2. Tangis Mama

1619 Words
Tidak ada yang spesial dalam hidup seorang Rama Wisena. Tetap datar-datar saja dalam percintaan. Kariernya yang semakin melejit, ternyata tidak mendapatkan dukungan dari wanita hebat di belakangnya seperti quotes pria hebat pada umumnya. Selama ini, wanita terhebat dalam hidup Rama hanyalah sang mama seorang. Menjomlo di usia 28 tahun, dipikir menjalani hari-hari dengan mudah meski sukse? Tidak, Bung! Berbagai pertanyaan tentang kapan menikah seakan menjadi menu wajib disetiap hari yang dilalui oleh Rama. Menjadi anak pertama dan tunggal dalam keluarga Wisena membuat Rama merasa terdesak ketika sang mama selalu menodongnya tentang kapankah Rama akan mengenalkan calon istrinya pada sang mama. Dua-tiga tahun yang lalu, mamanya masih merengek untuk dikenalkan pada teman wanita atau bahkan kekasih Rama. Tapi di tahun ini, tepat ketika Rama sudah usai merayakan ulang tahun ke-28-nya, sang mama selalu meminta agar Rama segera membawa calon istrinya ke rumah. Mereka—kedua orang tua Rama, berjanji tak akan pernah menentang wanita mana pun yang dipilih oleh Rama. Karena melihat sang putra bisa mendapatkan pendamping hidup saja beban mereka sedikit berkurang. Selama ini, banyak sekali rekan-rekan kedua orang tua Rama yang sering menanyakan tentang putra mereka yang hingga saat ini masih betah menjomlo. Padahal di luaran sana banyak sekali wanita yang mengantri hingga berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan hati Rama. Nyatanya hingga detik ini belum juga ada satu wanita yang dipilih oleh Rama. “Habis dari mana kamu? Tumben malam banget pulangnya..” “Kondangan, Ma.” Hendak melarikan diri dari sang mama yang mungkin sebentar lagi akan mulai membahas tentang menikah. Rama seketika menghentikan langkahnya tatkala sang mama hanya diam dan duduk di ruang keluarga. Heran dengan kejadian barusan. Rama pun mendekat dan menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri bahwa sang mama tidak sedang mengantuk atau bahkan tertidur. “Ma..” “Hm.” “Tumben Mama diam..” lirih Rama yang kemudian mengambil duduk di samping wanita paruh baya yang kecantikannya masih terjaga hingga usianya yang tak lagi muda. Itu semua karena mama Rama kerap menjalani serangkaian perawatan guna menyenangkan sang suami. Meskipun keduanya tak lagi muda, tapi demi menjaga keluarganya agar tetap utuh dan terhindar dari pelakor yang akhir-akhir ini begitu marak. Sang mama merelakan dirinya untuk menerima serangkaian perawatan aman dan terpercaya guna menjaga kekencangan wajahnya yang sebenarnya tanpa perawatan juga masih tetap cantik. Pada dasarnya mama Rama juga sudah cantik sejak muda. Setelah puas menyeruput teh hangatnya. Wanita itu kemudian meletakkan secangkir teh tersebut pada meja kecil di hadapannya. Beliau melirik sang putra yang ternyata mengambil duduk di sampingnya. “Ngapain kamu masih di sini? Sana, tidur..sudah malam. Besok masih kerja ‘kan?” “Mama kenapa sih? Aneh banget. Mau Rama temani ke salon besok? Rama bisa kok mengosongkan jadwal kerja, ‘kan Rama bosnya.” Bujuk-membujuk mulai dilancarkan oleh Rama sebagai senjata agar sang mama kembali ceria seperti sedia kala. Kasihan sang mama, pasti wanita itu kesepian karena sang papa juga selama ini selalu sibuk dengan urusan kantornya. Intinya, keluarga yang hanya terdiri dari tiga orang anggota di dalamnya itu hanya bisa menghabiskan waktu bersama ketika weekend saja. Selebihnya mereka sibuk dengan urusan masing-masing. “Daripada kamu nganterin Mama ke salon, mending kamu cepat-cepat cari calon istri untuk dinikahi. Mama dan Papamu sudah tidak muda lagi, Le. Kami ingin segera menimang cucu.”  