3. Perasaan Tidak Logis

1372 Words
Davit bergegas mengumpulkan berkas yang akan dia gunakan untuk menikah. Sedangkan mamanya sibuk menghubungi kenalannya di kantor urusan agama untuk menikahkan anaknya dengan cepat. Tidak lupa untuk mencarikan wali hakim untuk Lintang. Lintang tampak bingung ketika melihat Davit dan kedua orang tua Davit sibuk sendiri-sendiri. Mama dan Papa Davit tengah menempelkan telepon di telinga masing-masing sembari membahas pernikahan.  Hukma yang duduk bersama Lintang pun menyenggol bahu Lintang, “Lintang, kamu yakin akan menikah dengan kakakku?” tanya Hukma.  “Tidak tahu,” jawab Lintang.  “Lintang, aku sangat senang kamu menjadi kakak iparku, tapi aku juga takut kalau kamu tidak senang dengan pernikahan ini,” ucap Hukma. Lintang menundukkan kepalanya.  Lintang pun tidak senang dengan pernikahan ini, tapi apa yang bisa dia lakukan? Lintang tahu bagaimana sulitnya di masa kuliah, ia tidak mau karir Pak Davit hancur karena tindakannya yang gegabah. Pak Davit juga menyebutnya tidak manusiawi kalau tidak mau dinikahi. Jujur saja Lintang pusing, kata pernikahan tidak pernah ada di kamus hidupnya. Yang Lintang ingin dia hidup tanpa kekurangan uang agar bisa makan dengan tenang, menggapai impiannya dan sukses di masa depan. Namun sandungan pernikahan malah menimpanya. Mau lari juga tidak mungkin, mama dan papa Pak Davit sudah terlanjur riweh menyiapkan pernikahan.  “Lintang, ayo kita ke rumah kos kamu. Ambil barang-barang kamu dan pindah ke sini,” ucap Davit yang datang menuruni tangga. Dengan cepat Lintang berdiri, tangannya segera ditarik oleh Davit.  “Kak, aku ikut!” pekik Hukma.  “Tidak perlu. Beresin kamar kakak saja!” ucap Davit. Hukma menghentakkan kakinya dengan kesal.  Hukma merasa bersalah dengan Lintang. Andai saat itu ia tidak menaruh pekerjaannya sembarangan, pasti tidak akan ketahuan kakaknya. Hukma melakukan joki bukan sepenuhnya karena ia butuh uang, tapi ia kasihan dengan Lintang yang keteteran. Namun yang ia lakukan malah membuat Lintang dalam masalah. Hukma mengusap rambutnya dengan kasar. Sekarang kakaknya yang sudah berusia tiga puluh tahun akan melepas masa lajang, tapi kenapa harus Lintang? Gadis yang bahkan tidak pernah pacaran. Hukma kasihan dengan Lintang yang mendapatkan pria se-annoying kakaknya. Sudah tidak ramah, pelit nilai lagi.  Davit menjalankan mobilnya ke rumah kost yang ditunjukkan Lintang. Sepanjang perjalanan sama sekali tidak ada pembicaraan. Lintang sibuk meremas bajunya dan Davit yang sibuk menyetir. Lintang tahu satu hal lagi, selain kikir nilai, Davit juga pelit suara. Pria itu hanya jakunnya yang naik turun, tapi tidak ada pergerakan apapun dari bibirnya. Ngomong-ngomong soal jakun, Lintang merasa tergiur dengan itu. Bahkan Lintang dengan susah payah meneguk air liurnya. Jakun Pak Davit sungguh menggoda. Tangan Lintang ingin mencubitnya,  tapi Lintang sadar diri. Ia hanya mahasiswi yang gagal sidang karena curang. Kalau dia lancang sudah pasti hidupnya akan jauh sulit.  “Pak, tidak jauh dari sini belok kiri, rumah dengan pagar hijau. Di situ tempat kos-kosanku, ada di nomor delapan,” ucap Lintang.  “Em,” jawab Davit yang hanya dengan deheman. Lintang heran, apakah menghemat suara membuat manusia bisa cepat kaya?  Tidak berapa lama, Lintang dan Pak Davit sampai di kost-an. Dengan segera mereka turun dari mobil.  Brakkk! Sebuah koper terlempar dengan mengenaskan tepat di bawah kaki Lintang saat Lintang baru akan masuk di area gerbang. Koper berwarna kuning itu kini teronggok mengenaskan. Lintang dan Davit mendongakkan kepalanya. Mereka melihat perempuan paruh baya tengah memasang wajah garang.  “Syukurlah kalau kamu datang. Bawa barang-barang kamu pergi dari sini!” bentak Bu Dila, pemilik Kost.  “Bu, kenapa koper saya dibuang?” tanya Lintang.  “Masih nanya kenapa? Kamu tidak ingat kalau kamu nunggak bayar kost selama dua minggu. Kamu pikir ini kost milik nenek moyang kamu!” teriak Bu Dila dengan nyaring. Bahkan beberapa penghuni kost sampai keluar karena teriakan Bu Dila.  “Bu maaf, saya akan bayar saat sudah gajian,” kata Lintang segera memunguti kopernya dan beberapa tas yang berisi buku kuliahnya. “Sampai lebaran kura-kura, gaji kamu gak bakal sampai. Lagian di jaman yang canggih gini bisa cari uang dengan cepat, kamu yang bodooh hanya mengandalkan jadi buuruh di kedai doang. Kerja dua puluh empat jam, kaya enggak, tipes iya,” sentak Bu Dila lagi.  “Cukup! Jangan menghina profesi orang lain. Ibu sebagai ibu kost memangnya sudah merasa mulia?” tanya Davit menarik koper yang dipegang Lintang. Bu Dila memusatkan pandangannya pada Davit, perempuan itu tercenung beberapa  detik karena baru melihat pemuda tampan di hadapannya.  “Berapa biaya yang belum dibayar Lintang? Saya yang akan bayar,” tanya Davit.  “Pak tidak perlu. Saya masih ada sisa uang tiga ratus ribu,” ucap Lintang mencegah.  “Berapa?” tanya Davit lagi pada Bu Dila, pria itu menghiraukan Lintang.  “Lima ratus ribu,” jawab Bu Dila. Davit segera merogoh dompetnya, pria itu mengeluarkan uang seratus ribuan lima lembar.  “Ini, saya bawa Lintang pergi. Terimakasih sudah membolehkan Lintang tinggal di sini, permisi!” ucap Davit menarik koper Lintang juga Lintang yang masih mematung. Davit menariknya hingga membuatnya terkesiap.  “Pak, Pak Davit seharusnya tidak usah membayarnya,” ucap Lintang.  “Apa kamu ini bodooh? Kamu betah tinggal di kost itu yang pemiliknya galak melebihi nenek lampir?” oceh Davit membuka bagasinya dan membanting koper Lintang di sana hingga menimbulkan suara kencang.  “Em, memangnya Pak Davit sudah melihat wujud Mak Lampir, ya?” tanya Lintang. Davit menatap Lintang dengan tajam, buru-buru Lintang menggelengkan kepalanya.  “Maaf, saya hanya asal tanya,” ujar Lintang yang buru-buru masuk ke mobil calon suaminya. Davit mendengus, setelah menutup bagasinya, pria itu segera menuju ke bangku kemudi.  “Pak, kita mau ke mana lagi?” tanya Lintang saat Davit sudah duduk di sampingnya.  “Pulang ke rumah mama saya. Untuk malam ini kamu tinggal di rumah mama saya, besok kita menikah kamu akan tinggal di rumah pribadi saya,” jelas Davit. “Pak, boleh saya tanya sesuatu?” tanya Lintang.  “Apa?”  “Setelah kita menikah, apa karir Pak Davit akan aman?” tanya Lintang yang sangat penasaran. Jujur Lintang ingin memikirkan cara agar karir Pak Davit tidak hancur tanpa menikahinya, tapi ia sendiri tidak menemukan solusinya.  “Jelas. Karena semua di kampus akan berpikir kita sedang ada pertengkaran rumah tangga, jadi mereka maklum dan saya hanya akan mendapat teguran agar profesional. Namun kalau kita tidak menikah, saya yang dituduh mesuum dan bisa dikeluarkan dari kampus,” jelas Davit.  “Oh,” jawab Lintang mengangguk-anggukkan kepalanya.  “Saya harap dengan pikiranmu yang lamban itu kamu bisa mengerti.”  Lintang mengepalkan tangannya saat Pak Davit menghinaya. Tadi dia bisa bertindak garang dengan menarik Pak Davit, sekarang saat dia dihina, ia hanya diam.  “Saya akan membuat surat perjanjian kontrak yang akan sama-sama menguntungkan kita. Pernikahan ini akan berjalan sampai isu kita reda. Saat itu kita bisa bercerai,” ucap Davit.  Lintang menundukkan kepalanya. Entah kenapa hatinya terasa tersentil mendengar ucapan Davit. Mungkin bagi laki-laki, menikah lalu bercerai itu hal yang biasa. Namun bagi perempuan, sudah pasti status janda yang akan disandang. Davit saja menjadi duda tetap menjadi idola mahasiswi kampus, sedangkan nanti saat Lintang tidak lagi menjadi istri Davit, siapa yang mau menikahinya? Lintang memalingkan wajahnya berlawanan arah dari Davit saat memikirkan itu.  “Kalau isu kita sudah mereda dalam lima bulan, kita juga akan bercerai saat itu juga. Kamu tenang saja, selama itu saya akan tetap menjaga batasan,” kata Davit lagi.  Air mata Lintang menggenang di pelupuk matanya. Sejatinya ini bukan masalah menjaga batasan, tapi status setelah pernikahan yang akan Lintang sandang. Sejak kecil Lintang selalu tidak beruntung, keberadaannya tidak pernah diakui oleh siapapun, dan kini ketidak beruntungannya bertambah lagi. Dia yang menjadi seorang gadis saja tidak ada yang menyukainya, apalagi menjadi janda. Lintang mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipinya. Perempuan selalu mengandalkan perasaan di setiap keadaan. Sama halnya Lintang saat ini, ada setitik kesedihan yang hinggap di hatinya. Sedangkan Davit sama sekali tidak peduli dengan kalimat apa yang baru keluar dari bibirnya.  “Apa yang kamu harapkan Lintang? Pak Davit akan menaruh perasaan padamu? Jangan mimpi,” ucap batin Lintang. Davit saja tidak pernah peduli dengan mahasiswanya yang dia beri nilai jelekk, apalagi dengan perasaan kepada wanita. Davit selalu berpikir logis, bagaimana mungkin perasaan itu logis menurut Davit? Jawabannya tidak mungkin.  “Kalau isu kita sudah reda dua bulan, kita akan bercerai juga dalam dua bulan itu?” tanya Lintang dengan pelan.  “Tentu saja. Saya bisa melanjutkan hidup saya, kamu dengan hidup kamu,” jawab Davit sembari fokus menyetir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD