Teman Satu Kamar

1870 Words
Teman Satu Kamar TELEPON selular menjerit-jerit minta diangkat. Empunya tengah tertidur lelap di atas kasur busa yang tergeletak dan berbalut seprei merah darah tanpa gambar sedikit pun. Tubuh seorang gadis yang masih berbalut atasan kaus ngepas merah yang bagian lehernya lebar dan bawahan celana léjing hitam yang membungkus kedua kakinya yang padat berisi. Matanya terpejam dan masih dibuai mimpi. Suara telepon selular yang memecah sepi itu pun berhasil membuat matanya terkuak. Kamar yang gelap. Sesaat ia terdiam. Telepon selular yang tergeletak di atas karpet masih menjerit-jerit dan dari tadi tampak tak sabar agar si empunya yang sebelumnya masih tergolek pulas agar gegas bangun dan mengangkatnya. Cika Sagita, seorang mahasiswi semester satu sebuah fakultas ekonomi, menghela napas sesaat. Tubuhnya pun dipaksakan beranjak meski rasa malas mencengkeramnya. Sejenak ia terduduk di atas kasur busa itu. Perlahan, tubuhnya berdiri. Tangan kanannya meraba-raba sekitar dinding mencari letak sakelar. Alhasil, jemarinya menemukan benda yang menempel di dinding yang dipastikannya sebagai benda yang bernama sakelar. Jemari lentiknya pun memijit pelan. Lampu kamar seketika menyala. Terang meski tak terang-terang amat lantaran hanya lampu 5 watt. Mata indah Cika mengerjap. Lalu beralih pada dinding dimana ada jam yang menempel. Ditatapnya dengan saksama. Jarum pendek mengarah angka delapan. Jarum panjang mengarah angka tujuh. Dua puluh lima menit lagi beranjak ke pukul dua puluh satu alias pukul sembilan malam. Matanya beralih lagi ke atas karpet beludru merah polos. Telepon selular miliknya. Beberapa detik lalu sempat berhenti teriakannya. Kini berteriak lagi. Bahkan menjerit-jerit. Kian tak sabar ingin segera dijamah oleh pemiliknya yang matanya tampak masih terkantuk-kantuk. Tubuh Cika membungkuk lalu berjongkok. Memungut benda kesayangannya, lalu ditempelkan di telinga kirinya setelah tahu siapa yang meneleponnya. Ibunda tercinta. “Kamu ini ke mana siiiiih, ko Mama telepon terus tapi tidak kamu angkat!” suara ibunya yang agak cempreng menembus di gendereng telinganya. “Karena Mama tak yakin kamu pergi-pergian lho… kalau pergi, pastinya HP selalu kamu bawa kan?” “Ya, Mama. Maaf baru Cika angkat, ya?” “Kamu tadi lagi makan?” “Cika belum makan, Mama,” ucap Cika jujur. Ia teringat baso kuah di kampus yang masuk di perutnya pukul tiga sore. Setelah itu ia dan teman-temannya menuju tempat kos tak jauh dari kampus, berbincang mengenai tugas kelompok. Hingga hari mulai diselimuti gelap. Cika pulang dan merasa letih. Masuk kamar. Langsung menjatuhkan tubuh di pembaringan. Tak ingat apa-apa. Pulas. Dan terbangun lantaran suara jeritan benda mungil miliknya. “Cikaaaaa, kamu jangan mengabaikan perutmu. Tak baik makan malam terlalu larut, lho.” “Sekarang belum larut, Ma.” “Tapi waktu makan malam sudah lewat, Cika! Harusnya jangan lewat pukul tujuh! Sekarang sudah mau pukul sembilan. Kenapa kamu mengabaikan jam makan malammu, Cika? Kenapa?” seru sang ibu cerewet banget dan terdengar sangat mengkhawatirkan putri semata wayangnya yang tinggal jauh darinya. Sudah tiga bulan, Cika kuliah di kota. Otomatis, Cika pun kos. Harus mencari makanan sendiri. Ibunya sangat tahu dengan putrinya yang sedikit manja dan kurang bisa mandiri. Termasuk urusan makanan pun kerap mengandalkan mendapat layanan dari ibunya. Cika mendesah. “Kalau Mama sudah beres menelepon Cika, Cika mau langsung makan, Mama.” “Hemm, oke, janji ya mau makan?” “Ya, Ma.” “Kamu… masih punya uang kan?” pertanyaan ibunya sedikit membuat ngilu di d**a Cika. Uang mingguan yang didapatkannya memang kalau untuk makan layak di rumah makan atau warung makan sederhana pun, tak akan cukup. Belum ongkos angkutan kota ke kampus. Juga pulangnya tak mungkin jalan kaki karena jarak cukup jauh. Belum biaya tak terduga seperti fotokopi diktat dan lainnya. Ah, terkadang Cika ingin menjerit karena sedih. Ia tak bisa seperti mahasiswa lainnya yang mendapat uang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di rantau. Namun, ia tak pernah mengeluh pada ibunya apalagi sampai menuntut. Baginya, sudah bisa kuliah pun, ia sangat bersyukur. Ia jalani hari-harinya jauh dari kedua orang tua terutama ibunya dengan penuh kesabaran. Bekal uang yang diperolehnya saban pulang kampung halaman, ia akan mengaturnya agar cukup untuk seminggu. Ia benar-benar harus berhemat. Harus pandai-pandai mengencangkan ikat pinggang. Untunglah pemilik rumah dimana ia kos-- cukup baik padanya dan memperbolehkannya ikut menumpang memasak di dapurnya. Tanpa harus menyumbang biaya untuk mengisi tabung gas. “Mmm-maa-siiih, Ma,” ucap Cika berusaha meyakinkan ibunya meski tetap tak mampu menahan yang berkecamuk dalam dadanya dengan tiba-tiba. “Sungguhkah?” tanya ibunya sedikit ragu. “Ya, Ma.” “Kamu mau makan malam bareng teman sekamarmu?” tanya ibunya. Cika memang tidak sendiri menghuni kamar kos-nya. Widi Widiastuti, teman satu kamar sekaligus teman kuliahnya. Malahan mereka berdua satu kelas. Dan ada lebihnya, Widi berasal dari Garut, kedua orang tuanya dari sebuah kota kecamatan dimana keluarga ayah kandung Cika pun berasal dari kecamatan itu. Hanya beda desa. “Tidak, Ma. Cika mau makan sendiri. Widi tak berada di kamar sekarang.” “Pulang kampung?” “Tidak, dia mungkin tengah berada di kamar kos teman atau tengah ada keperluan ke mana. Cika belum ketemu dia semenjak di kampus,” jelas Cika. Menghindari ibunya bertanya lebih jauh, Cika mengatakan kalau perutnya lapar ingin makan. Mereka pun mengakhiri perbincangan di telepon. Cika melangkahkan kedua kakinya ke luar kamarnya sembari sebelah tangannya memegang sebungkus mie instant. Ia masuk dapur yang gelap. Menyalakan lampu. Lalu menyalakan kompor gas. Menaruh wajan kecil di atasnya. Merebus air dan memasukkan mie yang sudah dikeluarkan dari bungkusnya. Diambilnya dari rak kaca, sebuah mangkuk berukuran sedang juga sebuah sendok. Sepuluh menit kemudian, ia duduk di meja makan. Menikmati mie rebus. Menyantapnya perlahan. Diambilnya sedikit nasi dari tempat nasi yang berada di atas meja makan. Bu Iis, pemilik rumah sudah kerap meminta Cika dan Widi agar tak sungkan memakan nasi atau lauk pauk miliknya yang kebetulan ada di atas meja makan. Yang membuat Cika dan Wdi betah tinggal di rumah ini lantaran pemilik rumah yang begitu baik dan perhatian. Terkadang, Widi suka menakut-nakuti Cika. Katanya, rumah yang cukup besar ini baru saja ditinggal mati pemilik utama. Suami Bu Iis meninggal dua minggu sebelum Cika dan Widi tinggal di sini. Widi pernah mengatakan jika di suatu malam yang sunyi, ia melihat arwah mendiang suami Bu Iis tengah berjalan-jalan sekitar dapur dan kamar mandi. Widi memang tidak penakut dan bisa dibilang gadis pemberani. Sementara Cika termasuk gadis penakut. Cika takut dengan yang berbau mistis. Terlebih hantu. Bukan hanya itu. Cika bahkan tak pernah mau melayat orang mati. Ia selalu takut terbayang-bayang wajah orang yang meninggal. Sifat paranoidnya Cika dimanfaatkan Widi untuk menakut-nakutinya. Terkadang Widi tergelak mengetahui Cika yang memilik rasa takut yang berlebihan. Cika takut dengan gelap. Widi tidak. Cika takut pergi ke luar rumah sendiri tatkala hari sudah gelap. Sedangkan Widi suka menantang gelap. Seperti malam ini, Widi sudah tidak ada di kamar kos semenjak maghrib. Cika tak mengetahui kepergian teman satu kamarnya karena Cika tengah terlelap ketika Widi pergi. Selain itu, Cika tidak tahu Widi kembali ke kamar kos pada pukul berapa karena mereka berdua tidak pulang bersama meski satu kelas. Namun Cika yakin Widi pulang karena melihat baju yang tadi siang dikenakan Widi, tergantung di kapstok belakang pintu. Menandakan Widi memang sempat masuk kamar. Usai makan malam, Cika masuk kamar mandi. Dibasuh wajahnya yang putih bersih. Terasa segar. Tubuhnya memang terasa tak nyaman lantaran keringat seharian di kampus hingga menjelang sore. Ia tak sempat mandi gara-gara ketiduran. Namun untuk mandi malam-malam, ia tak berani. Bukan perkara takut sakit seperti apa kata orang tapi lebih pada rasa takut yang lain. Mandi malam-malam bagi seorang gadis, konon tidak baik dan bisa mengundang makhluk halus untuk mengusiknya. Bahu Cika bergidik. Jendela kaca kamar mandi tetiba bergetar-getar. Serupa garukan kuku-kuku tajam. d**a Cika berdegup. Matanya enggan mengarah ke jendela. Gegas, kaki-kakinya melangkah keluar meninggalkan kamar mandi. Setengah berlari menuju kamarnya yang berada paling pojok. Ditutupnya daun pintu rapat-rapat. Dari ruang tengah, ruang keluarga tak didengarnya suara induk semangnya yang biasa asyik berceloteh dengan anak-anaknya. Sepi. Mungkinkah mereka sudah pada tidur? pikirnya. Kamar terang. Meski ia tak suka gelap tapi kalau tidur dalam ruangan terang, ia pasti bakal susah menjemput kantuk. Sesaat hatinya resah teringat Widi yang tak juga kembali. Dilihatnya w******p, pesan yang dikirim pada Widi, masih ceklis satu. Dimanakah kamu, Widi? tanya hatinya masih dibalut rasa gelisah. Kenapa Widi acap berbuat semau gue, pikirnya lagi. Seperti hidup yang tanpa aturan. Suka keluyuran malam-malam terkadang tanpa tujuan. Terkadang pula, temannya itu tak pamit pada Cika sebagai teman satu kamar sekaligus sahabatnya. Cika bukannya tak tahu jika Widi berteman dengan banyak laki-laki. Bahkan di antara teman laki-lakinya itu, beberapa ada yang menjadi pacarnya. Selama empat bulan menjadi mahasiswi, Widi sudah berganti empat laki-laki yang berhasil menyandang gelar kekasihnya. Dan hubungan Widi dengan semuanya pun berakhir tak jelas. Atau cukup menggantung. Cika merasa tubuhnya agak gerah karena masih merasa tak nyaman akibat keringat yang menempel. Ia pun membuka lemari pakaiannya, mengambil piyama berbahan katun. Warna merah muda bergambar kartun seperti gambar yang disukai anak-anak. Ia melepas kaus dan celana lejingnya lalu mengganti dengan piyama itu. Terasa nyaman di tubuhnya yang sintal. Lalu perlahan ia merebahkan diri di atas pembaringan. Tentu saja, setelah mematikan lampu kamar. Ia sudah tak berharap lagi menunggu Widi pulang. Mungkin temannya itu akan menginap tapi entah dimana, tebaknya lagi meski agak ragu. Rasa kantuk belum menyerangnya lagi. Pikirannya mengembara jauh pada ayahnya. Hari Sutawijaya. Laki-laki berusia lima puluh tahun. Laki-laki yang bukan seperti laki-laki biasa. Bukan seperti laki-laki pada umumnya. Atau bukan seperti ayah-ayah lainnya. Bukan perkara ayahnya yang bercerai dari ibunya semenjak usia Cika empat tahun. Namun lebih pada kehidupan ayahnya yang beda. Ayahnya seorang laki-laki yang tak sederhana. Apalagi bersahaja. Ayah kandungnya itu mendalami ilmu kebatinan. Entah putih atau hitam, Cika tak tahu pasti. Yang diketahuinya, Hari Sutawijaya itu laki-laki sakti mandraguna. Semua ucapannya kerap mujarab. Terutama buat orang-orang yang berguru padanya atau tengah minta pertolongan padanya. Urusan dunia tentu saja. Jabatan, harta, jodoh, dan lainnya. Cika tahu itu dari cerita ibunya. Ya, awalnya itu. Lalu bertambah cerita yang didengar dari keluarga ibunya. Dari adik-adik ibunya. Dari tetangga di kampung halamannya yang kebetulan sempat mengenal sosok Hari Sutawijaya di masa muda. Tatkala Cika berlibur ke kampung halaman ayahnya di Garut, ia pun acap mendengar cerita serupa atau cerita berbeda seputar ayahnya. Tentunya mengenai kehebatan ayahnya, mengenai ilmu-ilmunya. Mengenai kemampuannya. Yang tentu saja mengundang decak kagum pada yang membawa cerita atau yang mendengar cerita, entahlah, bagi Cika sendiri, itu bukan suatu kekaguman, atau kebanggaan. Apalagi sebuah prestasi. Seiring usianya bertambah, ia kian sadar jika ia anak dari seorang yang memiliki keunggulan ilmu mistik. Justru, ia kian merasa terbebani tatkala menghadapi orang-orang yang terkadang beranggapan dirinya pun hebat. Menganggap Cika sebagai titisan orang yang berilmu tinggi. Seorang gadis yang kelak akan menjadi pewaris ilmu-ilmu luhur ayah kandungnya. Malam bergerak cepat. Tiktaktiktak suara detak jam berbentuk lingkaran besar yang menempel di dinding. Pukul dua puluh empat. Tepat nol-nol. Dingin. Sepi. Cika disergap malam. Matanya belum juga mengantuk. Pikirannya masih mengembara ke alam yang tak dipahaminya. Alam hitam. Penuh misteri. Dari depan pintu kamar, terdengar langkah kaki mendekat. Lalu berhenti. Cika memasang baik-baik dua telinganya. Yang kiri juga yang kanan. Pintu kamar terdengar ada yang mengetuk dengan teratur. Tok tok tok. Sudah. Tak ada ketukan lagi. Senyap. Cika menduga itu Widi meski ia tak mendengar suara pintu depan berbunyi karena dibuka dan ditutup. Tubuhnya pun beranjak. Lalu tangan kanannya menarik handle pintu. Terkuak. Di depan pintu, tak ada Widi. Atau sesiapa pun.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD