PROLOG

1389 Words
"Alanna, aku mohon, bersedialah menjadi madu dari suamiku." Alanna mengerjapkan matanya berulang kali. Jujur, ia tidak siap ketika diberondong pertanyaan seperti ini. "Vio, kamu masih waras, kan? Gimana caranya aku jadi madu suamimu?" Wanita itu menggeleng tidak habis pikir. Lama tidak saling bertatap muka, tiba-tiba sahabatnya itu menghubungi. Mengajak bertemu di salah satu restoran dengan alasan ingin melepas rindu. Nyatanya, ada maksud lain dari pertemuan ini. Ya, Viona malah tiba-tiba memintanya untuk menjadi istri kedua sang suami. "Aku tau, dulu kamu juga suka dan cinta sama Elfathan, kan? Kalian berdua bahkan juga sempat dekat." Viona berujar dengan lirih dan penuh yakin. "Dulu, kamu sengaja ngalah supaya aku bisa dekat sama dia. Itu sebabnya, aku ngerasa cuma kamu yang pantas jadi istri keduanya." Alanna meringis. Apa yang dikatakan Viona memang benar. Dulu mereka berdua sama-sama menyukai Elfathan Arash Assegaf. Pria tampan dari fakultas kedokteran yang memang menjadi incaran para wanita ketika keduanya tengah duduk di bangku kuliah. Pria yang notabene kini menjadi suami Viona, sahabatnya sendiri. Atas alasan menjaga persahabatan, Alanna mengorbankan perasaannya. Dengan sengaja memilih untuk mengalah bahkan berusaha mengubur rasa cintanya yang begitu dalam. Itu semua dilakukan agar Viona bisa mendekati pria yang juga ia taksir. "Vio ... Jujur, dulu aku memang suka sama Elfathan. Tapi bukan berarti sekarang aku mau jadi istri keduanya. Kamu jangan gila!" tolak wanita itu mentah-mentah. Viona langsung meraih pergelangan tangan Alanna. Dengan raut wajah memohon ia berucap lirih. Berusaha sekali menarik simpati sahabatnya. "Lana, aku nggak bisa punya anak. Sedangkan El dari dulu pengen punya anak yang banyak dalam keluarga kecil kami." Alanna langsung melotot tajam. "Ya trus apa hubungannya sama aku?" Detik kemudian ia langsung menepis pergelangan tangan Viona. "Karena cuma kamu yang pantas jadi istrinya Elfathan," gumam Viona. "Aku kenal keluarga bahkan tau sifat dan kepribadianmu seperti apa. Pun begitu dengan El, dia juga kenal kamu dengan baik. Dan yang paling penting, kita sama-sama keturunan Arab Ba'alawi. Jadi aku nggak perlu repot mikirin soal nasab keturunan. Aku sangat yakin, Elfathan pasti bisa adil dengan kita berdua nantinya." Alanna hanya bisa melongo. Seenaknya sekali sahabatnya ini berucap. Mana pernah juga seumur hidup ia kepikiran apalagi bercita-cita jadi madu suami orang. Apalagi suami dari sahabatnya sendiri. "Nggak, aku nggak mau! Aku juga nggak berminat jadi duri dalam daging rumah tangga kalian berdua. Pokoknya aku nggak mau!" Viona menghela napas pelan. Berpikir keras bagaimana cara meyakinkan sahabatnya. Ia tidak boleh menyerah. Ia harus mendapatkan apa yang sudah lama diinginkannya. Dari semua kriteria, hanya Alanna yang menurutnya pantas untuk mendampingi sang suami. "Demi Allah, Alanna. Aku mohon bantuanmu. Atau, kalau nggak mau terikat lama dengan pernikahan ini, cukup sampai kamu hamil dan melahirkan anak El saja. Setelah itu, aku bebaskan kamu untuk mengambil keputusan. Apakah ingin terus menjadi istrinya atau berpisah. Tolong aku." "Kamu bisa coba wanita lain aja, Vio. Jangan aku." "Seenggaknya aku lebih ikhlas kalau kamu yang jadi istrinya Elfathan." Viona kembali berucap dengan lirih. Sementara Alanna terus saja bertahan pada pendirianny. Terus menggelengkan kepala sebagai bentuk dari penolakan atas permintaan gila sahabatnya. Namun, bukannya menyerah, kali ini Viona malah bangkit dari tempat di mana ia duduk. Alanna pikir, wanita itu akan pergi. Nyatanya tidak. Sahabat karibnya itu tersebut tampak mendekat. Dengan sengaja duduk bersimpuh seraya memohon. "Aku nggak bakal bangun sebelum kamu terima permintaanku." Alanna kembali melotot. Terperanjat dengan apa yang Viona lakukan. Sedang semua orang yang berada di dalam restoran terdengar mulai berbisik sembari memerhatikan apa yang terjadi antara dirinya dan Viona. "Vio, kamu diliatin banyak orang!" Viona tidak perduli. Wanita itu terus saja melakukan aksinya. "Aku mohon, Lana .... " Wanita itu terus memohon. Bahkan sekarang sampai terisak. Alanna bisa melihat bagaimana air mata sahabatnya itu sudah tumpah membasahi pipi mulusnya. Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Menerima begitu saja permohonan Viona? Yang benar saja! Kenapa Tuhan bisa sebercanda ini pada hidupnya. Susah payah dulu ia melupakan Elfathan, kenapa sekarang harus kembali berurusan. Sejenak Alanna terdiam. Mungkin sedang menimbang jawaban apa yang pantas untuk ia berikan. Berdoa dalam hati kalau keputusannya nanti tidak merugikan kedua belah pihak. Lantas tak berapa lama, wanita itu kembali berkata-kata. "Baik ... aku bakal terima permintaanmu, tapi dengan syarat Elfathan sendiri yang datang ke rumah dan melamar secara langsung kepada orang tuaku. Kalau Elfathan mampu meyakinkan orang tuaku, aku janji akan menuruti permintaanmu." Vio menyunggingkan senyum. Sambil mengangguk penuh bahagia, wanita itu menyahut permintaan Alanna. "Aku pastikan El segera lamar kamu. Aku percaya kalau dia bisa meyakinkan orang tuamu. Tunggu saja kedatangan kami ke rumahmu. Tapi, sebelum melamar, apa aku boleh minta satu lagi permohonan sama kamu?" "Permohonan apa?" "Sebelumnya aku minta maaf, kamu jangan tersinggung. Aku mau, kamu ikut aku ke dokter kandungan untuk mengecek kondisi rahimmu terlebih dahulu." Alanna menghela napas lalu mengembuskannya dengan perlahan. Wanita cantik itu memilih untuk mengangguk setelahnya. "Baik, aku bakal ikuti permintaanmu yang satu ini." *** "Ini apa, Sayang?" Elfhatan memandang lekat sebuah map yang baru saja diberikan oleh Viona, istrinya. Wanita cantik itu memajukan dagu, isyarat agar sang suami segera membuka lalu mengecek sendiri apa isi dari benda tersebut. "Hasil diagnosis dokter kandungan?" Elfhatan kembali bertanya. "Tapi untuk apa?" ulang pria itu sekali lagi. Viona menarik napas dalam. Dengan raut wajah berbinar ia tampak tidak sabaran ingin menjelaskan kabar bahagia kepada sang suami. "Aku sudah ketemu calon istri yang pas. Dan itu hasil pemeriksaan kandungannya. Wanita itu sehat dan siap untuk mengandung anakmu. Ah ... tidak ... tidak," ralatnya cepat. "Anak kita maksudnya." "Apa?!" Elfathan langsung mendongak. Menggelengkan kepalanya berulang kali. Jujur, ia benar-benar terkejut mendengar apa yang baru saja istrinya sampaikan. "Kita sudah sepakat nggak akan bahas ini lagi, Vio. Aku udah berkali-kali tegaskan sama kamu. Aku nggak mau nikah lagi hanya demi mendapatkan anak." Viona sekali lagi menghela napasnya. Ia sadar kalau perbuatannya ini pasti membangkitkan emosi sang suami seperti yang sudah-sudah. Tapi ia tidak boleh menyerah begitu saja. Keinginannya selama ini harus bisa terwujud. Sudah lama sekali Viona mendambakan seorang bayi dalam rumah tangganya. "Tapi aku pengen gendong anak, El. Aku juga pengen kamu punya keturunan ---" "Stop, Vio!" Elfathan memotong. "Kamu boleh minta apa aja sama aku, asal jangan nikahin perempuan lain. Aku nggak mau!" Suara Elfathan makin meninggi. Serupa gemuruh yang memekakan telinga. Hal ini yang akhirnya membuat Viona mau tidak mau menangis. Memiliki kondisi kandungan yang tidak normal membuat wanita cantik berdarah Arab itu harus merelakan rahimnya untuk segera diangkat. Karena alasan ini juga yang menyebabkannya tidak bisa memberi sang suami keturunan. Padahal pria itu semenjak belum menikah mengingingkan sosok anak yang banyak dalam rumah tangga mereka. Atas dasar rasa cinta yang begitu dalam, Viona memutuskan untuk mencarikan sang suami seorang istri pengganti. Dan Alanna adalah wanita yang ia pilih. Viona berharap sahabatnya itu kelak memberikan keturunan yang banyak untuk melengkapi keluarga kecil mereka. Ia tidak masalah kalau harus berbagi suami. "Aku minta maaf .... " Elfathan berucap lirih sembari memeluk tubuh sang istri. "Tapi aku benar-benar nggak bisa kalau nikahin perempuan lain. Aku cuma cinta sama kamu, Vio. Cuma kamu!" Dalam pelukan Elfathan, Viona terdengar sesenggukan. Butuh beberapa menit setelahnya, barulah wanita itu terdengar kembali berbicara. "Cuma ini satu-satunya cara agar kita bisa punya anak, El. Lagi pula, kamu juga kenal sama calon istri baru kamu." Elfathan mengendurkan pelukannya. Memastikan kembali apa yang baru saja ia dengar. "Kenal? Maksudmu?" "Iya .... " angguk Viona. Aku udah temui Alanna. Dan dia bersedia untuk jadi istri yang mengandung anakmu." "Alanna?" ulang Elfathan dengan ekspresi begitu terjekut. Nama yang baru saja Viona sebutkan memang tidak asing di telinganya. "Iya, kamu kenal, kan? Lagi pula dia juga Syarifah seperti aku. Jadi untuk urusan bibit bebet bobot udah terjamin." "Tapi, Vio—" "El ... " potong wanita itu. "Aku mohon. Seumur hidup saling kenal, aku nggak pernah minta apa-apa sama kamu. Jadi, kali ini, aku mohon kabulkan permintaanku." Elfathan terdiam. Mana bisa begitu saja memberikan keputusan. Lebih-lebih ini soal pendamping hidup. Menjalani rumah tangga dengan cara berpoligami saja tidak pernah terlintas dalam benaknya. Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang. Tetap bersikukuh pada pendiriannya? Atau mengabulkan permintaan istri tercintanya. *** Penjelasan : *Arab Ba'alawi/Alawiyyin : Sebutan bagi kaum atau sekelompok orang memiliki pertalian darah secara langsung dengan Nabi Muhammad. *Di Indonesia sendiri marga/fam Arab terbagi menjadi 2 : *Ba'alawi >> Alaydrus, Alatas, Alhabsyi, Shahab, Alqadrie, Aljufrie, bin Yahya dll. *Non Ba'alawi >> Bahmid, Basalamah, Baswedan dll. *Sayyid/Syarif/Syarifah/Sayyidah : Gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD