Hamish Benedict Lais-Si Anak Bunda!

1293 Words
“Hamish kenapa?” Pertanyaan heran yang wajar sebab Hamish tampak begitu lesu begitu bertemu malam ini. Hamish menatap Vanya yang langsung ditarik duduk di atas pangkuan Aric. Vanya baru bisa menyusul mereka. “Dokter Putra ada urusan kerja, jadi Lea tetap tinggal bersamanya sampai Dokter Putra kembali.” Aric menjelaskan. “Oh, iya Lea bilang ke aku tadi pas siang bertemu,” Vanya sudah tahu. “Lea juga baru tahu Dokter Putra menggantikan Uncle Kaflin. Jangan lampiaskan kesalmu pada Lea.” Vanya memang mulai dekat dengan Lea setelah mengambil proyek renovasi Penthouse yang akan ditempati Lea dan Dokter Kaflin. “Nasibku memang malang sekali,” Hamish menggaruk pelipisnya, saat melihat Aric dan Vanya akan berciuman, ia melemparkan sebuah gumpalan tisu yang ditepis Aric. “Itu sofa lega, susah banget duduk dengan sopan!” sindir Hamish, "dulu aja alergi dekat-dekat, sekarang sudah seperti ada magnetnya!" Vanya terkekeh, lalu turun dan duduk di sisi suaminya. “Kami tidak akan lama,” kata Aric memastikan. “Paling tidak, tunggu sampai Rayan datang. Aku malas pulang,” keluh Hamish. Berpikir dia akan menginap di apartemen Rayan saja, temannya. “Makanya cari pasangan sendiri, biar tidak terus mengganggu kami atau Rayan!” gerutu Aric yang pasti sudah punya rencana berdua dengan istrinya. Hamish hanya menyengir saja, kembali meraih gelas berisi Mojito, menyesapnya perlahan. Mereka banyak mengobrol sampai Hamish pesan ulang Mojito kedua. “Ngomong-ngomong sudah lama aku tidak melihatmu dengan seorang wanita yang dikencani, kenapa?” tanya Aric. Tingkah Hamish itu sebelas-dua belas dengan Aric dulu sebelum bucin abis sama Vanya. Maka, Aric heran melihat Hamish lebih sering sendiri dan mengganggunya. “Memang aku punya waktu buat kencan? Setelah Lea datang, ditambah satu kehilangan si Mbah. Rasanya tenagaku sudah terkuras habis.” Keluhnya. “Lea sangat merepotkan begitu?” “Lebih tepatnya, Bunda yang lebih sering teror untuk aku selalu bisa bersama Lea. Menjaganya, jadi sopirnya.” Baru ia bicara, teleponnya sudah berdering. “Baru kita bicarakan, Bunda sudah telepon.” Hamish tidak bisa mengabaikan ibunya sama sekali, segera menjawab. “Iya, ini mau pulang. Tidak akan malam-malam, keluar pun sama Aric dan Vanya.” Dia menjelaskan posisinya. “Kenapa tidak ajak Lea sekalian?” “Dia ada jadwal operasi, menggantikan satu dokter lain yang sedang sakit.” “Pasti sampai malam, kamu tunggu saja di rumah sakit. Jangan sampai Lea pulang sendiri. Bunda tadi telepon rumah, kalau Lea pergi naik taksi. Kenapa tidak kamu antar saja?” tegur Bunda dengan nada yang lembut. Argh! Lea benar-benar menyusahkan! Ada mobil, mengapa juga pergi pakai taksi?! Pikir Hamish. “Hamish tidak lihat saat Lea pergi, Bun.” “Kamu ini, dititipkan anak gadis orang tuh dijaga baik-baik.” “Iya.. Iya bunda! Ini aku ke rumah sakit sekarang!” Hamish langsung menghentikan Bunda sebelum mulai panjang. Panggilan berakhir, Hamish menarik napas dalam dan bahunya lemas. Kembali meneguk Mojito sampai berkurang setengah gelas. “Aku juga harus pergi, perintah Nyonya Lais harus dilaksanakan!” katanya. Vanya yang dirangkul Aric, tertawa kecil. Aric juga mengangguk. Mereka menghabiskan minum dan keluar dari Kafe bar sekitar hampir jam sepuluh, berpisah di sana. Tidak lupa Hamish mengabari temannya. Berkendara dengan motor kesayangannya, Hamish pilih pulang dan menukar dengan mobil. Jika harus menemani, antar-jemput Bunda atau pun saudarinya, Hamish terbiasa tidak ingin menggunakan motor, tingkat risiko kecelakaan lebih mengerikan. Dia mengendarai motor bila hanya sendiri. Tidak sampai satu jam, ia sudah memarkirkan mobil dan memasuki kawasan Rajata Medical Center atau biasa dikenal RMC Hospital. Kaflin Lais menjabat direktur utama di sana, rumah sakit milik keluarga Putra Rajata. Sementara Dokter Putra sendiri lebih fokus di rumah sakit yang ada di Semarang. Lais punya saham cukup besar di Yayasan rumah sakit ini, alasan lain yang membuat hubungan Lais dan Rajata terjalin baik hingga sekarang. Hamish mencoba menelepon Lea, wanita itu tidak akan menjawab artinya masih di dalam ruang operasi. Hamish mengirim pesan, dan tidak lama Lea memberi balasan. “Aku bisa pulang sendiri,” kalimat pertama dari gadis itu saat tugasnya selesai. Menemuinya. “Bunda yang minta aku menjemputmu. Salahkan dirimu, kenapa harus ketahuan pergi dengan taksi siang tadi?” “Kamu bisa berbohong, konfirmasi saja padaku. Aku akan bekerja sama, tidak akan mengadu pada Aunty.” “Aku tidak bisa membohongi Bunda, kamu pasti tahu kalau feeling seorang Ibu itu peka. Entah bagaimana caranya, tapi Bunda pasti akan tahu.” “Hami—” “Masih mau mendebat? Lanjutkan nanti di mobil, sungguh menunggumu hampir setengah jam, yang kuharapkan saat bertemu adalah kamu tidak banyak bicara.” Balas Hamish lalu berbalik. Lea terpaksa mengikutinya sampai tiba-tiba sudah dekat mobil, Lea mencekal lengannya, “berikan kunci mobilmu.” “Buat apa?” Hamish mengernyit bingung. “Aku yang mengemudi,” “Tidak—” “Berapa gelas kamu minum?” “Hanya hampir dua gelas Mojito. Toleransi tubuhku terhadap kadar—” “Tetap saja, aku lebih baik pulang naik taksi dibanding celaka!” Lea bersikeras. “Buktinya aku sampai di depanmu dengan selamat!” Hamish sama-sama bertahan keras kepala. “Hari sial tidak ada di kalender—” “Astaga, kamu cerewet sekali!” Hamish kesal, Lea pasti tetap akan bersikeras. Ia akhirnya mengalah. Masuk lebih dulu ke bagian kursi penumpang. Membiarkan Lea mengemudi. “Awas kalau mobilku sampai lecet!” Lea tidak pedulikan. Meletakan tas dan jasnya di kursi belakang lebih dulu, barulah ia memasang sabuk pengaman. Mereka berkendara kembali ke rumah Lais, sepanjang jalan, Hamish sangat cerewet. “Kasih tanda kalau mau belok,” “Ya Tuhan, aku juga tahu!” “Biasanya perempuan kan gitu, lampu tandanya belok kanan, tahunya tetap lurus atau belik ke kiri.” “Tidak semua perempuan ceroboh begitu!” Hamish bersandar, memandangi Lea yang rambutnya diikat asal, “aku lapar,” “Hah?” Lea menoleh saat tiba-tiba Hamish bilang begitu. “Di depan ada resto siap saji, masuk ke drive thru.” “Ini sudah setengah sebelas, dan kamu mau makan berat!” Hamish tidak pedulikan, tatapan horor Lea. “Saat menjelang tengah malam, lapar, justru ini pilihan paling tepat.” Katanya santai. Lea berhenti di bagian pemesanan, Hamish melepas sabuk pengamannya lalu begitu saja bergerak sampai menempatkan dirinya dekat wajah Lea. Hamish sempat menoleh. Barulah Hamish menyebutkan pesanannya. Membayar digital. Beberapa saat pesanannya sampai. “Makan di sini?” “Di rumah nanti,” “Kok pesannya banyak?” “Siapa tahu kamu jadi ingin pas lihat aku nanti makan.” Lea menggelengkan kepala tegas, “aku tidak makan makanan fast food menjelang tengah malam.” Hamish sengaja membuka satu burger, harumnya langsung saja memenuhi udara dalam mobil itu. “Untuk ukuran seorang perempuan, kamu terlalu membosankan. Mungkin karena masa kecilmu—” Citttt! Ciiiithhhh! Lea tiba-tiba mengerem mobilnya, “apa yang terjadi?!” kesal Hamish. Tubuhnya sampai terlempar ke depan terlebih ia belum memakai sabuk pengaman. Lea mengeratkan pegangan kemudinya, lalu menatap dingin pada Hamish. “Kamu mau mengatakan jika masa kecilku tidak bahagia? Iya? Karena kamu tahu kehidupan orang tuaku?” Hamish tercenung, dia tidak bermaksud ke sana. Detik itu lah dia melihat sesuatu yang tidak pernah Lea tunjukkan selama ini. Sebuah rindu, juga luka. “Kamu salah paham, Lea.” “Aku turun di sini, dan akan lanjut dengan taksi!” putus Lea. Ia hendak mengambil tasnya tapi dengan tegas Hamish mendekat dan mencekal. “Tetap duduk di sana, lanjut menyetir sampai rumah! Baik aku atau pun kamu, tidak akan ada yang meninggalkan mobil!” Tatapan mata mereka beradu dalam, tidak ada yang mau memutuskan sampai suara klakson di belakang mengejutkan. Tiba-tiba suasana menjadi lebih dingin. Lea lanjut mengemudi, Hamish tak lupa pasang seatbelt. Hamish menyesali mulutnya yang tidak bisa mengerem, sampai menyebut satu hal paling sensitive untuk Lea. “Aku minta maaf, bukan maksudku bicara sesuatu yang sangat sensitive untukmu. “Di maafkan, tapi tidak dengan lain waktu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD