, tuh, orangnya lagi bego di situ?" "Hah? Kerja di sini juga?" "Iya." Dengan santai Pak Dirga mengangkat tangan, kayak yang dia lakukan ke aku tadi. Sontak aku muter badan ke belakang, mencari orang yang jabatannya lebih tinggi dari Pak Dirga. Tidak ada. Aku cuma melihat Pak Bos Anggito sedang celingukan cari tempat duduk. Dia melihat ke arah kami, dan langsung berjalan ke sini. Aku memutar badan lagi menghadap Pak Dirga panik. "Pak Anggito maksud Bapak?" "Yoi." Pak Dirga menaikturunkan alis, puas melihat wajahku pucat. "CEO baru yang kamu bilang cupu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD