CK BAB 18

1602 Words
CINTA KEDUA 18 Oleh: Kenong Auliya Zhafira Sesuatu yang ingin dirahasiakan terkadang tidak selalu bisa aman tanpa ketahuan. Niat hati menyembunyikan agar tidak menggoreskan lara, tetapi kenyataan membuatnya terbuka lebih dulu. Walaupun ada pepatah yang mengatakan berbohong dalam kebaikan itu diperbolehkan, tetap saja waktu tidak akan menunda apalagi menghilangkan efek sakit dari kebohongan itu sendiri. Pria yang berusaha menyembunyikan tentang video dan omongan orang-orang menatap lekat mata bening wanita di depannya. Ada sisa kelabu karena hujan semalam begitu deras membasahi bumi. Arfan tidak mungkin tega jika harus membuat mendung kembali menyelimuti sang pemilik wajah manis itu. “Mas ... kok, diem?” Nesha bertanya kedua kali. “Ibu juga. Ada apa sih sebenarnya?" tanyanya lagi pada wanita yang sudah seperti ibu kedua. Arfan sejenak melirik sang ibu, meminta kode baiknya bagiamana. Namun, anggukannya seakan memberi tahu jika sebaiknya menjawab pertanyaan sang menantu. Ada keyakinan seorang Nesha pasti akan bisa menerima apa pun yang orang katakan. Karena bagaimanapun, keadaan seperti ini akan terus terjadi hingga waktu yang entah kapan. Bukankah lebih baik membuatnya terbiasa agar segala perih hati bisa binasa? “Sayang ... masuk dulu, ya? Nanti aku ceritain," ajak sang pria dengan suara begitu lembut. “Iya, Sha ... tidak baik bicara di luar begini. Nanti tetangga ngira kenapa-kenapa.” Sang mertua ikut bicara. Nesha menatap dua orang yang paling berarti dalam hidup untuk saat ini secara bergantian. Kepalanya terlanjur berpikir ada satu kejadian besar yang mungkin berujung menyakitkan hingga membuat prianya ingin merahasiakan. Akan tetapi, ucapan sang mertua ada benarnya. “Ya udah. Tapi, janji tidak main rahasia-rahasiaan. Kita ini, kan, keluarga. Mau sesakit apa pun itu, jangan disembunyikan,” pintanya, lalu masuk ke rumah dan diikuti sang pria juga ibu mertua. “Iya, Sayang, iya ....” Arfan sengaja mengalah hingga semua orang duduk begitu serius di ruang tamu. Wanita yang mengulur sabar dengan debaran d**a menarik napasnya dalam sejenak, lalu bertanya kembali, “Sekarang cerita. Hal apa yang tidak boleh saya tahu? Sikap Ibu sama kamu buat aku tambah curiga, Mas ... apalagi waktu tadi pagi. Seakan hapenya ada yang penting banget. Ada apa sebenarnya?” Pria yang juga menyukai dunia lain wanitanya kembali mengembuskan napas perlahan. Ia sadar sudah terlalu banyak hal yang dulu pernah sengaja disembunyikan saat perkenalan, terutama tentang jati dirinya. Ada keinginan tidak lagi berbohong meski nantinya berujung luka seperti sebelumnya. Karena ia yakin, cinta yang tumbuh di hati seorang Nesha memiliki puluhan pintu maaf dan kesabaran seluas samudera. “Em ... kamu masih inget acara di rumah Ravi semalam?" tanya Arfan memastikan. “Ya inget. Kan, aku belum pikun, Mas ... kenapa emangnya?” Nesha malah balik bertanya. “Entah sengaja atau tidak, Ravi merekam saat kita menerima hadiah kejutan. Lalu diunggah di aplikasi biru dan viral. Tadi pagi itu sebenarnya aku juga baru tahu. Dari beberapa komentar, ada yang jelek dan baik juga. Persis ketika kita mendengar obrolan dua wanita saat mau pulang. Dan Ibu ....” Pria yang tidak tahan melihat wajah wanitanya menghentikan ceritanya sejenak. Arfan sungguh tidak ingin mengundang hujan kedua kali. “Dan Ibu kenapa, Mas?” tanya Nesha masih penasaran. Tentang tanggapan orang, baik yang jelek atau baik adalah sebuah konsekuensi yang harus dihadapi karena memilih bersama seorang Arfan. Di mana tetangga dan seluruh kampung akan mengetahui kehadiran dirinya memang di waktu yang salah. Istilah jahatnya pelakor—perebut laki orang. Meskipun pada akhirnya ia kalah pada perasaannya sendiri dan meminta pria itu melalui jalur langit pada Sang Pemilik Takdir. Sang mertua menatap Arfan dengan perasaan gemas. Bukannya menyelesaikan cerita malah berhenti menyisakan tanda tanya. Mungkin benar yeng dikatakan Nesha beberapa hari lalu, lebih baik menghadapi daripada harus menghindari dan sembunyi. “Haish! Tinggal meneruskan pakai acara berhenti segala,” ujar sang mertua yang tertarik untuk meneruskan cerita sang anak. “Maaf, Bu ... aku tidak tega lihat wajah Nesha,” jujur Arfan sambil menggaruk kepalanya. Wanita yang dipanggil ibu itu lantas menatap lekat sang menantu. Dengan keyakinan ikatan kekeluargaan yang terjalin, ia mencoba meneruskan cerita anaknya. “Kamu denger Ibu. Ibu yakin kamu sudah tahu alasan tidak boleh keluar rumah karena apa? Jadi, tadi pas di warung, Ibu mendengar mereka ngomongin kamu lagi. Ya, dengan wacana yang sama, yakni kehadiranmu sebagai orang ketiga untuk Arfan dan Wening. Ditambah lagi karena video itu, kamu dikira menjual kisah,” jelas sang mertua panjang kali lebar. Ia sesekali memperhatikan ekspresi sang menantu yang tidak terlalu murung seperti semalam. Mungkin hatinya sudah mulai berdamai dengan kenyataan. Nesha sendiri mendengarkan cerita dari dua orang di depannya dengan penuh ketenangan. Perdebatan manis semalam sudah cukup memberikan kekuatan untuk menghadapi segala omongan orang yang mungkin akan lebih berani. “Maksudnya menjual kisah, gimana, Bu? Kan, saya memang menjual cerita meski laku beberapa biji. Dan di platfrom pun, saya menjual kisah yang terbungkus rapi dalam cerita novel,” tanyanya sembari menjelaskan kisah sebenarnya yang dijual. Entah kenapa hati tidak lagi merasa tertekan mendengar apa pun yang orang katakan tentang diri dan kehidupannya. Bagi seorang Nesha, asalkan pria di depannya masih berada di sisi, apa pun coba dunia akan ia hadapi dengan hati lapang. “Ibu tadi bilang begitu juga. Tapi, entah mereka paham atau tidak, entahlah,” ujarnya yang berusaha menirukan ucapan sang menantu dan anaknya. Arfan yang masih menebak sikap wanitanya hanya menjadi pendengar. Biar saja sang ibu meneruskan ceritanya. Ia ingin menggali seberapa dalam Nesha menyembunyikan luka karena sisa semalam saja pasti belumlah kering. Bahkan seandainya bisa, ia ingin menyudahi sesegera mungkin perbincangan yang ada. “Kamu beneran tidak apa, Sha? Aku tidak mau kamu nangis lagi kayak semalam. Makanya aku sama Ibu tidak ingin kamu tahu. Yang kamu harus tahu cuma satu, kamu adalah masa depanku sekarang. Biarkan yang sudah terjadi berlalu seperti seharusnya. Meski mereka mengungkit lagi dan lagi, itu tidak akan mengubah perasaan ini,” ujar sang pria sembari mengusap dadanya. Tempat di mana segala perasaan tersimpan abadi dan melangit bersama doa. Wanita yang dulu pernah terjebak keraguan akan perasaan sang pria, kini mampu melihat jelas memang ada dirinya dalam hatinya. Ia sendiri tidak begitu ingin memperpanjang masalah ini. Kejujuran cukup menjadi tujuan utama dari perbincangan yang ada. “Aku tidak apa, Mas ... tidak perlu khawatir begitu. Ya, memang semalam rasanya tidak karuan dan pengin banget nangis. Selain karena cara hadirku yang salah, aku kayak antara sedih atau bahagia karena mau sampai kapan pun ikatan kita akan ada bayang-bayang omongan orang. Tapi demi kamu dan Ibu, aku tidak ingin tenggelam bersama air mata. Mau sesakit apa pun itu, aku ingin menjadi seorang Nesha yang kamu kenal sejak pertama,” jawabnya panjang, sepanjang jalan kenangan antara mereka. Seketika Arfan mendekat, memeluk erat wanita yang menumbuhkan cinta seluas jagad raya. Walaupun dirinya hanya memberi air mata dan menggoreskan lara, Nesha selalu saja tersenyum menyambut penuh sayang. Bahkan, ketika diamnya larut dan berkepanjangan, wanita penyuka aksara itu tetap menuliskan kata rindu tanpa malu dan lelah. “Aku tahu, Sha ... maafkan aku untuk semua waktu yang telah berlalu. Aku sadar sejak dulu hanya membuat luka untukmu, bahkan sampai detik ini pun kamu masih saja menangis. Aku janji, kali ini kita akan hadapi sama-sama semuanya. Terima kasih karena kamu udah mau kuat bersama hingga saat ini,” ucapnya di sela pelukan. Bulir bening pun seakan menetes tanpa disadari. “Enggak usah minta maaf, Mas ... lebaran masih lama,” ujar Nesha mencairkan suasana yang menurutnya terlalu serius. “Ya enggak apa. Orang salah ya, minta maaf. Masa harus nunggu lebaran, keburu kamunya bosan nanti,” jawab sang pria mengimbangi candaan wanitanya. Wanita yang siap menjadi pembela kebahagiaan kedua anaknya mengukir senyum penuh bahagia melihat adegan di depannya. Ia tidak menyangka sikap mereka yang katanya selalu saling menyalahkan diri justru mampu memadamkan api kegelisahan. Bukan memantik perdebatan yang berujung kemarahan dan memilih perpisahan. Mungkin hal seperti ini yang dulu tidak pernah Arfan dan Wening lakukan dalam menghadapi setiap badai kehidupan. “Tetaplah begini ... Ibu tidak akan lelah mendoakan kalian. Tidak peduli bagaimana cara kalian dipertemukan, cinta akan menemukan jalannya sendiri. Meskipun harus melalui kesakitan, kehilangan dan keterpurukan,” batinnya, lalu melangkah pergi meninggalkan dua manusia yang terikat dengan cara istimewa. Ia lebih baik menata belanjaan daripada harus mengganggu mereka. Biarlah pertemuan keduanya menemukan titik muara rindu yang sebenar-benarnya. Sementara Nesha justru berusaha melepaskan diri dari pelukan sang pria. Ada setengah napas yang hilang tapi bukan karena rindu. ”Mas, peluknya udahan, bisa? Aku pengin napas,” terangnya. Arfan seketika melepaskan pelukan. “Maaf, Sayang ... sengaja. Biar kamu enggak ilang,” jawabnya asal. “Kamu beneran enggak apa-apa? Nanti diam-diam mewek di kamar?” tanyanya lagi memastikan. “Ish! Aku enggak apa. Udah mulai terbiasa juga. Cuma kalau kamu enggak ada aja yang masih pura-pura biasa,” jawab Nesha tanpa menutupi perasaannya ketika malam mengajaknya berperang melawan rindu. Meskipun kalah, ia tetap tidak ingin menyerah menyambut hari esok. “Hilih! Kalau itu pun sama. Aku bisa merasakan tanpa kamu mengatakan. Ya udah, kamu ke kamar sana ... katanya lagi nulis?” Arfan mengingatkan lagi kegiatan wanitanya sebelum membahas tentang video. “Tapi aku pengin lihat video-nya, boleh?” pinta Nesha yang sebenarnya penasaran seperti apa komentar-komentar itu. Tiba-tiba Arfan begitu susah menelan ludahnya sendiri. Bukan takut karena menyerahkan ponselnya, tetapi ia malu jika semua foto-foto wanita yang kini di depan mata masih tersimpan rapi. Belum lagi takut kedinginan jika membaca komentar itu benar-benar menurunkan hujan deras kedua kali. Karena ia tahu, meski bibir merah muda itu berkata baik-baik saja, tetapi tidak dengan hatinya. “Aduh, jadi serba salah. Enggak boleh dikira ada apa-apa, dibolehin nanti nambah perkara. Kenapa enggak pengin lihat yang lain aja, Sha ... kamu dari dulu enggak berubah, selalu ingin tahu hal yang jelas buat kamu sakit.” -----***----- Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD