9.Perception: What's Wrong with Papa?

2212 Words
Minggu pagi, tepatnya pukul 08.34, Galen tengah sibuk dengan sebuah stik PS ditangan kirinya, sedang tangan kanannya memegang kemoceng. Sepagi ini, apalagi di hari libur, rasanya sangat aneh jika Galen bisa bangun cepat. Biasanya ia akan menghabiskan waktu tidurnya di hari minggu sampai siang hari. Pasalnya ia akan pergi tidur saat menjelang pagi karena kesibukannya bermain game. Cowok ini menatap nyalang pada kabel stik PS yang digenggamnya. Entah mengapa stik ini tidak bisa menyala saat akan digunakan. Sepertinya stik tersebut sudah rusak akibat Galen yang jarang memainkan apalagi merawatnya. "Mana nih PS banyak debunya, hadeh!" Dengan terpaksa ia membersihkan PS nya itu dengan kemoceng yang sudah ia bawa sebelumnya. Hari ini ia sengaja bangun pagi karena teman-temannya akan datang. Ya, Finn, Eric, dan Ian akan menginjakkan kaki mereka dikediaman Arsenio yang megah ini. Tentunya kedatangan mereka tak cuma-cuma. Pasalnya dihari libur ini mereka mendapatkan undangan langsung dari Dareen untuk membicarakan soal strategi yang akan mereka rancang untuk menemukan pelaku pembunuhan Mila. Dareen memanfaatkan momen ini karena ia terlalu sibuk di hari kerja. Bahkan untuk berkumpul bersama Papa dan adik-adiknya saja sangat sulit. "Malu-maluin nih PS kalo sampai rusak. Bisa-bisa diketawain mereka." Galen masih frustasi dengan dirinya yang khawatir jika teman-temannya itu akan meledeknya. Apalagi Ian, cowok itu pasti akan sangat berisik jika tidak difasilitasi. Tiba-tiba suara langkah kaki datang mendekati posisi Galen, ia adalah Adelard. Kakaknya itu memicing serta memandangi aneh ke arah adiknya, seperti ada sesuatu yang tidak beres. "Ngapain?" tanya Adelard santai. Galen melirik sedikit, "PS nya rusak. Nggak bisa main deh nanti sama temen-temen." Adelard segera merampas stik PS yang dipegang oleh Galen. Memperhatikan bagian bawa serta menekan tombol-tombol diatasnya yang terlihat berfungsi dengan baik tanpa kendala. Lalu ia meraba kabel yang melekat pada PS itu dengan saksama. "Kayaknya ini kabelnya, deh. Nggak lo rawat, sih," protes Adelard, "lagian juga udah enggak jaman stik PS pake kabel. Ini udah tahun berapa?" Adiknya itu kembali merampas stik PS tersebut dengan kasar. Ia tak sama sekali ingin menatap wajah kakaknya itu. Pasalnya ia menyadari bahwa Jehan tak mendatanginya kemarin karena memilih pergi berdua dengan Adelard. Namun, Galen tak sama sekali mengatakan bahwa ia sangat kesal pada Adelard hingga membuat Adelard kebingungan dengan sikap Galen. Galen juga sangat kesal pada Jehan karena lebih memilih untuk menuruti kemauan Adelard. Padahal gadis itu masih memiliki utang dan sudah berjanji untuk mau melakukan apapun yang Galen perintah. Tentu Galen tetaplah Galen, manusia berpendirian kuat dengan keras kepala yang mendominasi. Membuatnya tak begitu saja membiarkan Jehan mengingkari janjinya. Ia tak pernah kehabisan akal untuk menguji kesabaran gadis itu. Tinggal menunggu saja kapan saatnya ia akan melancarkan aksinya. "Lo kenapa, sih? Sumpah lo mirip banget kayak cewek, badmood mulu!" Kini Adelard ikut sewot, tapi cowok itu tak mau ambil pusing dan langsung duduk di sofa. Selanjutnya Dareen juga ikut turun menuju ruang tamu. Dilihatnya kedua adiknya yang tengah melakukan aktivitasnya masing-masing. Galen yang tengah duduk dilantai yang beralas karpet tebal dengan TV dan PS yang tergeletak asal, serta Adelard yang justru duduk di atas sofa dengan menyilakan kakinya. "Ngapain, Gal?" tanya Dareen karena ia lebih penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Adik paling bontotnya itu. Galen yang ditanya hanya mengerang kecil, ia lagi-lagi nampak pasrah. "Liat adik lo, niat kita mau ngundang Orion kan buat bikin kerja sama. Dia malah mau main PS." Adelard mulai memanas-manasi keadaan. "Lo yakin mau main PS?" "Kak Dareen, please. Kita nggak bakal ngabisin waktu seharian, kan, buat pasang strategi? Main PS juga nanti kalo diskusinya selesai!" Galen menekan kalimat terakhirnya sambil melirik Adelard. Dareen merasakan ada yang tidak beres diantara kedua adiknya itu. "Tapi PS nya rusak, kan?" Layaknya Kakak pada umumnya, Adelard kembali memancing kejengkelan Galen. Hingga suara yang terdengar sangat kacau bergema jelas dari ruang tamu sampai membuyarkan aksi berdebat antara Adelard dan Galen. Suara tersebut datang dari halaman depan membuat ketiga cowok itu langsung menatap ke sumber suara. Tiga remaja laki-laki datang memasuki rumah Arsenio, tentunya mereka telah mengakhiri sorakan-sorakan brutal sebelumnya. Sebelumnya, Adelard sudah menduga jika suara ricuh itu disebabkan oleh teman-teman Galen. Apalagi suara Ian yang mendominasi dan sering sekali berteriak sambil mengejek lalu tergelak puas dengan tawa andalannya. "Permisi, pagi, Kak," ucap Finn yang berbaris ditengah diikuti Ian dan Eric disebelahnya. Ia tersenyum ramah dan sopan kepada Dareen dan Adelard. Lalu ketiganya masuk dan langsung menyalami tuan rumah. "Gila si Galen, dapet duit dari mana, ya, biar bisa bangun rumah kayak gini? Kalo dia ngepet, gue mau ikut biar cepet kaya," bisik Ian pada Finn sambil menempatkan dirinya diposisi sofa yang paling nyaman. Finn segera menyenggol perut Ian dengan sikunya. Temannya itu memang sangat aneh dan menyebalkan. Ada saja pertanyaan-pertanyaan tidak jelas yang keluar dari mulutnya. Untung saja Ian hanya berbisik dan pertanyaan tadi hanya bisa didengarkan oleh Finn. "Sorry, ya, kalo gue ganggu waktu libur kalian. Semoga kalian nggak ngerasa keberatan buat dateng kesini, karena kita butuh banget sama campur tangan kalian." Dareen memulai pembicaraan, tentunya dengan pembawaannya yang santai dan enak didengar. "Kita nggak keberatan sama sekali, kok. Justru kita seneng bisa bantu kalian. Orion is our fams, Kak. Santai aja." Eric mengacungkan jempolnya sambil melihatkan beberapa baris giginya yang rapi diikuti Finn dan Ian yang mengangguk setuju. "Eh, bentar, Gal. Kok tenggorokan gue kering, ya? Hehe," ucap Ian pada Galen. Finn dan Eric yang menyadari itu langsung membuang muka dan mengacak wajah mereka kasar. Rasanya Eric ingin sekali menendang temannya itu. Finn lagi-lagi menyenggol perut Ian, cowok itu sangat geram. "Kenapa, sih, lo selalu bikin malu?" tanya Finn sambil tetap menahan gigi-giginya agar tidak terbuka, ia juga mengamati sekitar agar Galen dan kakak-kakaknya tak menyadari apa yang ia lakukan. "Finn, yang realistis dong! Kita kan tamu, apalagi kita jauh-jauh dateng kesini. Inget, tamu adalah raja." Ian mengangkat kedua alisnya bersamaan untuk meyakinkan sahabatnya itu. "Oh iya, hampir lupa. Maaf, ya," timpal Adelard, "Bi, siapin minum buat temen-temennya Galen!" Adelard sedikit berteriak memerintah Bi Arum yang tengah melakukan tugasnya di dapur. "Jadi gimana, kita bakal ngelakuin apa, Kak?" tanya Galen. "Gue pikir kita harus selidiki dari orang-orang yang pernah kenal ataupun deket sama Mama. Mungkin aja mereka punya dendam sama Mama," jelas Dareen. "Tapi kayaknya Mama nggak punya musuh. Mama orangnya baik dan setau gue circle pertemanan Mama itu kecil," timpal Adelard. "Kalo bukan dari temen-temen Tante Mila, apa mungkin dari Om Harun?" tebak Finn. Mereka semua bergeming sembari memikirkan perkataan Finn. Adelard mulai sedikit setuju dengan ucapan Finn, mungkin saja papanya memiliki masalah sebelumnya tanpa ia dan kedua saudara tahu. "Gue bisa ngeliat Papa terpukul banget pas Mama meninggal, bahkan sekarang sampai nyerang kesehatannya. Apa bener dugaan Finn?" Adelard mulai menerka-nerka. Ditengah-tengah diskusi mereka datanglah Jehan dengan nampan berisi beberapa gelas minuman untuk para tamu. Ia terpaksa mengambil alih tugas Bi Arum untuk mengantar minuman karena Bi Arum yang tiba-tiba sakit perut. Kini ia harus kembali berhadapan dengan teman-teman Galen yang ia temui di markas sekolah waktu itu. Bisa Jehan lihat bahwa ketiga cowok yang ia temui di markas itu terbelalak saat mereka menyadari kehadirannya. Apalagi posisinya kali ini adalah tengah menghidangkan minuman. Jehan juga tak mengerti mengapa ketiga cowok itu harus kaget. Bukankah Galen mungkin sudah menceritakan tentang dirinya saat ia sibuk membuat kopi kala itu? Namun, ketiganya tak sama sekali mengeluarkan sepatah katapun pada Jehan. Pasalnya mereka tengah serius berdiskusi bersama. Terlihat hanya Finn yang tersenyum sambil menganggukkan kepalanya tanda terima kasih. "Jadi, kesimpulannya?" tanya Galen. "Papa punya masa lalu kelam sama seseorang, entah itu karena kerjaan atau ...," Adelard menggantungkan ucapannya, "atau Papa punya wanita simpanan." Sontak satu gelas berisi jus jeruk yang dihidangkan oleh Jehan tak sengaja terjatuh—membuat semua yang ada di ruang tamu terkejut. Apa yang baru saja Adelard ucapkan membuat ia kaget dan tak sengaja menumpahkan segelas jus tersebut. Sial. Benar dugaannya, cepat atau lambat mereka akan mengetahui semuanya. Namun, mengapa Adelard sampai terpikirkan oleh hal sejauh itu? "Astaga! Lo bisa hati-hati nggak, sih?" tanya Galen dengan nada tinggi, "dimana-mana lo selalu bikin kacau. Kayaknya nggak ada pekerjaan yang berhasil lo lakuin." Jehan terkesiap, ia juga sangat menyayangkan apa yang baru saja ia perbuat. Ia sangat heran dengan dirinya sendiri yang teledor dan sering melakukan kesalahan. Benar kata Galen, ia tak benar-benar bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik. "Ma—maaf, aku nggak sengaja," ucap Jehan sambil menundukkan pandangannya. Ia tak berani menatap wajah Galen. Dan ia sudah menebak jika Adelard dan Dareen juga pasti sangat kesal padanya. Gadis cantik itu buru-buru bangkit untuk mengambil lap di dapur. Lalu ia segera membereskan tumpahan jus yang sudah berserakan itu. Jehan menahan tangisnya, ia kesal, sangat kesal. Mengapa sangat mudah sekali baginya untuk menangis? Tidak, ia tak boleh menangis didepan mereka. Ia tak mau dianggap menjual air mata agar mereka merasa bersimpati. "Aku minta maaf sama kalian semua." Jehan mengelap seluruh meja yang terkena air jus tak lupa dengan air mata yang hampir jatuh dan tangannya yang gemetar. "Nggak apa-apa, Je. Makasih ya udah diberesin," balas Finn. Entah mengapa yang satu ini sangat baik dan pengertian. Ucapan selembut salju dengan senyum yang meneduhkan hati membuat Jehan jauh lebih baik. Jehan buru-buru meninggalkan mereka, tapi jujur saja ia masih penasaran dengan kelanjutan pembahasan mereka. "Wanita simpanan?" Galen mengulangi lagi pernyataan Adelard lantaran pembahasan sebelumnya terpotong oleh drama tumpahnya jus jeruk. Dareen mulai tertarik dengan dugaan Adelard. Ia memikirkan matang-matang hal tersebut, mungkin saja itu semua memang sebuah kebenaran yang telah ditutupi oleh Harun. "Kayaknya lo bener. Selama ini Mama sering nangis sendirian, Mama selalu nutupin semua masalahnya dari kita," tutur Dareen. "Dan semua rasa kehilangan Papa yang belum ada habisnya ini hadir karena penyesalan Papa?" sahut Adelard. "That's it! Sepemikiran." "Kalian yakin Papa selingkuh? Ini Papa kita loh, harusnya kita enggak seenaknya nuduh kayak gitu." protes Galen. "Nuduh? Siapa yang nuduh sih, Gal? Ini cuma praduga. Lagipula kita masih diskusi buat cari siapa pelaku pembunuhan Mama," sahut Adelard. Mereka sedikit bertentangan dan salah paham karena Galen tidak ingin menuduh papanya begitu saja. Namun, semua yang dikatakan oleh Adelard itu benar, karena ini hanya praduga dan belum sepenuhnya pasti. Ketiga teman Galen hanya terdiam, tidak ada satupun diantara mereka yang ingin menimpali. Mereka merasa sangat canggung dan tidak menyangka jika Papa mereka harus diseret dalam permasalahan ini, mereka merasa masalah ini terlalu intim jika harus melibatkan mereka. "Lo jangan emosi dulu, gimanapun kita juga nggak bakal seneng kalo nuduh Papa. Ini cuma persepsi gue, dan nggak ada salahnya kan, kalo kita cari tahu?" jelas Adelard. "Tapi yang jadi masalah, Papa sekarang nggak bisa bicara. Kita pasti kesulitan buat minta penjelasan, kan?" "Bener, Gal. Tapi ada baiknya kita pikiran ini baik-baik biar kita nggak nyakitin hati Papa pas kita tanya." "Gue cukup setuju sama dugaan Adelard, mungkin saat ini kita cuma butuh keterangan dari Papa. Nanti kalo kita udah dapet hasilnya, kita bakal kontak kalian lagi," ucap Dareen pada teman-teman Galen. Ia merasa jika urusan ini harusnya diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu. Ia juga tak ingin buru-buru bekerja sama dengan Orion. "Untuk saat ini gue rasa kita dulu aja yang tanganin. Gue berterima kasih banget sama kalian karena kalian udah mau dateng kesini. Dan gue juga minta maaf karena kita belum bisa pastiin kapan kita bakal bekerja sama. Gue harap kalian nggak kapok-kapok main kesini, ya," tambah Dareen. Ketiga cowok yang duduk berhadapan dengan Dareen itu bernapas lega. Pikir mereka yang merasa tidak enak jika harus mengurusi masalah keluarga akhirnya terpecahkan. Mereka sangat paham dengan keadaan sekarang dan tentunya mereka mengerti akan keputusan yang Dareen ambil. "Kita paham, kok, Kak. Kita bakal dukung gimanapun keputusan yang kalian ambil. Gue harap kasus ini nggak ada sangkut pautnya sama bokap kalian," balas Eric. "Jangan pernah sungkan buat kontak kita kapan aja, Kak. Soalnya kita nganggur, hehe." Ian hampir saja mendapat tonyoran dari Finn, tapi ia berhasil mengelak. Galen yang melihat ini hanya bisa menggeleng. Memang, temannya ini kurang waras. Dareen tergelak lalu mempersilakan ketiga cowok itu untuk meminum jus yang telah disiapkan sebelum mereka beranjak pulang. Dareen juga beberapa kali meminta maaf dan berterima kasih karena kesediaan mereka untuk datang. Namun, belum sempat ketiga cowok itu melangkah keluar rumah, Galen sudah meneriaki mereka dengan keras, "Main PS dulu dong!!" Cowok itu baru menyadari bahwa ia sudah rela dan repot-repot bangun pagi hanya untuk menyiapkan tempat untuk bermain PS. Ia juga telah membersihkan perlengkapan PS dari debu yang menempel dipermukaan. Menurutnya, ia adalah usaha yang cukup besar. Jika ia membiarkan teman-temannya pulang—sama saja ia akan merasa rugi. Ketiga cowok yang hampir menghilang dari depan pintu itu pun menoleh kompak. Mata mereka saling menatap bergantian. "Main PS?" tanya Finn tak yakin. "Iya, tapi ini PS lama. Nanti yang menang gue jajanin," balas Galen. Mendengar itu, Ian yang selalu suka dengan apapun yang berbau uang dan makanan langsung menghampiri Galen cepat. Ia bisa melihat Adelard dan Dareen yang melangkah pergi saat dirinya mendekat. "Serius ini, Gal?" "Ngapain gue boong?" Ian menatap sumringah. Buru-buru ia mengambil posisi untuk duduk di lantai bersama stik PS yang sudah berbaris rapi didepannya. "Kalian masih mau berdiri aja disana?" Kini fokus Galen beralih pada Finn dan Eric yang masih setia mematung di depan pintu. "Takut kalah, ya?" Mendengar ledekan Galen, Eric langsung berjalan menuju lantai beralas karpet itu untuk duduk menemani Ian. "Finn, lo lawan gue. Inget, yang menang gue jajanin," Galen mulai menantang Finn yang kini tengah berdiri sendirian di ujung pintu. Finn tersenyum tipis lalu mendatangi temannya itu. "Kalo kalah?" "Nurutin perintah lawan." . . (Bersambung)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD