Bandung, 2005.
Aku masih ingat rasanya. Sesaat, aku mengayuh sepeda cepat-cepat, tertawa karena berhasil melarikannya tanpa bisa Remy cegat. Aku melesat, menuruni jalanan dan meluncur menuju tikungan tajam Lalu momen berikutnya ketika aku mengerjap, jeep hitam itu telah di depan mataku, tak terhindarkan. Pandanganku jungkir-balik dengan tiba-tiba.
Aku tidak ingat pernah berteriak. Yang kuingat, aku mendengar bunyi gebrakan yang memekakkan. Telingaku berdenging dan mataku berusaha keras menyesuaikan diri. Rasa sakitnya tidak datang dengan seketika. Ia datang dengan perlahan. Amat perlahan. Dimulai dengan cairan merah pekat yang mengalir melewati keningku, rasa panas di pipi karena gesekan dengan aspal, lalu tiba-tiba saja, hidungku serasa dipukul dengan palu.
Aku ingat betapa sakitnya sehingga aku ingin berteriak keras-keras. Tapi aku tidak bisa. Yang terjadi malah, semuanya menjadi gelap. Percuma aku menggapai, semuanya gelap.
...
Ketika separuh kesadaran menghampiri, hujan mengepungku. Hujan yang sangat lebat hingga menyerupai kabut putih dengan suara amat sunyi. Ya, sunyi. Tanpa suara. Aku berjalan sendirian. Bertelanjang kaki. Tanpa tujuan, tanpa panutan. Jujur saja, aku ... merasa takut.
Tapi tiba-tiba aku melihatnya. Seorang gadis kecil sebayaku. Dengan gaun putih selutut dan mahkota bunga fressia di atas kepalanya, di atas rambutnya yang ikal sampai sepunggung. Ia tidak memakai alas kaki, kakinya yang telanjang dibiarkan bermain dengan genangan hujan. Tapi dia tidak basah. Anehmya, dia tidak basah. Dan dia bercahaya. Terutama ketika dia tersenyum.
Pasti dia orangnya. Peri hujan itu.
Dia tersenyum padaku. Menyapaku. Dia selalu menyapaku.
“Hei, kepala mumi! Kamu belum mau bangun juga? Ini aku, peri hujan. Apa kabar?” katanya dengan ceria. Aku ingin mengatakan bahwa ia sudah mengulangi perkenalan itu selama tujuh kali. Ia selalu memperkenalkan diri setiap hari setiap kali menemuiku. Tapi setiap aku mencoba menginterupsinya, aku tidak bisa menemukan suaraku. Aku tidak bisa bicara. Hanya mendengarkannya yang cerewet. Apakah peri memang selalu cerewet? Aku tidak tahu itu.
“Aku nggak tahu apa yang sudah terjadi sama kamu sampai kamu harus diperban sebanyak ini. Tapi... apa kamu nggak ingin bangun? Aku lihat ibu kamu nangis terus-terusan dua hari ini.
“Aku peri hujan. Aku datang ke sini buat bantu kamu. Kamu tahu dongeng tentang hujan?”
“Kamu nggak tahu?” tanyanya lagi, setelah beberapa saat dan aku hanya diam di tempat tidur.
“Baiklah. Akan kuceritakan” Ia menangkupkan kedua tangan. Aku dapat membayangkannya. “Dulu, ada seorang penebang kayu sedang dalam perjalanan ke rumahnya di ujung desa. Ia lelah sekali dan sangat lapar setelah bekerja dari pagi sampai siang itu. Tapi, ketika ia keluar dari hutan, ia melihat ke langit dan tidak bisa menemukan terik matahari.
“Saat itu awan mendung yang hitam menutupi seluruh langit beserta angin yang dingin. Si penebang kayu berteduh di bawah sebuah pohon selama berjam-jam dengan sangat sedih. Sebab, ia tidak bisa pulang untuk istirahat dan mengisi perutnya. Lalu, ia berdoa kepada hujan itu bahwa ia merelakan hujan itu menghalanginya. Sebagai imbalannya, ia meminta kebahagiaan. Ia ingin melihat cahaya kembali dan pulang dengan ringan.
“Kamu tahu apa yang terjadi setelah itu? Peri hujan mendengarnya! Ia menemui si penebang kayu dan berkata ‘aku akan memberikan tujuh cahaya padamu yang akan membuatmu bahagia dan menuntunmu pulang’. Si penebang kayu mengangguk senang. Ia diperintahkan menatap langit, dan di sana sudah ada tujuh cahaya itu. Cahaya yang berwarna-warni! Yaitu pelangi. Dan si penebang kayu pun bisa pulang dengan sangat gembira setelah melihat pelangi itu.
Bukankah dia seharusnya menceritakan ini pada anak yang lebih kecil? Maksudku, aku sudah dua belas tahun.
“Nah, aku si peri hujan!” lagi, ia mengatakannya.
Aku sudah mendengar cerita yang sama tujuh kali. Aku sudah menghapalnya. Anehnya, meskipun aku tahu tidak pantas, aku menyukai ceritanya. Aku menyukai saat ia bicara padaku. Ia seperti satu-satunya orang yang bicara padaku. Satu-satunya yang dapat menemukan tempatku bersembunyi.
“Sekarang sedang hujan. Kamu bisa berdoa sesuatu dengan sungguh-sungguh dan aku akan mengabulkannya.”
Ia tersenyum. Jenis senyum yang mencuri serpihan matahari untuk bibirnya miliki sendiri. Lalu, dengan jemarinya yang hangat, ia menggenggam tanganku. Sekali ini, kupikir aku akan bisa mengingat bagaimana genggamannya. Aku ingin menggenggamnya balik. Tidak bisa. Aku ingin tapi tidak bisa.
“Aku akan membuat kamu sembuh. Gimana? Kamu harus sembuh! Nanti ibu kamu sedih. Setelah ini... peri hujan akan menghilang. Tapi setiap hujan turun, kamu bisa menemukannya. Kamu bisa berdoa sungguh-sungguh, dan peri hujan akan datang!”
Aku masih menatapnya, menyaksikan senyumnya yang indah itu mengabur di penglihatanku. Aku tidak ingin ia pergi. Sungguh. Aku ingin menahannya dan menyuruhnya untuk tidak pergi. Sayangnya, aku tidak bisa melakukan apapun.
Hujan putih yang mengelilingiku, tiba-tiba menjadi gelap kembali. Dan aku sendirian lagi. Tidak ditemani apapun. Bahkan rasa sakit meninggalkanku.
***
Bandung, 2020.
Katanya, kita tidak boleh takut dengan manusia. Katanya juga, kita seharusnya hanya takut pada Tuhan. Katanya lagi, tidak ada manusia sempurna. Dan Levant Elenio Devara seolah berusaha mematahkan seluruh kepercayaan itu.
Pada kediaman keluarga Devara yang menyerupai istana─hingga pernak-pernik kecil yang ada di sana saja bisa seharga nyawa manusia, bingkai-bingkai foto raksasa terpanjang di sepanjang dinding ruang utama. Dimulai dari foto berwarna sephia yang diisi pria plontos dengan keriput yang menunjukkan lebih dari setengah abad usianya. Tuan Mega Surya Devara, Sang Pendiri. Di sampingnya adalah pria yang sedikit lebih muda, sedikit lebih kurus, dan kualitas gambar yang tidak seburam pertama. Tuan Syamsinar Teguh Devara. Generasi kedua. Di antara foto itu dan foto berikutnya, dengan ukuran paling besar adalah foto keluarga Devara yang diambil dua tahun lalu. Ayah, Ibu, seorang anak laki-laki, itu saja. Kemudian, ada foto Tuan Arun Aditya Devara, majikan mereka saat ini, dengan wajah kaku seperti biasanya.
Pada bingkai terakhir, gadis-gadis harus menahan napas sedikit lebih lama. Karena Levant Elenio Devara, pewaris saat ini tidak akan berbelas kasih. Baik secara kelakuan, maupun ... tampang.
Dan jika gadis-gadis pelayan itu tidak sanggup menghadapi Levant secara berhadapan langsung, maka menatap fotonya adalah cara terbaik untuk mengagumi.
“Keluarga Matahari,” gumam Bu Rina, kepala asisten di rumah tersebut, mengakhiri penjelasannya pada dua asisten yang baru mulai bekerja hari ini.
“Ganteng...,” salah satunya menarik napas dengan payah, ia tidak mampu memalingkan wajah.
Seseorang menyambar. “Liat aja kalau udah ketemu, aslinya lebih mengerikan daripada di foto.”
“Mengerikan?”
“Hm.
Lalu, sebelum diskusi itu berlanjut, Bu Rina menghentikan semua. “Sudah hampir jam tujuh. Siapa yang piket hari ini?”
Kerumunan membelah, menyisakan spotlight untuk seorang gadis awal dua puluhan yang terlihat seperti ia habis kehilangan nyawa. Nametag-nya bertuliskan Linda. Linda Aryani.
***
Sepasang pintu kayu lengkung berdaun dua yang berdiri menjulang setinggi setidaknya 3 meter itu berkeriut pelan ketika seorang wanita muda berseragam maid dengan rambut digelung rapi mengintip pelan. Sebuah meja dorong di tangannya, penuh oleh piring-piring berisi banitsa─sejenis pai yang sebagian besar komposisinya adalah keju, roti isi dengan dua irisan tipis bacon, bawang, tomat dan daun mint, popara, yaitu potongan roti yang dicelupkan ke dalam s**u atau mentega sampai empuk dan meresap lalu ditambahkan madu serta keju, dua buah jeruk kepruk, segelas s**u dan secangkir kopi. Today we go Bulgarian style it seems.
Linda menatap makanan-makanan itu. Di lain kesempatan, tak ayal aromanya saja sudah pasti membuat air liurnya berjatuhan. Namun sekarang, situasinya berbeda. Tangannya meremas gagang troli kuat-kuat sementara ujung-ujung jemarinya mendingin. Gugup adalah kata yang terlalu sederhana untuk menggambarkan keadaannya saat ini. Ia tidak hanya gugup, ia sedang berada di ambang hidup dan mati.
“Ini ... sarapannya, Mas, eh, Den,” ujarnya sambil menggigit bibir dalam-dalam, salah tingkah.
Levant Elenio Devara, mereka memberikannya gelar bermacam-macam, dari Tuan Besar, Juragan, Yang Mulia, sampai Lord Voldemort. Dan tidak ada salah satupun di antaranya yang bisa ia katakan pada majikannya ini tanpa membuatnya kehilangan pekerjaan.
Ia baru memberanikan diri untuk mengangkat wajah ketika terdengar bunyi gerakan pelan. Pria di depannya, yang sedari tadi tampak sibuk menghadap laptop di meja kerjanya, kini memutar kursi hingga persis menghadap Linda. Menatapnya. Seketika, jantung gadis itu rasanya rontok ke kaki.
“Nama,” tanyanya dalam satu kata. Dingin. Bukan hal yang mengherankan, harusnya. Namun karena kali ini gadis itu sendirian tanpa pelayan lainnya, itu membuatnya berkali lipat lebih tertekan.
“L-Linda,” cicitnya, menatap sepatu.
“Oke, Linda. Tahu apa kesalahan kamu hari ini?”
Jawaban gadis itu tertahan di ujung lidah, tergigit oleh kegugupannya sendiri. Kemudian, tanpa menunggu jawaban yang sebenarnya tidak perlu, Levan melanjutkan, “You made me lost the game. And that’s bad. Really bad,” ujarnya, membuat Linda seketika mendongak, bahkan meloloskan kekagetan dari bibirnya.
Masih dengan tatapan tajamnya yang tidak terbaca, Levant bangkit menghampiri troli makanannya. Ia meraih mangkuk berisi Popara dan mengaduk-aduk isinya dengan sendok.
“Keju,” gumamnya, tidak tampak bahagia. Ia mengangkat sendok, mnejatuhkan roti beserta sausnya.
Dan Linda memucat seketika. Seolah tahu, sesuatu yang buruk sedang dialamatkan padanya.
“Panggil kokinya.”
Beberapa derap langkah, lalu pintu itu terbuka. Seorang pria setengah baya tergopoh masuk. Ia telah berdiri di belakang pintu, sejak tadi bersama belasan pelayan lainnya. Kebiasaan di rumah itu, jika seorang pelayan terkena sial dalam sistem piketnya dan terpaksa melayani Lord Voldemort (versi ganteng dan mancung) mereka, semua orang akan berlomba-lomba mengintip sebelum mereka mati penasaran. Pasalnya, sedikit sekali orang-orang beruntung yang berhasil lolos tanpa dimaki, atau lebih buruknya, dipecat. Sebab itulah, pelayan-pelayan di rumah itu kesulitan mengingat nama-nama rekannya sendiri, terlalu sering adanya pergantian.
Sang koki, yang belum genap bekerja selama tiga minggu di rumah itu dengan segera berdiri di samping Linda, bertukar tatap cemas tanpa bisa saling menyelamatkan.
Levant Elenio Devara, pewaris tunggal MSD Corp. menatap keduanya bergantian. Ia menyodorkan mangkuk di tangannya ke arah mereka berdua yang disambut sang koki dengan tangan gemetar.
“Makan.”
“Y-ya, Den?”
Levant masih menatapnya tanpa berkata apa-apa. Tanpa ekspresi. Namun bagi semua orang terasa seperti bom waktu yang tinggal menunggu untuk meledak. Maka pria tua itu cepat-cepat menyendok roti lunak beserta kuah kejunya, memakannya meski berkali-kali ia hampir luput dari memasukkan sendok ke mulut. Linda melakukan hal sama. Mereka bergantian memakan makanan itu sampai habis. Apapun yang Levant perintahkan. Menjilat mangkuknya kalau perlu.
“Sudah selesai?”
Levant memandangi mereka berdua yang balik menatapnya cemas sekaligus heran. Tidak ada yang mengerti kenapa pria justru menyuruh mereka memakan Popara itu. Keduanya hanya mengangguk sambil membersihkan bibir seadanya dengan ujung lengan baju.
“Kalau begitu kalian sudah punya cukup tenaga untuk pergi dari rumah ini. Kemasi barang kalian segera.”
***