Chapter 2

1090 Words
Sebenarnya itu adalah salah Addy yang meminta Regan menjemputnya di tempat lesnya kemarin malam saat seharusnya si adik kecilnya itu mengadakan turnamen bola dengan teman-temannya. Addy memaksa saat itu, karena jika bukan Regan yang mengantarnya ke rumah, mungkin Ayahnya akan memarahinya abis-abisan karena pulang lewat dari jam malam. Alhasil, Regan tidak jadi melakukan turnamen malam itu, dan temannya marah karena menganggap Regan sangat mengacaukan semuanya. Dan kini, setelah Addy menghajar teman Adiknya, Regan malah balik marah padanya. “Ini salah lo. Lain kali jangan minta gue buat jemput lo lagi, masih banyak sopir yang bisa lo suruh buat jemput lo.” Addy berdecih. Enak sekali Regan mengatakan itu, padahal ssemenit sebelumnya dia ketakutan dan bersembunyi di balik sang kakak. Sebenarnya, Addy tidak melakukan apapun, dia hanya diam dan menatap Rio—teman adiknya—dengan tajam dan itu saja mampu membuat temannya mati kutu. Addy berjalan kembali ke kelasnya di mana ia tahu kini ia sudah terlambat masuk kelas. Saat melangkah masuk melewati pintu kelas, dia terkejut saat tahu bahwa guru di depan kelasnya itu bukanlah gurunya. Walaupun Addy adalah anak nakal yang jarang sekali memerhatikan guru, tapi setidaknya dia hapal siapa gurunya. “Sorry, Sir?” tanya Addy dengan nada ragu. Dia dan sosok laki-laki di hadapannya itu kini menjadi pusat perhatian seisi kelas. “Kamu terlambat?” Addy mengerutkan dahinya tidak mengerti. dia terlambat di kelas Sosiologi, bukan di kelas milik pria antah berantah ini. “What?” Pria itu terlihat menghela napas dan melipat kedua tangannya di depan d**a seraya bersandar di meja guru. “You, stand there and don’t move.” Addy sangat tidak mengerti kenapa pria ini sangat galak padanya padahal dia merasa tidak memiliki salah sedikit pun. Untuk menghindari masalah yang lebih besar dari ini, Addy akhirnya berdiri di depan kelas dengan semua mata tertuju padanya. “You are a stranger.” Addy bergumam, namun sayangnya pria itu masih bisa mendengarnya. “Well, siapa namamu?” “Adelaide.” Addy tidak akan membiarkan orang yang membuat mood-nya memburuk untuk mengetahui sapaannya. “Oke, Adelaide.” Wow, Addy terkesan karena pria ini tidak kesusahan dalam memanggil nama panjangnya sama sekali. “Saya guru Matematika kamu, dan saya menukar jam pelajaran pertama kalian karena setelah ini saya harus memiliki kegiatan lain.” Pria itu meliriknya. “You better remember that. Saya bukan orang asing.” “All, saya termasuk orang yang sangat disiplin, jadi keterlambatan tidak akan saya tolerir. Semoga Adelaide bisa jadi contoh untuk kalian.” Semuanya mengangguk. Sementara, Addy hanya bisa menghela napas malas karena guru barunya ini sudah memberikan kesan yang buruk padanya bahkan saat mereka pertama kali bertemu. “Do you want to have a seat?” Addy tersenyum miring. “Tidak perlu. Saya bisa memerhatikan Bapak dan pelajaran Bapak hanya dengan berdiri di sini.” Teman-teman kelasnya, termasuk Adele, terkejut karena sikap Addy yang sangat berani pada guru baru mereka. Pria itu mengangkat bahunya. “Okay.” Dan benar saja, selama dua jam mata pelajaran itu berlangsung, Addy diam memerhatikan guru itu menerangkan materinya. Addy menghela napas, ia sedikit menyesal karena mengatakan untuk tidak duduk. Setelah selesai menerangkan, guru yang tidak Addy tahu namanya melewatinya dan mengatakan, “Ikut saya.” Addy kembali menghela napas, dia tidak memiliki pilihan lain selain menurutinya. *** “Duduk. Saya tahu kamu lelah berdiri tadi.” Addy tersenyum sinis saat Dean Angkasa—iya, dia baru tahu siapa nama guru baru yang menyebalkan itu saat dia melihat nama tersebut di atas meja kerja gurunya. Addy tetap berdiri dan tidak memedulikan suruhan gurunya. Dean menghela napas dan mengangkat kedua bahunya tidak peduli. “Saya tidak suka dengan keterlambatan kamu, dan karena itu saya menghukum kamu.” Addy menghela napasnya malas seraya memutar bola matanya. “It’s already obvious.” Dean mengangguk. “Saya mohon maaf jika sudah memberikan kesan yang buruk padamu.” Well, first impression can’t change, Sir. Addy diam saja dan mengatakan itu dalam hati. “Jangan ulangi kesalahanmu lagi, please.” Dean tersenyum manis pada Addy, namun Addy sendiri tidak memiliki niatan untuk membalasnya. “Aku terlambat di jam Sosiologi, bukan di jam Anda, Sir.” Dean tertawa kecil. Dalam pikirannya, gadis ini sangat bebal dan memiliki pendirian yang kuat yang tidak mudah terpatahkan oleh siapapun—well, it’s obvious. “Iya, tapi jam kami ditukar, Adelaide. So, technically, you were late.” Addy menggeleng kuat. “It’s definitely different, Sir.” Tidak mau berdebat lebih lama, Addy memilih untuk pergi dari sana tanpa basa-basi. Dean yang melihatnya hanya bisa melongo melihat tindakan muridnya. *** “Okay, sebenarnya siapa dia?” tanya Addy dengan kesal saat dia dan Adele berada di kantin untuk makan siang saat istirahat. Adele menghela napas. “Dia guru pengganti Bu Marnie, as you know, Bu Marnie sedang cuti dan beliau yang menggantikannya.” Addy berdecak. “So, is he gonna be here?” Adele mengangguk. “Forever?” “Tidak juga. Hanya sampai Bu Marnie kembali. Aku dengar, dia juga sebenarnya bukan guru, dia anak dari pimpinan yayasan sekolah ini. Dia sebenarnya dosen, di bidang yang sama, dan punya bisnis arsitektur di kota lain.” Adele adalah ketua kelas mereka, Addy tidak heran kenapa dia begitu tahu soal guru baru yang menyebalkan itu. “He’s handsome, by the way,” ucap Adele dengan senyum miring, bermaksud menggoda kembarannya. “Iw.” Addy mengeryit tidak setuju. “Adele,” ucap seorang perempuan pada Addy. Sepertinya, dia adalah anak dari kelas lain yang salah mengira Addy adalah Adele. Ini bukan yang pertama kali terjadi, karena sering sekali orang-orang salah menyangka mereka. Addy menghela napas. “I’m Addy.” Perempuan itu terkejut dan tersenyum tidak berdosa. “Maaf.” Dia beralih pada Adele dan ternyata itu hanyalah urusan OSIS yang tidak diketahui Addy. Yaps, Addy dan Adele sangat berbeda. Jika Addy adalah anak brandalan—walau tidak senakal itu juga—Adele adalah anak OSIS yang tertib, teratur, taat peraturan, dan tentu saja, baik. Mereka semua tahu perbedaan karakter Addy dan Adele walau seringkali tertukar dalam masalah wajah. Namun, dibalik semua itu, Addy dan Adele saling melindungi—mereka bukan tipe gadis kembar yang kerjaannya hanya bertengkar karena sering disamakan. Karena, well, sudah jelas mereka berbeda. Walaupun sering kali orang-orang membandingkan Addy dan Adele, lebih kepada; Addy sangat berbeda dengan adik kembarnya yang penurut dan pendiam. Addy tidak peduli, karena dia hidup bukan untuk everyone’s pleaser. “Lo sudah kelas tiga, dan masih ngurusin OSIS?” Adele tertawa kecil. “Bentar lagi aku lengser, nggak usah khawatir.” Dan Adele pergi dari sana meninggalkan Addy dengan makanannya. Addy melihat ke sekelilingnya dan tidak sengaja ia melihat Dean yang sedang membeli sesuatu di kantin dan tidak jauh darinya. Dean mungkin merasa ada yang memerhatikannya, dan tatapannya menoleh tepat pada Addy. Addy sendiri tidak berniat untuk memalingkan wajahnya karena sudah ketahuan dan tertangkap basah memerhatikan gurunya dari jauh, sebaliknya, Addy malah memasang wajah judes dan berdiri seraya mengibaskan rambutnya. Dengan jelas, dia mengibarkan bendera perang pada gurunya sendiri. Dean sendiri hanya tertawa kecil melihat kelakuan muridnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD