CINTA KEDUA 9
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Menyembunyikan alasan besar sebuah perpisahan selayaknya rahasia terkadang diperlukan untuk menjaga keutuhan rasa agar tetap berada pada titik rela. Di mana hati mencoba menyamarkan kekurangan diri di antara kasih sayang yang diterima dengan begitu besar. Ada harapan semua itu terkubur waktu dan membiarkannya melebur bersama luka masa lalu.
Pria yang masih tidak tahu harus menjawab apa menatap wanita di sebelahnya sebagai kode meminta pendapat baiknya seperti bagaimana. Akan tetapi, hanya senyuman dan gelengan yang ia dapati. Hal itu cukup membuat seorang Arfan mengerti.
Dengan kesepakatan yang dulu pernah tercipta, Arfan menjawab, “Bu ... saya udah dewasa. Bahkan, bisa dibilang lebih dari dewasa. Saya selalu ingin berusaha membahagiakan orang yang menjadi tanggung jawab saya. Baik saat dulu bersama Wening juga sama Nesha sekarang. Selama Nesha tidak memilih pergi seperti Wening, saya akan selalu berusaha membuatnya tidak menangis. Meskipun dengan cara sederhana dan seadanya juga semampuku,” jelas Arfan berusaha jujur tanpa menutupi dirinya yang belum bisa memberikan kelayakan hidup pada seorang Nesha.
“Tapi, jika suatu saat nanti Nesha pun tidak kuat hidup bersama dengan keadaan yang mungkin serba kekurangan, saya pun tidak akan menahannya. Karena dia berhak bahagia,” imbuhnya lagi dengan menahan bulir bening menetes membasahi pipi.
Sang ibu merasa jawaban anaknya terlalu jauh dari pertanyaan utama. “Jawabanmu muter-muter tahu tidak, Fan? Ibu cuma ingin tahu ada apa dengan kamu dan Wening dulu. Itu saja. Apa salah jika seorang Ibu mengetahui kehidupan anaknya?” tanyanya belum ingin menyerah. Ia masih menyimpan rasa penasaran dalam d**a.
Arfan perlahan menggenggam tangan yang kulitnya mulai terasa mengendur. Bukan tidak ingin memberi tahu, tetapi untuk apa mencari tahu hal yang telah berlalu. “Ibu percaya sama saya, kan? Ibu doakan saja saya bisa mendapat uang banyak di kota dan membahagiakan kalian. Itu saja yang sekarang saya pikirkan. Saya tidak lagi mempersoalkan perpisahan dulu. Karena memang saya bukanlah pria baik untuk Wening. Yang penting saat ini cuma Ibu sama Nesha. Udah ...,” jelasnya lagi masih terus berusaha menyembunyikan satu luka.
Nesha diam-diam memperhatikan ibu dan anak itu saling beradu kata dengan hati nyeri. Ada perasaan iri yang tiba-tiba menggulung nurani. Kedekatan ibu dan anak yang tidak pernah ia dapatkan beberapa tahun lamanya. Bahkan, bisa dikatakan hampir tidak pernah terlibat perdebatan berbumbu kepedulian. Sebab ibunya dulu tipe orang pendiam dan selalu sibuk bekerja. Bahkan, sang ibu tidak pernah tahu jika putrinya pernah hancur dan hampir kalah melawan ujian kehidupan. Sampai Tuhan mengambilnya pun, wanita yang dipanggil ibu itu tidak pernah tahu kalau dirinya seorang penulis.
Perlahan suara isak tangis mulai samar terdengar, membuat perdebatan ibu dan anak itu seketika berhenti. Keduanya mendekat secara bersamaan. Meskipun sang pria yang lebih dulu bertanya dengan wajah panik.
“Sayang ... kenapa? Kok, nangis? Apa aku ada salah? Atau kamu tidak suka aku beda pendapat sama Ibu? Atau kamu cemburu? Atau ... jajannya kurang?” tanya Arfan tanpa henti.
Sang mertua pun ikut bertanya. Tidak biasanya ia melihat menantunya menangis tanpa sebab dan di depan dirinya saat terlibat perdebatan dengan anaknya.
“Nesha ... kamu kenapa nangis? Ibu minta maaf jika terlalu ingin tahu urusan rumah tangga Arfan yang dulu dan sekarang. Ibu janji tidak akan bertanya lagi tentang alasan besar itu. Jadi, kamu nangisnya tolong berhenti,” ujar wanita yang merasa bersalah telah bertanya hal cukup pribadi.
Wanita yang tiba-tiba merindukan sosok malaikat tanpa sayap itu menatap dua orang dengan pipi membasah secara bergantian. Hanya mereka yang kini ia punya dan dijadikan rumah tempatnya pulang setelah takdir membawa langkahnya pergi dari ikatan pernikahan terdahulu.
“Sayang ... kamu sebenarnya nangis kenapa? Kamu tidak mau bilang? Jangan buat aku menebak, aku bukan cenayang," tanya Arfan lagi yang masih terus merayu Nesha bicara. Tangannya bahkan mengusap lembut kepala yang terutup hijab berkali-kali.
“Aku kangen sama Ibu ....” Nesha menjawab bersamaan tangis yang kian menjadi. Hingga membuat keduanya melupakan pertanyaan yang jawabannya tidak ingin diketahui siapa pun.
Arfan seketika mengusap wajahnya kasar. Pikiran yang mempunyai banyak salah akhirnya langsung lenyap saat tahu alasan wanitanya menangis karena mengingat sang ibu. “Allahuakbar ... kamu kangen sama ibumu?” tanyanya lagi memastikan. Ada lega dalam d**a karena janjinya tidak membuat air mata itu jatuh masih terjaga.
Wanita pemilik mata kehitaman itu mengangguk. Namun, air mata masih jatuh seperti hujan. Tangisnya pun mampu mengambil setengah napasnya.
Tanpa diduga, sang mertua memeluk menantu yang masih belum bisa berhenti menangis. Tepukan lembut di punggung tidak lupa diberikan untuk membuatnya tenang. “Jangan nangis lagi, Sha ... bukankah mertua juga sama seperti Ibu? Meski bukan ibu yang melahirkan dan membesarkan kamu, tapi kamu adalah bagian dari Arfan, anak ibu. Itu berarti ibu juga ibumu. Kamu juga begitu sama ibu, kan?” tanya sang mertua dengan suara begitu lembut.
Nesha hanya mengangguk sebagai jawaban. Baginya, wanita yang begitu diagungkan prianya memang bukan hanya sekadar ibu mertua, tetapi sudah ia anggap seperti seorang ibu yang menyayangi anak perempuannya. Meskipun kadang melarang keluar rumah demi tidak mendengar omongan orang, tetapi ia tahu hal itu sebagai bentuk kasih sayangnya. Begitu pun tentang pertanyaan beberapa menit lalu. Ia yakin itu juga termasuk bentuk sayang karena tidak ingin ada yang merendahkan anaknya.
Pria yang melihat pemandangan cukup luar biasa di depannya tidak kuasa ikut meneteskan gerimis. Ya, Arfan baru melihat ibunya bisa sesayang itu sama wanita yang dipilihnya kedua kali melalui jalan berduri.
“Apa ini yang namanya ikatan batin? Aku baru melihatnya sendiri secara nyata. Aku tidak menyangka ibu bisa begitu cepat menyayangi Nesha. Sekarang aku mengerti, Sha ... aku ingat kamu sering gelisah jika aku dalam keadaan tidak baik. Karena ternyata ada ketulusan di dalam hati yang kamu berikan untukku dan juga ibu. Aku janji akan selalu berusaha membuatmu tidak menangis lagi,” ujarnya serupa janji matahari yang tidak pernah ingkar pada bumi.
Perlahan, Arfan mendekat, lalu meminta ruang agar membawa wanitanya ke kamar untuk istirahat. Ia tidak ingin tangisnya semakin menjadi dan melenyapkan senyum di wajahnya.
“Bu, saya boleh bawa Nesha ke kamar. Biar dia istirahat. Pasti lelah karena tadi habis jalan-jalan terus dapat sambutan ibu yang luar biasa,” pintanya menjaga kesopanan tanpa ada keinginan menyinggung dan menyakiti hati sang ibu.
Wanita yang masih merasa beralah melepaskan pelukan, lalu berkata, “Ibu minta maaf, Fan ... Ibu janji akan menganggap hal ini tidak pernah terjadi. Ibu juga percaya sama kamu dan Nesha. Kalian harus bahagia hingga maut memisahkan. Apa pun badai yang datang nanti, jangan pernah mengambil keputusan dengan kepala dan hati panas. Ibu tidak mau Nesha kehilangan rumah keduanya dan juga kamu. Sebab Ibu tahu dia memiliki cinta yang hampir sebanding dengan punya Ibu. Ya udah, kamu bawa Nesha ke kamar. Temani saja dulu sampai hatinya tenang,” ujar sang ibu yang memang bisa merasakan hati kecil menantunya. Walaupun setengah waktunya bersama ponsel, tetapi ia selalu turun tangan jika dibutuhkan. Apalagi mau mendampingi Arfan dalam keadaan apa pun.
Arfan memberikan senyuman atas pengertian sang ibu yang tidak lagi memperpanjang pertanyaannya. Pelan, ia pun memapah Nesha hingga melangkah ke kamar. “Terima kasih, Bu ...,” ucapnya sebelum sampai di kamar.
“Berbahagialah selalu, Fan, Sha ... Ibu janji tidak akan mengungkit lagi masa lalu. Bahkan, Ibu akan berusaha menahan segala amarah jika nanti mendengar omongan tetangga dan Wening. Yang penting sekarang adalah apa yang ibu lihat di depan mata tentang kebersamaan kalian,” gumam sang ibu sembari melihat dua punggung itu menghilang di balik pintu.
Sementara Arfan di kamar masih berusaha menenangkan wanitanya. Berkali-kali punggung tangannya menghapus pipi yang basah. Bahkan memberi kecupan lembut di kepala penuh sayang.
“Sha ... nangisnya udah, ya? Dulu yang janji tidak nangis lagi siapa? Kan, aku udah pernah bilang, kalau kamu kangen sama ibu, kamu doain. Karena hanya itu yang bisa sampai padanya. Gimana kalau kita doa bersama?” ucap sang pria penuh kesungguhan.
Seketika Nesha mengangkat kepalanya, menatap pria yang sejak dulu melarang untuk menangis. “Pengin dipeluk ...,” ujarnya lirih.
Arfan membawa wanita yang tidak punya siapa-siapa lagi ke dalam pelukan kedua kali. “Udah jangan nangis. Kan, udah tidak perlu menjawab pertanyaan ibu. Aku itu sayang sama kamu, Sha ... aku janji akan memberi kamu bahagia. Asal kamu tetap di sini bersamaku. Menggenapi setengah hati yang jauh dari sempurna,” jawabnya jujur tanpa mengobral kata-kata manis seperti dulu.
Bibir yang terlihat sedikit bergetar karena sisa isak tangis pun berhasil menghipnotis seorang Arfan. Entah kenapa tiba-tiba ingin menghibur wanitanya melalui kecupan mesra yang berujung mandi madu.
“Sha ... apa aku boleh menciummu bersama gejolak? Bukankah dulu kamu berjanji ingin memberiku ciuman istimewa? Bukan hanya ciuman biasa seperti tadi pagi,” tanya sang pria seakan menagih janji yang dulu pernah tertulis di antara keduanya.
Seketika wanita yang pernah berjanji memberikan ciuman pertama setelah melewati masa sakitnya dulu menghentikan tangisnya. Nesha tahu bukan ciuman seperti tadi pagi yang sang pria inginkan saat ini. Akan tetapi, ciuman layaknya orang dewasa yang diselimuti hasrat bercinta.
“Apa kamu yakin, Mas? Sungguh, aku masih takut jika bekas sakitku justru benar-benar ikut membawamu. Aku belum siap itu terjadi. Aku bisa menahan sakit mendengar omongan tetangga dan Mbak Wening, tapi melihatmu sakit, aku tidak bisa.”
-----***-----
Bersambung