Rama salah mengira apabila malam ini ia akan terbebas dari pembahasan sensitif yang selalu ia hinderi ini. Nyatanya tetap saja! “Sabar, Ma..” “Kamu mau minta Mama sabar sampai kapan, Le? Mama sama Papa nggak butuh kamu jadi orang kaya-raya, sukses melejit, dan terkenal bisnisnya dimana-mana. Enggak, persoalan itu enggak perlu diutamakan. Kamu masih bisa mengelola perusahaan Papa yang juga tidak kalah besarnya dengan perusahaanmu. Tapi, perihal pendamping hidup…kami sudah lelah menunggu.” “…banyak sekali pertanyaan yang menyerang kamu ketika Mama dan Papa berada dalam sebuah perkumpulan bisnis. Mereka seakan menjatuhkan kamu dengan menudingmu itu tidak menyukai lawan jenis. Hati Mama sebagai seseorang yang telah melahirkan kamu dengan susah payah, merasa sedih. Tentu Mama sangat marah dengan pertanyaan hingga pernyataan tidak masuk akal seperti itu. Karena yang lebih mengenal sosok Rama Wisena adalah Mama dan Papanya sendiri. Dan, kami berdua percaya bahwa Rama merupakan pria normal.” Kesedihan yang terpancar jelas dari kedua bola mata sang mama membuat Rama tak bisa menanggapi ucapan panjang lebar sang mama. Sekuat-kuatnya seorang lelaki, bila sudah berada di hadapan ibu kandungnya sendiri…ia kerap merasa kembali menjadi anak kecil. Seperti Rama kali ini, lelaki itu memeluk erat sang mama yang menangis sesenggukan di bahunya. “Ma..jangan nangis..” “……” “Iya. Rama normal 100% Ma. Ini Rama juga lagi berusaha untuk mencari calon istri yang baik dan mencintai Rama dengan tulus, bukan karena ada apa-apanya. Sulit, Ma. Sebenarnya banyak sekali yang ingin menjadi pendamping Rama di luaran sana, tetapi mereka hanya menginginkan kesenangan hidup semata saja. Bantu Rama dengan do’a ya, Ma.” Mengurai pelukannya. Sang mama berkata, “Itu pasti, Le. Mama pun juga menginginkan pendamping yang terbaik yang bisa menyayangi kamu apa adanya dan juga bersedia menemani kamu di titik tertinggi maupun terendah sekali pun. Jangan hanya mencari wanita untuk diajak bersenang-senangnya saja. Cari juga yang mau untuk diajak bersusah payah. Tapi ingat, jangan menyusahkan pendampingmu nanti. Dia merupakan titipan, kamu harus menjaga dan membimbingnya dengan baik.” “Pasti, Ma. Terima kasih, Ma. Maafin Rama ya, Ma. Gara-gara Rama—“ “Bukan gara-gara kamu, tapi gara-gara jodoh kamu yang nggak datang-datang ke rumah!” Rama terkekeh. Mendengar sang mama yang sudah bisa kembali menunjukkan kekesalannya seperti biasa, Rama merasa sedikit lega. Setidaknya mendapat omelan wanita itu lebih baik daripada melihat keterdiamannya yang kemudian meledak seperti tadi. Usai membersihkan dirinya. Rama tak langsung tidur. Sembari mengeringkan rambutnya yang basah dengan menggunakan handuk. Rama pun mencoba menghubungi Hana—sekretaris pribadi, sekaligus orang kepercayaan Rama yang sudah seperti adiknya sendiri. Tetapi tetap saja, selama ini Rama tak ingin terlihat lebih tua dari Hana. Bahkan ia tak pernah sama sekali memanggil Hana dengan embel-embel ‘Adik’ meski sudah tidak berada dalam jam kerja, seperti saat ini contohnya... “Halo, ada apa Bapak Rama Wisena Yang Terhormat? Saya sedang melakukan panggilan video bersama dengan kekasih saya, Adhitama. Dan, terjeda karena panggilan suara dari Bapak. Ada yang bisa saya bantu? Oh ya, mohon maaf…saya Hana Maira tidak menerima pekerjaan di luar jam kantor. Terima kasih.” “Saya menerima tawaran kamu, Hana.” “Mohon maaf, bisa diulangi? Tawaran yang mana ya, Pak Rama?” “Ide gila kamu,” jawab Rama dengan singkat dan sedikit gengsi. Ia sebenarnya sangat menolak ide gila yang dicetuskan oleh Hana beberapa hari yang lalu. Akan tetapi, mengetahui tangis mamanya malam ini, Rama rasa tidak ada yang salah untuk mencoba ide gila Hana. Mungkin orang di seberang sana sedikit terkejut. Wanita itu bertanya sekali lagi guna memastikan pendengarannya benar adanya, “Pak Rama yakin? Bukankah sebelumnya Bapak terang-terangan menolak ide gila saya itu.” “Saya tarik ucapan saya, demi mama saya.” “Oh sepertinya Tante Cantik lagi-lagi merajuk menantu ya, Bapak..” “Hm. Jadi, mulai besok bisa kamu menyeleksi beberapa pelamar?” “Siap, Pak Rama. Sebenarnya saya sudah mempersiapkan beberapa kandidat yang sesuai dengan kriteria Bapak. Saya yakin, Bapak pasti suka.” “Semoga..” Panggilan keduanya pun berakhir tatkala Hana merengek ingin segera melanjutkan pacarannya dengan Adhitama melalui panggilan video. Benar-benar bos rasa pegawai Rama itu bila sudah di hadapkan dengan Hana yang tak lain dan bukan merupakan kekasih rekan dekatnya juga. Adhitama juga termasuk orang terdekat Rama selama ini. Lelaki itu kerap membantu Rama, pun juga sebaliknya..Rama kerap membantunya strategi berbisnis. Dengan begitu, selama bertahun-tahun pun belum pernah terdengar kabar tidak mengenakkan yang menjerat Rama dan Hana. Keduanya diketahui memang pure rekan kerja. Bos dan sekretaris pribadi. Berbicara mengenai ide gila yang kapan hari dicetuskan sendiri oleh Hana. Rama menolaknya mentah-mentah. Bagaimana bisa ia merekrut seorang sekretaris pribadi baru? Sedangkan selama ini belum ada orang yang bisa dipercaya oleh Rama, kecuali Hana. Tetapi ternyata, Hana mengaku langkahnya mencari rekan kerja ini tidak semata-mata untuk membantunya saja. Namun juga untuk mencarikan pendamping hidup yang sesuai dengan kriteria bosnya. Pandai, tidak neko-neko, berkepribadian baik, sayang kepada kedua orang tua Rama, bonus cantik jika bisa. Membaringkan tubuhnya di ranjang selama beberapa menit tak lantas membuat Rama langsung memejamkan kedua matanya. Ia justru tak bisa tidur apalagi mengingat momen bersama sang mama tadi. Rasanya, Rama turut sedih melihat sang mama yang juga sedih. Ternyata, dibalik segala omelannya selama ini..wanita itu menyimpan segala uneg-unegnya yang malam ini baru bisa wanita itu sampaikan pada rama. Notifikasi ponsel membuyarkan lamunannya. Lelaki itu kemudian menyambar ponsel yang tadi diletakkannya di tempat kosong yang ada di ranjangnya ini. Hana Tiga pesan beruntun yang berisi foto-foto wanita yang berbeda wajah itu membuat dahi Rama mengkerut seketika. Ia masih menunggu pesan selanjutnya yang kini masih diketik oleh Hana. Hana Bagaimana Pak Rama? Cantik-cantik bukan? Besok akan saya jelaskan lebih rincinya atau Bapak bisa langsung membaca biodata hingga alasan tentang mengapa mereka melamar ke perusahaan Bapak. Sekarang silahkan mengistirahatkan badan, Pak Rama. Begadang itu tidak baik, apalagi Bapak masih jomlo dan sudah pasti belum menikah. Sekian, terima kasih.   Rama Hana, apa hubungannya begadang dengan jomlo dan belum menikah? Saya sering begadang karena menyelesaikan pekerjaan. Kamu lupa kalau bos kamu ini super sibuk?   Hana Sayangi diri Pak Rama, karena saat ini Bapak belum memiliki kekasih hati yang bisa menyayangi dan memperhatikan Bapak. Saya hanya mengingatkan atas seizin Mas Adhitama tentunya.   “Bucin,” celetuk Rama yang kemudian meletakkan ponselnya kembali. Dua sejoli itu memang sangat kompak mengejeknya setiap saat. Tidak Hana pun juga Adhitama, keduanya sama-sama mempunyai keinginan yang tidak berbeda jauh dengan keinginan kedua orang tua Rama. Yakni, sama-sama menginginkan kebahagiaan Rama bersama cinta tulusnya.     ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD