CK BAB 1

1168 Words
CINTA KEDUA Oleh: Kenong Auliya Zhafira “Eh, tahu tidak? Kasian loh ... Bu Mar punya mantu baru tapi lebih parah dari mantu pertamanya. Lagian aneh si Arfan. Nyari istri lagi bukannya yang lebih dari sebelumnya malah kelakuan lebih berantakan. Kalau saya sih, mending sama Wening dulu. Gitu-gitu si Wening dari keluarga yang jelas berada. Denger-denger yang sekarang itu anak yatim piatu dan korban keluarga tidak sehat. Sungguh malang nasib Arfan.” Satu obrolan dari beberapa tetangga membuat Bu Maryam mengepalkan erat kedua tangan. Bagaimana bisa sesama tetangga tidak mempunyai adab sama sekali. Seenaknya mengatakan Nesha Dianti—mantu keduanya begini begitu tanpa tahu yang terjadi di dalamnya. “Dasar tetangga bermuka dua! Enak saja bilang Arfan salah milih istri setelah kemarin gagal. Meski benar Nesha yatim piatu, tapi tidak begitu juga cara menjadikannya topik hangat. Buat naik darah aja! Perlu dikasih cabai tuh, mulut! Biar tidak pedes ngomongin orang!” ujar Bu Maryam merasa tidak terima dengan obrolan para tetangga. Langkah yang semula bertujuan ke warung untuk membeli sesuatu akhirnya berbelok arah. Rasa panas d**a karena tanpa sengaja mendengar sang menantu dijadikan bahan gunjingan membuat jiwa kekeluargaan mendadak meninggi. Dengan menahan panas yang telah membakar ketenangan, Bu Mar berjalan cepat dan berhenti tepat di depan mereka. Ia menatap satu per satu wajah wanita-wanita yang usianya hampir menyentuh setengah kematian dengan seksama. Seolah kejadian saat ini akan terekam hingga nanti. “Maksud Bu Peni apa ya? Maaf, tadi saya tidak sengaja mendengar nama Nesha disebut. Tidak usah memikirkan bagaimana keadaan saya dan mantu. Dan tidak usah ngomongin di belakang begini. Nesha memang yatim piatu dan kelakuan lebih parah dari Wening. Tapi, setidaknya dia mencintai Arfan. Itu sudah cukup. Dan kalian pun tidak pernah tahu apa yang dilakukan Nesha di rumah. Jadi jangan sok tahu!” Bu Mar berucap tanpa mempedulikan lagi rasa malu karena mulai menjadi perhatian tetangga lain. Bu Peni berdiri, menatap balik wanita yang memiliki dua mantu dengan banyak perbedaan. Akan tetapi, sudut pipinya menyembunyikan senyum palsu. “Bu Maryam ini tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Kami yang di sini tahu kalau Nesha, istri kedua yang dipilih Arfan itu hanya bermain ponsel setiap hari. Bahkan, jarang keluar rumah dan berbasa-basi dengan tetangga. Kalau Wening dulu mau keluar dan bercengkerama dengan tetangga. Jadi, Bu Mar tidak perlu membela mantu seperti Nesha Dianti,” jawabnya tanpa rasa takut dan yakin dengan kebenaran ucapannya. “Saya akan membela Nesha. Sebab apa?! Sebab dia orang yang mencintai anak saya. Dan kini telah menjadi bagian keluarga. Itu berarti dia menjadi anak saya juga! Maka jika Bu Peni menghina Nesha, maka menghina saya juga. Paham?!” Bu Mar tidak mau kalah. Baginya Nesha Dianti adalah wanita luar biasa yang memiliki cinta sebesar semesta kepada Arfan—anaknya di tengah segala kekurangan yang ada. “Halah! Zaman sekarang tidak cukup hanya dengan cinta, Bu!” ucapnya lagi dengan senyum mengejek. “Mana ada wanita yang bertahan ketika prianya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup!” ucapnya lagi penuh keyakinan akan kebenaran pikiran yang ada. Wanita yang sejak tadi menahan rasa sabar dan amarah agar tidak bertabrakan hanya mampu menghela napas kasar. Bu Maryam berpikir jika menanggapi terus-menerus maka perdebatan ini tidak akan ada habisnya. Mengalah lebih baik daripada harus bersikap seperti mereka. “Beruntung saya punya mantu yang selalu jarang keluar rumah. Jadi, Nesha tidak perlu mendengar hal seperti ini. Sekali lagi, jangan pernah membicarakan mantu saya! Kalau hidup tidak cukup dengan cinta, terus selama ini Bu Peni mau bertahan dengan suami karena apa? Bukankah karena cinta? Lebih baik memikirkan hidup sendiri, jangan ngurusi hidup saya dan mantu!” jawab Bu Maryam sembari memukul keadaan Bu Peni yang sebenarnya. Di mana hidupnya pun tidak jauh berbeda dengan anaknya yang tengah mengalami ketidakseimbangan ekonomi. Semua orang yang melihat perdebatan seketika terdiam. Sementara Bu Maryam melangkah pergi tanpa melihat lagi ke belakang. Biarlah kejadian ini menjadi pembelajaran bahwa tidak semua tetangga memiliki kepedulian sesama. Bisa saja keramahan mereka hanya sebuah kepura-puraan. “Dasar tetangga tidak punya adab! Bisa-bisanya ngatain Nesha di belakang. Kalau sampai nanti ada hal begini lagi, saya pastikan cabai satu ons pindah ke mulut Bu Peni!” rutuk Bu Maryam selama perjalanan pulang ke rumah. Ia bahkan melupakan tujuan ke warung karena ini. Sungguh, dalam hati tidak pernah menduga jika tetangga ternyata membanding-bandingkan Nesha dengan Wening—wanita yang memilih pergi dari Arfan—anaknya karena keadaan ekonomi dan perasaan memudar. Bahkan, membuat hidup sang anak kehilangan arah. Beruntung ada Nesha Dianti yang mau menerima segala kekurangan dan kelebihannya. “Semoga kamu sabar menjadi bagian dari Arfan, Sha ... Ibu tidak akan memaksa bertahan seperti Wening jika pada akhirnya pun kamu tidak kuat dan memilih pergi,” ujarnya dalam hati. Cukup sudah Arfan mengalami kegagalan pada kapal pertamanya. Jangan sampai biduk sederhana kedua bersama Nesha pun harus memutar arah dan kandas. Ia tidak rela. Itulah doa yang pernah ia panjatkan saat Arfan meminta pendapat tentang seorang Nesha Dianti. Baginya, Nesha adalah wanita yang baik meskipun latar belakang hidupnya mungkin berantakan. Bu Maryam mengakui kalau Nesha Dianti—menantu keduanya seorang yatim piatu dan terlahir dari keluarga tidak sehat serta jauh dari kata berada. Hatinya luluh karena melihat ada begitu banyak cina di sorot mata keduanya. Seolah ada luka yang sama-sama ingin saling menyembuhkan. “Dasar tetangga kurang waras!” gerutunya lagi dan lagi setelah sampai rumah dan memilih duduk sejenak menyamarkan rasa panas dalam d**a dan cuaca. Bu Maryam masih saja terbakar emosi. Nesha yang baru saja hendak menjemur handuk terkejut mendapati sang mertua tengah duduk sendirian dengan wajah yang entah. “Ibu sudah pulang? Katanya tadi mau ke warung?” tanya Nesha sedikit penasaran. Tidak biasanya wanita yang begitu diagungkan Arfan memasang wajah penuh kekesalan. “Uangnya jatuh di jalan, Bu? Kok, mukanya seperti marah?” tanyanya kedua kali. Bu Maryam menghela napas dan mengembuskannya kasar. Lalu menatap wanita yang dipilih sang anak kedua kali untuk menemani sisa hidupnya. “Tidak jadi. Tadi ada tragedi sebelum sampai ke warung. Nanti kamu tidak usah ke mana-mana. Tidak usah ke warung atau pun main ke rumah tetangga. Di rumah saja!" jawab sang mertua masih penuh rasa kesal. Nesha semakin tidak mengerti. Apa salahnya jika nanti ingin ke warung atau pun main ke rumah tetangga. Karena itu adalah bentuk sosialisasi antar sesama. Hanya saja waktunya habis untuk bergelut dengan ribuan kata. “Apa saya punya salah, Bu? Kenapa Ibu melarang saya ke warung dan main ke tempat tetangga?" tanya wanita yang masih belum mengerti ucapan sang ibu mertua. Bu Maryam berdiri, menatap menantu yang baru saja ia bela tanpa malu. “Sudah nurut saja! Ibu lebih suka kamu diam di rumah dan sibuk dengan hapemu saat membantu pekerjaan rumah selesai. Paham, Sha? Di rumah saja!” jelasnya singkat kemudian berlalu ke kamarnya. Nesha menggaruk kepalanya karena semakin bingung dengan sikap sang mertua yang mendadak aneh. “Ibu kenapa sih? Kok, jadi aneh ... padahal tadi sebelum berangkat ke warung biasa saja. Apa belum dikasih jatah bulanan sama Arfan? Zaman korona sudah berlalu, tapi aku malah harus berdiam diri di rumah! Kan, kebalik!” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD