Call Him

1078 Words
Di gedung perusahaan, Theala Enterprises. Rombongan para eksekutif perusahaan berbondong-bondong menyamai langkah Elena keluar dari kantor. Setelah sebelumnya wanita itu berhasil mengadakan konferensi pers terkait gosip dirinya, para wartawan nyatanya tidak mau begitu saja melewatkan kesempatan untuk mengulik kehidupan pribadi Elena lebih jauh. Meskipun Elena sudah mengatakan apa yang perlu dijelaskan, tidak membuat para wartawan yang haus akan gosip itu berhenti bertindak mencemari nama baiknya. Hubert sudah meraung-raung dengan sangat marah tadi di ruangannya. Memarahi Elena yang dianggap tak becus mengendalikan situasi panas di luar sana. Jika saja bukan karena adanya para pemegang saham di ruangan itu, dapat dipastikan jika Elena akan dibunuhnya di tempat kalau perlu. “Selanjutnya apa rencana Anda, Direktur?” Seorang pria tambun yang merupakan manajer di perusahaan itu bertanya pada Elena. “Tak ada salahnya juga kalau Anda menerima saran dari Presdir untuk menikah...” “Bisakah kau tutup mulut?!” tegur wanita itu mulai jengkel. Elena yang sangat kesal saat itu lalu memutar matanya jengah akibat pertanyaan yang dilontarkan ke arahnya. Dia pun berbalik dan menatap lurus pria itu dengan mata dingin mematikan, “Daripada kau hanya membuatku sakit kepala karena ocehanmu, lebih baik pergi dari hadapanku!” ucapnya mendesis marah, mengusir para petinggi tua itu dari hadapannya. Pria itu berhenti berjalan, dengan patuh menuruti permintaan direkturnya. Elena menghela napas lega karena di tinggal sendirian. Wanita itu lalu masuk ke dalam lift. Rencananya, dia akan pergi untuk mengasingkan diri sampai gosip tentang dirinya reda. Walau dia tahu akan mustahil sekali gosip panas itu menghilang begitu saja. Dua minggu setelah janjinya pada Hubert yang berkata akan memperkenalkan laki-laki pilihannya, Elena nyatanya belum menemukan seorang pria yang dapat dijadikan seorang pendamping hidup. Wanita itu sudah sangat stres dengan masalah yang dihadapi, dan sekarang bertambah lagi masalah krusial lainnya mencari seorang suami. Di mana kiranya dia bisa mendapatkan seorang laki-laki sesuai seleranya? Elena menekan pelipisnya ketika pusing menyerang kepalanya. Ketika wanita itu sedang sibuk memikirkan seorang pria untuk dijadikan suami, pintu lift kemudian terbuka. Dia sedikit terkejut dengan bunyi lift itu. “Direktur.” Sebuah panggilan dari beberapa karyawan yang berpapasan dengannya menambah sakit kepala Elena semakin menjadi-jadi. Wanita itu sudah bersiap ingin menegur orang-orang di lobi itu sebelum tatapannya terpatri pada sosok pria yang kini berdiri tak jauh dari tempatnya. Seorang pria yang dia temui malam itu. Yang membantu merawat luka-lukanya. Dan pria itu ... Kini berdiri di antrean para pelamar kerja di perusahaan miliknya. *** Keesokan harinya, di lantai 15 di sebuah kantor sang CEO. Elena menopang dagu sambil mengetuk meja menggunakan bolpoin di tangan. Wanita itu tampak melamun. Dia sedang mengingat sebuah kejadian yang terjadi kemarin siang di lobi perusahaan. Saat ini wanita cantik itu sedang menunggu kedatangan sekretarisnya yang dia perintah supaya pergi ke ruangan personalia demi membawakannya sebuah dokumen yang berisi para pelamar kerja. Tok! Tok! Tok! “Masuk.” Megan datang sambil membawa beberapa dokumen bertumpuk di tangan. Wanita itu lalu menyerahkannya pada Elena, “Ini Direktur, dokumen para pelamar kerja yang Anda minta.” “Bantu aku memilah surat lamaran dari pria yang memiliki wajah tampan. Usianya sekitar tiga puluhan.” Meghan menganga terkejut dengan perintah absurd Elena. “Apalagi yang kau lakukan bengong di sana?!” Elena menegur sekretarisnya itu dengan memukulkan sebuah gulungan dokumen ke lengan Meghan. Aduh! Meghan memekik tertahan. Namun dengan sigap dia menuruti permintaan Elena untuk mencari seorang pria yang direkturnya mau. Tidak terlalu sulit bagi Meghan untuk mencari seorang pria yang dimaksud oleh direkturnya tersebut. Jika kata tampan meluncur dari mulut Elena, maka ketampanan yang dimaksud haruslah setara dengan wajah Cris Vans yang memerankan tokoh kapten itu. Beberapa saat kemudian, Elena berhasil menemukan apa yang dia cari. Sepasang mata Elena menatap dengan tajam portofolio seorang rekrutmen di atas mejanya. Tertera di sana sebuah nama, Damian Galen. “Hubungi pria ini.” Tunjuk Elena pada sang sekretaris. Di tangannya, selembar kertas CV ia pegang. Selain biodata yang sudah dia baca dengan teliti, foto dengan latar biru itu lebih mengundang minat wanita tersebut. Meghan melongok kan kepalanya ke depan, wanita yang menjadi sekretaris Elena itu tepat berada di depan direktur cantiknya. “Di mana Anda akan menempatkan pria itu? Semua posisi di masing-masing departemen sudah terisi penuh, perusahaan tidak membutuhkan tambahan karyawan lagi.” Beritahu Meghan pada Elena. Setelah dia melihat tanda silang merah di kertas lamaran itu, dia jadi teringat dengan pesan yang dititipkan kepadanya. Tanda silang merah itu menandakan si calon pelamar memiliki reputasi buruk yang perusahaan pun tak perlu mempertimbangkan untuk merekrut tenaganya. Jadi dia pun memberitahu Elena sebuah kebohongan tentang tak ada tempat lagi untuk menerima karyawan baru. Elena cemberut, “Aku menginginkannya. Tempatkan saja pria itu menjadi asisten pribadiku.” “Direktur....” “Kenapa? Apa yang salah? Aku membutuhkan seorang asisten pribadi untuk mengurus keperluan diriku. Kau tak mungkin lupa kan kalau Lesley ‘temanmu’ itu sudah kupecat!” ujarnya penuh penekan pada kata teman. Ugh! Kata teman dari bibir Elena membuat Meghan ketakutan. Walau begitu, Meghan menekan rasa takutnya, kemudian melanjutkan bicara, “Dia laki-laki.” Ucap Meghan mencicit, mengingatkan Elena. “Aku tidak buta, Meghan! Mataku baik-baik saja, dan tentu saja aku sudah melihat jenis kelamin pria itu di kertas ini. Kau tidak perlu mengingatkan aku!” Dengkus Elena sambil melotot tajam. Meghan hanya mampu menghela napas ringan, “Maksud saya, menempatkan pria itu sebagai asisten pribadi Anda tidaklah pantas. Anda seorang wanita lajang, yang paling diincar di kota ini – kalau perlu saya ingatkan pada Anda – setiap laki-laki yang melihat Anda, akan memiliki pikiran kotor di otak kecil mereka. Dan Anda malah merekrut laki-laki tak jelas ini untuk menjadi asisten Anda?” tanya Meghan tak percaya, sikapnya itu jelas meragukan keputusan Elena. Elena memutar bola matanya jengah, “Aku menginginkan pria ini. Apa salahnya dengan itu. Kalau pun nanti pria itu mampu membuatku telanjang di depannya dengan suka rela. Maka itu lebih bagus lagi.” “Direktur!” panggil Meghan tak berdaya. Elena melambaikan tangannya tak peduli, “Kau aku perkerjakan di perusahaan ini bukan untuk mengoceh padaku. Hari Selasa, aku menginginkan pria itu sudah berada di perusahaanku hari Selasa, Meghan. Kalau pria itu sampai tidak datang, bersiap saja kau aku tendang dari sini!” Tentu saja Meghan – sebagai seorang karyawan – mematuhi perintah Elena dengan bijak. Selang beberapa menit dari perintah sang bos cantik, Meghan langsung mengirim e-mail kepada sang rekrutmen. Berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang tampak ingin menelan orang, jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, mengetik sebuah tulisan rapi dan meyakinkan. Dear Mr. Damian Thank you for your recent application...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD