Jiah, Ngefans Tapi Gak Mau Ngaku

1093 Words
Mamat pergi meninggalkan Nuna. Buang waktu setengah jam bersama cewek itu. Iyah cantik, banget malah. Tapi kalau less ahlak buat apa. Bodoh kalau ia terus larut dalam khayal orang kaya seperti Nuna mau tulus berteman dengannya. Mamat jadi agak sensitif kalau itu soal harga diri. Sisi Nuna, ia termanggu menatap punggung Mamat. Nunabcukup tahu kalau Mamat tidak suka ngobrol dengannya dan itu membuat air matanya berderai. Pertama kali ia ditolak dan rasanya sakit. Nuna memang anak manja. Tapi ia tahu kapan saatnya berhenti berharap kepada seseorang yang pergi meninggalkan. Karena jika sudah pergi pantang baginya mengemis. Pelan Nuna meminum es jeruknya seraya menghapus air mata yang keluar tanpa permisi. "Bang Mamat jahat!" lirih Nuna begitu saja. *** Tapi saat jam pulang, ia merasa harus minta maaf dulu pada mamat. Meski sudah ditolak, Nuna tetap menunggu kepulangan Mamat. Nuna memperhatikan Mamat masih ada di pom jaga. 'Tuh orangnya ada.' Senandika Nuna memperhatikan Mamat dengan senyum seakan dia bukanlah orang yang sama dengan yang tadi menangis di kantin karena kecewa. Semestinya, Nuna sudah kembali sejak tadi. Tapi papinya tidak jemput. Sepertinya beliau lupa bila anak gadisnya yang berharga sedang menuntut ilmu. Nuna terjongkok di belakang pos satpam. Mamat bermain kucing-kucingan sama Nuna. "Em, pak. Tolong bilang saya udah pulang. Plis!" Mamat meminta rekan jaganya berbohong. Pak Somad--teman Mamat menoleh. "Ade ape, Lo emangnya?!" "Huussh! Jangan kenceng-kenceng!" Pak Somad tersenyum lebar. "Eh, cie. Dikejar siswi lagi, Mat. Laku bener sih Lo." "Ck, bukan. Pokoknya ini gak ada hubungannya sama itu!" Dalam hati, kenapa pak Somad jadi mirip anak murid suka ceng'in Mamat. "Ya udah. Gue kata Lo gak ada,yak." Pak Somad ke luar. Sempat memandangi Nuna. Tentu kulit gadis itu menyilaukan. Tapi yang paling bikin kaget, wajah cantiknya. Dalam hati bilang 'Aji gile, yang gini ditolak Mamat. Emang tuh bocah mau yang kayak gimana lagi. Yang kayak Lucinta Luna?!' Nuna mengangguk santun. "Pak, Bang Mamatnya ada?" Dia sesekali berjingke. Mengintip dari balik kaca. "Wah, si Mamat udah pulang tuh Neng!" Hah, masa sih. Sepuluh menit yang lalu Nuna melihat punggung Mamat. Masa dia lari sampai pos satpam cowok itu udah pergi. Ini bener,'kan Mamat berusaha menjauhinya. Kok Nuna jadi merasa semakin bersemangat,ya? "Aduh, Pak. Emangnya saya anak kecil. Tadi saya liat, kok masih ada orangnya!' Nuna cemberut. Memainkan tali tasnya. "Eh bener Neng. Masa bapak boong. Boongkan dosa. Tadi Neng gak liat kalik pas Mamat ke luar. Tuh anakkan emang cepet jalannya." Nuna mengangguk-angguk. Apa mungkin,ya tadi salah mengenali Mamat. "Masa sih, Bang Mamat udah pulang. Katanya dia mau pulang bareng sama aku," lirihnya mengaku-ngaku. Kelebihan Nuna adalah tidak pernah menaruh dendam terlalu lama. Ia membuat gerakkan seimut mungkin. Pak Somad yang merupakan rekan kerja Mamat jadi gagap dibuatnya. Pokoknya sekali lagi berbohong. Dosanya ditanggung Mamat. "Iyah, tadi kata Mamat Kalo ada siswi yang cari. Bilang aja udah pulang!" Nuna tertawa. "Yee.., berarti bapak boong,ya. Ayok ngaku!" Telunjuknya menunjuk pak Somad. Pak Somad menggaruk tengkuk malu karena ketahuan sudah membohongi Nuna. "Ya gimana Neng disuruh Mamat." Mamat yang lagi ngumpet jadi menggerutu. Waduh, gak bisa nih begini. Dia dipitnah. Kan perjanjiannya gak begitu bohongnya. Mamat ke luar dari tempat persembunyian. Nuna tersenyum riang, menunjuk Mamat sambil bilang. "Nah itu orangnya!" "Yee, Lo gimana sih Mat. Gue udah boong Lo malah ke luar!" Pak Somad protes. Tapi Mamat balas, "Tapikan pas akhir bapak ngaku juga saya di sini." Nuna memperhatikan. "Udah-udah jangan berantem. Yang penting aku yang menangkan." "Yee, dikira Non Nuna lagi maen petak umpet!" Kalau gak mau dikata gitu, makanya Mamat jangan ngumpet dong. Sok-sokan ng'ghosting. Dibales, gak tidur seabad. "Bang. Aku minta maaf,ya." "Iyah, Neng. Bang Mamat yang terlalu baper." Karena Nuna baru dari luar negeri, dia tidak tau istilah baper. "Apaan tuh Bang?" Mamat terkekeh. Gadis ini cakep, tapi rada kocak apa lagi pasang muka kepo maksimal. "Bawa perasaan, Nuna." "Kayak melankolis gitu,ya, bang Mamat?" Nuna mengetuk jemarinya. "Iyah dah. Ape kate Lo aja, Neng!" Mamat menggaruk tengkuk. Kemudian ia mendapatkan ide. "Ahah!" "Neng Nuna nunggu dimari dulu,yak. Bang Mamat mau ada urusan mendesak nih!" Nuna melotot spontan. "Apa Bang, aku boleh tau gak?" "Ke toliet!" Mamat jawab sambil kabur. Kapan lagi kan PHP-in artis. Cuma Mamat doang yang bisa. Saat menunggu, Nuna melihat Bella baru saja ke luar. Tampilannya glamor. Mirip tante-tante nagih kreditan panci Nuna memilih mengabaikan keberadaan Bella. Dia melengos ke arah berlawanan. Nuna memilih menunggu Mamat dengan sabar. Mata Bella berhasil memotret keberadaan Nuna di pos. Dia tersenyum smirk. Bella adalah seseorang yang menjadi alasan mengapa Nuna sekolah di sini. Bukan karena mereka bestie-an sampai gak bisa terpisahkan. Justru sebaliknya. Selain teman sekelas, Bella rekan sesama model. Mereka sama-sama di bawah naungan Mega Entertaiment, bedanya Bella sudah lebih dulu jadi model ketimbang Nuna. Tapi sialnya, malah Nuna yang lebih terkenal dibandingkan dirinya. Sungguh itu tidak adil! Bella menyeringai. Matanya menatap seolah jijik pada Nuna. "Kasihan!" kutipnya merasa Nuna cuma seperti pengemis jalanan. Yah, cewek itu pantes disebut pengemis bahkan tawaran endorse yang datang Ke Nuna semua juga hasil mengiba atau meminta-minta. Dengan menjual nama Marissa, almarhumah ibunya yang seorang penyanyi ternama. Robby giat mempromosikan anaknya sendiri ke produsen-produsen yang dulu sempat bekerja sama dengan Marissa. Dan itu berhasil, dalam waktu enam bulan nama Nuna sudah berada dijajaran pendatang baru terhits. Akun sosial medianya juga sudah terverifkasi centang biru. Padahal, Bella harus melalui semua itu dalam waktu dua tahun lamanya. Dua tahun, berusaha naik ke atas tebing tapi kini ia malah tertinggal. Terperosok jauh hingga kembali ke dasar karena pamornya yang perlahan menghilang setelah kedatangan Nuna. Jadi tentu layak untuk Bella merasa tersaingi dan marah pada Nuna. Bella sama sekali tidak percaya kalau Nuna punya bakat dalam dunia modeling. Ia terlalu lugu dan polos. Gimana mungkin gadis seperti itu bisa cepat mengalahkannya. Ah, dilihat dari mana pun Nuna gak ada bagus-bagusnya. Matanya sipit dan agak sayu. Kulitnya putih pucat, bibirnya juga biasa saja. Pun bodynya hanya menang dikurus. Lalu, apa kiranya yang membuat ia bisa disebut dewi yang turun dari kayangan. 'Ah, sial. Kenapa harus memikirkan kelebihan lawan.' Bella meruntuki pikirannya. Ia berjalan angkuh. Sengaja menendang betis Nuna yang sedang terjulur ke depan karena anak itu duduk di bangku panjang dekat pos. "Aduh," Nuna meringis kesakitan. "Eh, ada orang. Lagi duduk di situ," balas Bella tidak mau meminta maaf. Rambutnya dia kibas ke arah Nuna. Nuna mendongak. Ahk, lagi-lagi Bella. "Kamu sebenernya ada apa sih sama aku?" Mengapa suka sekali membuntuti Nuna. Padahal kan cukup untuk tidak saling kenal satu sama lain. Cukup dengan saling menunjukkan punggung masing-masing. Kebetulan Nuna juga jengah lihat mukanya. "Bel, Kamu tuh stalker aku,ya?" lanjut Nuna sambil berdiri dan tangan ia letakkan di pinggul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD