Damar mengendarai mobil dengan tergesa-gesa, jalanan malam yang cukup sepi membuatnya bisa berkendara dengan kecepatan tinggi. Begitu merebahkan tubuhku di kursi samping kemudi dan memakaikan sabuk pengaman, dia langsung berlarian ke arah kemudi dan berkendara dengan cepat. Dia tidak memperdulikan rengekku yang memintanya untuk tidak membawaku ke dokter.
Sesampainya di rumah sakit, pria yang hanya memakai celana sepanjang lutut dan kaos pendek itu segera mengendongku kembali dan membawaku ke ruangan Unit Gawang Darurat. Ah, bahkan dia tidak memperhatikan penampilannya sendiri karena menghawatirkan diriku.
"Tunggulah di luar, biarkan aku bersama dokter yang memeriksaku. Ya?" pintaku memohon.
Damar mengiyakan permintaanku, karena dokter juga menyuruhnya untuk menunggu di luar saja.
Setelah Damar keluar, seorang dokter wanita memeriksaku. Aku bersyukur dalam hati karena diperiksa dokter wanita. Dokter dengan nametag Mira itu mulai memeriksaku, menanyakan keluhanku dan kemudian meraba-raba bagian perut bawahku.
"Apakah ibu ...."
"Iya dokter, saya hamil!" sela ku cepat. "Tapi suami saya belum tahu, saya ingin memberikan kejutan kepadanya tapi malam ini tiba-tiba saja perut saya sakit sekali. Apakah janin saya dalam bahaya, bisakah dokter merahasiakannya dari suami saya, jika calon bayi ini baik-baik saja maka saya sendiri yang akan mengatakan jika saya hamil pada suami saya. Tapi jika dia tidak baik-baik saja, setidaknya suami saya tidak akan bersedih. Kami baru menikah dan mungkin ini adalah hal membahagiakan dirinya, makanya saya belum memberitahu padanya," Aku berkata panjang lebar sambil menatap dokter wanita itu dengan tatapan memohon.
Dokter Mira tersenyum menatap ke arahku, "Janin itu baik-baik saja, perut ibu hanya kram saja. Mungkin ibu baru melakukan sesuatu?" tanya dokter itu.
Aku tidak menjawabnya pertanyaannya, tidak mengerti dengan arah pembicaraannya.
"Jadi kram yang terjadi di bagian bawah perut saat hamil muda itu bisa terjadi karena ibu hamil melakukan hubungan intim, kontraksi yang berpusat pada bagian bawah perut biasa terjadi karena efek samping org*sm*. Selain itu air man* pria mengandung prostaglandin yang sedikit banyak juga dapat memicu kontraksi rahim. Tidak semua ibu hamil muda merasakannya tapi kalau itu terjadi juga hal yang biasa."
Aku mengangguk seolah-olah mengerti, "Dokter tidak akan mengatakan kehamilan saya pada suami saya kan? Saya yang akan mengatakannya sendiri," ucapku memastikan.
"Jika Ibu tidak ingin saya mengatakannya maka saya tidak akan memberitahu suami Ibu."
Aku menarik nafas lega, setidaknya aku tidak akan ketahuan sekarang.
"Maafkan aku, Damar." ucapku dalam hati.
Dokter memberikan resep padaku dan memenuhi janjinya untuk tidak mengatakan apapun pada suamiku. Saat Damar menanyakan aku kenapa, dokter cantik itu mengatakan jika aku hanya kram perut dan selebihnya baik-baik saja.
Kami berjalan menuju apotek dua puluh empat jam yang ada di rumah sakit tersebut, perasaanku kembali was-was. Takut jika Damar akan mengetahui vitamin apa yang akan aku tebus dan dia curiga. Sesampainya di pintu masuk apotek tersebut aku menghentikan langkahku.
"Bisakah kamu mencarikan air untukku, aku haus," ucapku perlahan sambil meraba tenggorokanku.
"Baiklah, tunggulah di sini aku akan segera kembali," sahutnya sambil berlalu.
Setelah kepergian suamiku, aku langsung menembus vitamin yang diresepkan dokter padaku. Setelah itu aku duduk di kursi panjang menunggu Damar kembali. Dari jauh, kulihat laki-laki itu datang dengan berlari-lari kecil kearahku.
"Ini minumlah! maaf lama," ucap Damar sambil menyodorkan sebotol air mineral padaku.
"Maafkan aku," cicitku pelan.
Kuterima botol minuman itu dan menundukkan wajahku, aku menyembunyikan air mataku yang tiba-tiba menetes kembali. Aku terus saja membohongi dirinya dan memanfaatkan kebaikannya demi menutupi keburukanku sendiri.
"Kenapa kamu terus meminta maaf, semua yang aku lakukan sudah menjadi tanggung jawabku sebagai suamimu. Cepatlah minum dan kita pulang," ucap Damar.
Aku menuruti ucapnya, meminum air kemasan tersebut. Meminumnya meskipun sebenarnya aku tidak harus. Sengaja kubuat dia mencari minuman itu biar dia tidak tahu obat apa yang aku tebus.
Kami segera pulang ke rumah kembali, menembus malam yang kian pekat. Terlihat Damar menguap berkali-kali dibelakang kemudi.
"Maafkan aku, Damar."
"Kenapa kamu terus minat maaf?" tanyanya.
"Harusnya kamu tidur dengan nyenyak bukan malah menyetir seperti ini," sahutku.
"Aku sudah mengatakan jika ini semua sudah jadi tanggung jawabku. Dan ya, kenapa kamu memanggilku dengan nama lagi? tadi di rumah kamu memanggilku dengan sebutan mas."
"T-tadi ... Tadi nggak sengaja," jawabku gelagapan.
"Kamu sudah memanggil Mas, mulai sekarang harus begitu terus!" titahnya.
"Haruskah?"
"Iya harus!" jawabnya mantap.
"Aku akan memikirkannya," sahutku sambil menatap kebarah jendela mobil. Menghindari tatapan dan senyumnya.
***
Aku terbangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum Damar bangun. Bergegas membersihkan diri dan mengganti pakaian. Setelah itu turun ke bawah dan pergi ke dapur, pagi ini aku membuat sarapan untuk suamiku. Mulai hari ini aku harus berbakti dan berbuat baik padanya, siapa tahu itu akan mengurangi rasa bersalahku padanya.
Mama memang selalu mengajariku memasak. Mama sering kali memintaku menemaninya memasak di dapur, sehingga aku bisa juga memasak beberapa menu ringan. Mama tidak pernah mempekerjakan asisten rumah tangga di rumah kami, semuanya di kerjakan sendiri.
Hanya saja jika sedang malas, mama memiliki seseorang yang bisa di panggil kapan saja untuk membantu mama mengurus rumah. Dan hanya ada tukang cuci yang datang seminggu tiga kali. Padahal uang papa cukup jika kami memperkerjakan asisten rumah tangga tetap. Tapi mama tidak mau karena pernah punya pengalaman buruk dengan salah satu jasa pelayanan rumah tangga tersebut.
Kali ini aku memasak nasi goreng, hanya membutuhkan bumbu bawang merah dan putih serta cabai yang di haluskan, menambahkan sedikit penyedap rasa dan kecap didalamnya. Selain itu aku juga membuat telur dadar, dan juga menyeduh kopi untuknya.
"Kamu sudah sehat?" sapa Damar mengagetkanku yang tengah asyik menata meja makan.
"Sudah, aku harus segera sembuh karena sore ini kita akan pergi ke kampung kan. Oh iya, aku juga sudah memasak. Maukah kamu mencoba mencicipinya?"
"Tentu, aku ingin tahu bagaimana rasanya masakan istriku," sahutnya sambil tersenyum.
Damar langsung duduk di kursi lalu aku menyendok sepiring nasi goreng untuknya. Damar menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya, nampak dia seperti menikmatinya.
"Aku suka, enak!" ucapnya sambil mengangkat jempolnya.
Perasaanku berbunga-bunga, apa seperti ini rasanya dipuji oleh suami sendiri. Saat sedang asyik menikmati sarapan, terdengar suara deru mobil memasuki pekarangan. Sepertinya papa dan mama sudah pulang.
Mama tersenyum simpul saat melihatku dan suamiku makan bersama.
"Sepertinya kalian harus cepat tinggal bersama agar kalian makin akrab," ucap mama.
"Siapa yang memasak ini?" lanjut mama bertanya.
"Amelia, ma," jawab Damar.
"Bagus, kamu harus melayani suamimu sendiri dengan baik."
Mama berkata sambil berlalu menuju kamarnya.
***
Sore hari kami bersiap-siap untuk pergi ke kampung, ke tempat mertuaku untuk acara ngunduh mantu. Mama, papa, aku, dan Damar berada dalam satu mobil. Papa dan menantunya itu duduk di depan, mereka akan menyetir secara bergantian, sedangkan aku dan mama duduk di kursi penumpang belakang.
Oma, opa, dan satu kerabat mama memakai satu mobil yang lain. Kami memang tidak membawa banyak orang, toh disana nanti akan ada kerabat jauh papa yang akan meramaikan juga acara itu.
Memasuki mobil, entah kenapa rasa mual mulai menderaku. Tidak biasanya aku tak suka dengan aroma mobil ini. Aku berusaha menahannya dengan memakan permen jahe yang terasa pedas. Aku sengaja membelinya tadi siang untuk mengurangi rasa mual yang terus menyiksaku. Aku akan menutupi kehamilan ini sebisa mungkin.
Mobil mulai bergerak meninggalkan rumah. Keluar dari perumahan kami, suasana mulai sedikit macet. Mobil berjalan dengan tersendat dan sering berhenti. Hal itu membuat perutku semakin terasa diaduk-aduk. Aku tidak tahan lagi, kuraih kantong plastik yang ada di kantong kursi yang berada tepat di depanku.
"Huek ... Huekk ...." Aku memuntahkan isi perutku.
Mama langsung menepuk-nepuk punggungku. Setelah selesai memuntahkan isi perutku, aku meraih botol air mineral dan meminumnya.
"Kamu kenapa Amel? tidak biasanya kamu mabuk perjalanan. Bahkan kita baru saja berjalan sebentar?" tanya mama.
Wanita yang sudah melahirkan diriku itu menatapku dengan pandangan yang tidak bisa ku artikan. Khawatir atau curiga?
***