CK BAB 12 A

1108 Words
CINTA KEDUA 12 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Memakai apa pun yang tidak sesuai dengan hati pasti menimbang ketidaknyamanan. Apalagi jika sudah tahu akan memberikan efek untuk diri sendiri. Menghindar adalah jalan satu-satunya menyelamatkan raga dari segala ancaman hal buruk. Akan tetapi, berbeda hal jika orang terdekat yang memintanya. Akan ada perasaan tidak enak untuk menolaknya agar hati tetap terjaga. Ya, Nesha pasrah ketika ibu mertuanya menyodorkan sepatu yang sudah bertahun-tahun tidak pernah membeli dan memakainya. Meski ada keraguan, ia tetap memakainya untuk menghormati wanita yang telah mau menerima dirinya sebagai anak dan menantu. “Ukurannya kok, bisa pas ...,” batinnya sambil merasakan jari-jari kaki seolah terpenjara. Sementara sang ibu mertua justru tersenyum bahagia melihat sepatu pemberiannya membungkus keindahan terakhir penampilan menantunya. “Tambah cantik, loh, Sha ... dipakai, ya? Biar teman-teman Arfan tambah pangling lihat kamu,” pujinya sembari menatap tanpa henti seorang Nesha. Ia tidak menyangka kalau menantunya bisa tampil cantik jika akan bepergian. Meksipun sederhana, tetapi pancaran wajahnya tidak bisa membohongi. “Masyaallah ... coba kalau kamu di rumah pakai beginian, Sha ... jangan pakai pakaian yang itu-itu aja, pasti tetangga yang punya mulut cabai pada kepedesan,” ujarnya lagi dengan napas menggebu. Wanita yang sering berpakaian seadanya jika di rumah itu hanya menahan senyum. “Di rumah masa pakai begini, Bu? Saya juga tiap hari cuma mainan hape, pakaian biasa yang penting nyaman aja,” jawab Nesha jujur adanya. Sementara Arfan menatap dua wanita yang kini memiliki tempat sama besar dengan perasaan haru. Baginya, mau Nesha memakai pakaian seperti apa pun tidak masalah. Selama itu mampu menjaga marwahnya dan nama baik dirinya. Ia hanya memikirkan tentang sepatu yang kini berada di kaki sang wanita. “Mungkin aku harus bawa sepatu Nesha yang di kamar buat jaga-jaga. Siapa tahu nanti kakinya lecet,” gumamnya dalam hati, lalu meminta waktu sebentar untuk kembali ke kamar. “Sebentar, Sha ... kamu ke depan dulu aja. Ibu suruh temenin. Aku mau ambil sesuatu, sepertinya ada yang ketinggalan. Nanti biar aku sekalian ngeluarin motor,” ujarnya. “Ya udah. Aku nunggu sama Ibu di luar. Jangan lama-lama,” pesan sang wanita yang mulai risih mengenakan sepatu begitu feminim. Arfan tersenyum, lalu melangkah cepat ke kamar mengambil sepatu putih yang berada di rak kecil dekat meja. Ada senyum saat ingatan dulu tiba-tiba terlintas. Di mana Nesha begitu menginginkan sepatu putih untuk bepergian jauh. Meski janjinya hanya berupa tulisan, tetapi selalu ada keinginan untuk mewujudkan. Terlepas dari bagaimana usahnya untuk memenuhi itu semua. “Baiknya aku simpan sepatunya di jok motor aja. Biar tidak ada yang tahu,” ucapnya, kemudian keluar menuju garasi motor dan memasukkan sepatu pada tempat yang aman. Setelah memastikan semua sesuai keinginan, ia menuju wanita yang tengah menunggu di teras rumah. Penantian sekarang tidak terlalu menyiksa seperti dulu. Di mana jarak tidak lagi menjadi sekat dan penghambat sebab kini telah berada dekat. “Sayang ... berangkat sekarang?” Arfan berucap tanpa mematikan suara roda duanya. Sementara Nesha bergegas bangkit dan berpamitan pada sang mertua. “Bu ... saya berangkat dulu. Insyaallah nanti pulangnya tidak kemalaman. Assalamu'alaikum ....” “Wa'alaikumsallam ... kalian hati-hati. Jangan ngebut, Fan! Soalnya berkendara malam,” pesan sang ibu yang selalu sama untuk anaknya. “Iya, Bu ...,” jawab keduanya bersamaan, lalu perlahan menjauh meninggalkan rumah. Dua manusia yang pernah bermimpi bisa berjalan berdua di atas roda dua akhirnya bisa menjadikan nyata. Udara angin malam pun seakan menyambut dan ikut bahagia. Meski dulu pernah saling diam dan mendinginkan keadaan, tetapi semua itu telah menjadi bagian cerita yang tidak akan terlupakan. Sepuluh menit berteman angin malam, akhirnya Arfan bisa membawa Nesha ke tempat tujuan tanpa kurang suatu apa pun. Semua yang ada pada wanitanya masih utuh, termasuk perasaan juga terus tumbuh. Nesha menatap sekeliling, ada lampu warna-warni di depan rumah yang kemungkinan milik Ravi. Meskipun terlihat sederhana, tetapi memberi kesan mewah. “Cantiknya ...,” ucap wanita yang merasa takjub pada malam ini. Apalagi bintang dan rembulan di atas sana pun ikut berkilauan menyaksikan malam. Seolah-olah menyambut dua hati yang berhasil mengatasi segala lara dari ikatan semesta. Sementara Arfan tersenyum melihat sikap wanitanya. Ada janji terus menguat untuk membuat senyum itu tidak lagi lenyap. Perlahan, ia mendekat dan berbisik, “Apalagi kamu, Sha ... cantik banget.” Wanita yang mulai kenyang rayuan seketika melebarkan mata. “Udah ... tidak usah muji terus. Nanti aku cepet kenyang, Mas! Belum juga masuk acara,” protesnya karena kebanyakan rayuan seharian ini. Arfan tertawa, “Iya udah, tidak godain kamu lagi. Mending kita masuk sekarang. Sepertinya udah banyak yang datang. Ingat, tidak boleh nangis!” ujar sang pria mengingatkan. “Iya, iya ... bawel!” gerutu wanita yang terkadang mudah terbawa keadaan. Tanpa menunggu lama, keduanya berjalan bergandengan tangan menuju tempat yang tertera pada undangan. Konsep acara yang diperlihatkan mampu menyihir siapa saja. Termasuk dirinya. Sebagai orang baru dalam kehidupan seorang Arfan, Nesha sadar diri apabila nanti mendapatkan tatapan banyak kesan. Entah itu baik atau pun buruk. Ia hanya perlu menguatkan diri menghadapinya. Itu saja. Selama pria di sampingnya masih ada, ia akan selalu menjadi makhluk bumi terkuat untuk tetap berdiri tegak. Akan tetapi, sepatu pemberian ibu mertua mulai menyiksa kenyamanan. Ada panas dan perih menjalar kaki, tetapi masih bisa tertahan. Nesha berkali-kali menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Namun, rasa panas itu tetap saja menyiksa hingga ulu. “Pasti kaki udah mulai merah. Perih lagi ...,” batinnya. Namun, tetap menahan untuk bisa terlihat baik-baik saja. Beruntung acara diadakan di halaman rumah. Jadi, suasana alam sedikit menyamarkan perih yang tertahan. Meksipun terkadang bibir merintih saat kaki tidak sengaja bergerak. Nesha hanya ingin sang pria tidak khawatir akan dirinya. Tentang penampilan pun, ia tidak mengambil pusing jika menjadi tamu yang mungkin paling sederhana. Tatapan-tatapan yang mengarah seolah sebagai angin lalu. “Ternyata yang namanya wanita sama aja. Entah di tempatku dulu dan di sini. Mereka tetap makhluk yang menyukai keindahan dan kemewahan. Mungkinkah mereka semakin percaya diri dengan tangan yang dipenuhi hiasan dan tubuh yang dibungkus pakaian bagus?” tanya Nesha pada sepatu yang tampak anggun tapi meninggalkan perih beruntun. Lalu, sedetik setelahnya menatap wajah-wajah bahagia dari beberapa pasangan. Sementara Arfan memerhatikan gerak wanitanya yang terbaca menahan sesuatu. Ia tahu betul ada ketidaknyamanan yang tengah mengurung kecerahan bulan sabit di wajahnya. Akan tetapi, bibir yang kini mulai membuat candu masih terdiam. Pelan, Arfan menggenggam tangan agar terlihat seperti pasangan lainnya. “Ingat janji ... tidak boleh nangis loh ...,” bisik sang pria yang berhasil membangunkan lamunan wanitanya. Nesha menoleh, “Siapa juga yang nangis! Aku hanya malu aja. Di sini cuma aku yang tidak dandan dan dengan pakaian seperti ini pula,” jawabnya sembari menatap wanita-wanita yang tengah tertawa bahagia dengan pasangannya masing-masing. -----***----- Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD