3. Awal Pertemuan

2229 Words
Alanna tertegun. Sudah tidak terhitung ia melirik jam yang melingkar cantik di pergelangan tangannya. Total, 20 menit sudah ia menunggu. Tadi siang, saat sedang menikmati istirahat kerja, Viona tiba-tiba menghubungi. Sahabatnya itu meminta untuk saling bertemu di sebuah cafe sore nanti. Itu sebabnya, seperti yang diperintahkan, sepulang kerja, Alanna langsung pergi ke tempat tujuan. Tapi, sudah sedari lama menunggu, sahabatnya itu tidak kunjung terlihat. Khawatir terjadi sesuatu, Alanna berinisiatif untuk menghubungi. Memastikan kembali di mana posisi Viona, sekarang. Kalau pun memang masih lama, ia ingin izin pulang duluan saja. Namun, belum lagi sempat menghubungi, sapaan seorang wanita dari kejauhan mengurungkan niat Alanna. Sontak ia mendongak, lalu tak lama memilih bangkit. Melempar senyum, detik berikutnya Alanna terkesiap ketika mendapati sosok lain turut mengekor tepat di belakang wanita itu. "Lanna, sorry banget aku lama." "Nggak apa-apa, santai aja." Viona tanpa canggung mengajak Alanna bersalaman. Menghambur pelukan sembari mencium kedua pipi sahabatnya itu bergantian. Memang sudah tabiatnya bersikap ramah seperti ini. Mengingat kalau dirinya tidak datang sendiri, selepas mengurai pelukan Viona menoleh ke belakang. Mengulas senyum, lantas kemudian tanpa ragu menarik pergelangan tangan pria yang sedari tadi mengekor, agar maju berdiri sejajar dengan dirinya. "Hari ini aku juga sekalian bawa Elfathan buat ketemu sama kamu." Viona lantas menyenggol lengan Elfathan. Memberi israyat agar pria itu menyapa Alanna yang sedari tadi berdiri di depan mereka. "Hai Alanna ...." sapa Elfathan dengan sedikit menunduk. Kentara sekali terdengar basa-basi. "Hai." Alanna balas menyapa tak kalah kikuk. Hanya mampu mengangguk kemudian memilih untuk segera duduk. Entah kenapa, di pertemuan pertama setelah sekian lama terpisah, seperti ada perasaan tidak bisa yang tiba-tiba saja menyergap hati dan pikirannya. Elfathan tidak sedikit pun berubah. Penampilannya tetap saja tampan seperti dulu saat ia pertama kali mengenal pria itu. Karena ketampanan inilah, Alanna sampai kepincut, bahkan sempat bermimpi menjadi pasangan Elfathan. Sebelum akhirnya memilih untuk mengalah karena Viona ternyata memiliki perasaan yang sama pada pria incarannya. "Kalian berdua kenapa canggung begitu? Udah kayak orang yang baru pertama kali kenal aja," tegur Viona setelah duduk. Ia sengaja mengambil posisi tepat di sebelah Alanna. Sementara Elfathan sendiri duduk di seberangnya. "Jadi, kenapa kamu minta aku untuk datang ke sini?" tanya Alanna. Ia lebih memilih untuk mengabaikan apa yang sebelumnya Viona ucapkan. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi Alanna bingung juga harus menanggapi seperti apa. Mau bagaimana lagi, dari dulu Alanna memang selalu gugup bila bertemu Elfathan. Dan sekarang? Setelah sekian lama tidak berjumpa, perasaan canggung itu tidak sedikit pun hilang. Malah, semakin bertambah besar. "Ada yang mau aku sampaikan." Alanna mengangguk-angguk. Wanita itu kemudian balas berbicara. "Aku juga mau bicara sesuatu sama kamu, Vio. Kalau gitu, kamu duluan aja ngomongnya." Viona tersenyum tipis. Menarik sedikit kursinya agar lebih dekat dengan posisi di mana Alanna sedang duduk. Setelah merasa nyaman, barulah ia kembali berkata-kata lagi. "Aku mau bahas soal permintaan kamu untuk datang sekaligus meminta izin untuk melamar." "Ya? Terus?" "Kalau nggak ada halangan ... " lanjut Viona. "Aku dan Elfathan rencananya lusa memutuskan untuk berkunjung ke rumahmu." Alanna langsung terkesiap mendengar apa yang Viona katakan. "Lusa?" "Iya, Lana. Lebih cepat lebih baik, kan?" tutur Viona. Ia memang sudah tidak sabar lagi untuk bertemu keluarga Alanna. Kalau pun bisa malam ini juga, dengan senang hati Viona akan segera mengajak Elfathan untuk berkunjung secepatnya. "Aku sengaja kasih tau kamu sekarang supaya keluarga kamu nggak kaget nantinya menerima kedatangan kami berdua." "Tapi, Viona ... sebenarnya, aku mau ----" "Nggak, Alanna," sahut Viona cepat. Ia sengaja memotong, padahal Alanna belum menyelesaikan kalimatnya. "Aku mohon jangan berniat untuk menunda apalagi sampai berubah pikiran dengan permintaanku ini. Siapa lagi yang mau menolongku selain kamu?" Alanna mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Menelan kembali kalimat yang hendak dilontarkan. Padahal, sebelumnya ia berniat memberi tahu Viona soal keputusannya menolak untuk menjadi madu Elfathan. Namun, melihat raut sendu sekaligus binar kesedihan yang terpancar pada manik cokelat milik Viona, lagi-lagi rasa kasihan itu kembali muncul di benak Alanna. Ia bahkan turut membayangkan bagaimana kalau dirinya yang berada di posisi Viona. "Aku benar-benar mohon sama kamu," ucap Viona kembali. Kali ini wanita itu sampai menarik pergelangan tangan Alanna lalu menggenggamnya erat-erat seraya kembali bergumam lirih. "Tolong aku." "Tolong kabulkan saja permintaan Viona, Alanna." Elfathan yang dari awal kedatangan lebih banyak mendengarkan, rupanya tidak tahan melihat sang istri terus memohon. Mengenyampingkan ego, pria itu pada akhirnya buka suara, lalu ikut berbicara kepada Alanna. "Kalau kamu sudah siap, aku dan Viona akan berkunjung ke rumah keluarga besarmu. Kalau pun nanti orang tuamu memberikan izin, secepatnya aku akan bawa keluarga besarku untuk melamar." Elfathan sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Toh percuma juga dirinya protes apalagi menolak kalau Viona sudah bersikeras bahkan mengambil keputusan. "Baik," sahut Alanna. "Pulang dari sini, aku bakal langsung beritahu orang tuaku kalau kalian akan berkunjung dalam waktu dekat." Viona saat itu juga langsung tersenyum lebar. Ekspresi bahagia terpancar jelas di wajah wanita itu. Dengan penuh sayang, ia kembali mendaratkan pelukan pada Alanna. Mengucap terima kasih berulang kali karena sahabatnya itu memberikan kesempatan pada dirinya dan Elfathan untuk berkunjung dalam waktu dekat. "Alhamdulilah, terima kasih banyak, Alanna. Lusa, setelah isya aku dan El akan datang ke rumahmu. Sekali lagi terima kasih." Alanna mengangguk saja. Bingung juga mau membalas seperti apa lagi. Sampai tak lama, Viona bangkit dari duduknya. Wanita itu tampak bersiap untuk pamit undur diri. "Kalau gitu, aku sama El pamit pergi dulu. Atau kamu mau kami antar sekalian?" tawar Viona dengan tulus. "Nggak usah," tolak Alanna. "Aku bawa mobil sendiri, kok." "Ya sudah kalau begitu. Aku duluan." Elfathan yang juga sudah berdiri di belakang Viona hanya mengangguk sekedarnya. Pria itu kemudian menggandeng sang istri untuk segera keluar dari Cafe. *** "Aku harus ngomong apa ke Baba sama Umi, Viona?" tanya Elfathan saat Range Rover hitam yang ia kendarai sudah terparkir rapi di depan kediaman keluarga Assegaf. Sepulang dari menemui Alanna, Viona langsung memerintahkan sang suami untuk pergi ke rumah ke dua orang tuanya. Bukan tanpa alasan. Viona ingin Elfathan segera memberi tahu keluarga besarnya kalau pria itu dalam waktu dekat akan berpoligami atau kembali menikahi seorang wanita. Viona bisa menebak, orang tua Elfatahan pasti akan terkejut mendengar berita ini. Tapi ia juga yakin kalau sang ayah dan ibu mertua pasti pada akhirnya tetap memberikan restu kepada Elfatahan. Apalagi, ini semua dilakukan demi melahirkan keturunan-keturunan hebat dari nasab seorang Assegaf. "Vio ... aku harus gimana?" Sekali lagi Elfathan bertanya ketika Viona belum sedikit pun memberikan respon kepadanya. "Ya tinggal ngomong aja kalau kamu mau nikah lagi. Apa susahnya?" jawab Viona dengan enteng. Kalau sekedar ngomong, memang bukan perkara sulit bagi Elfathan. Hanya saja, ada beban moril yang harus pria itu tanggung ketika berhadapan dengan kedua orang tuanya, lalu tiba-tiba saja membahas soal rencana menikah lagi. Walau tidak menentang sama sekali soal poligami, belum ada satu pun anggota keluarganya yang memiliki istri lebih dari satu. Kalau pun nanti Elfathan jadi menikah kembali, ia bisa dinobatkan sebagai anggota pertama yang menjalani kehidupan sebagai pria beristri dua. "Nggak segampang itu Viona. Baba pasti bakal tanya kenapa harus sampai menikah lagi. Di samping itu, apa yang aku lakukan ini pasti akan menyakiti perasaan Mama dan Papa kamu juga." "Ya kasih tau aja alasan sebenarnya kalau ini semua dilakukan supaya mereka bisa segera punya cucu. Kalau kamu bingung cara bilangnya gimana, nanti aku bantu ngomong ke Baba dan Umi," ungkap Viona dengan penuh percaya diri. Mau bagaimana lagi, tekadnya sudah kuat. Ia tidak boleh goyah apalagi sampai mundur dengan rencana yang sudah susah payah ia buat. "Soal Papa dan Mama, kamu tenang aja. Nanti aku yang handle. Mereka juga nggak berhak untuk marah. Toh di sini aku sendiri yang secara sadar minta untuk di madu." "Tapi, Vio ---- " "El, aku mohon ... " potong Viona. "Baru kali ini aku minta tolong sama kamu," ungkapnya seraya menatap lekat ke arah sang suami. "Apa sesulit itu mengabulkan permintaanku?" Elfathan menarik napas dalam-dalam. Pikirnya memang sudah tidak ada kesempatan lagi menolak permintaan sang istri. Benar yang Viona katakan sebelumnya. Seumur hidup menjalani pernikahan, wanita itu tidak pernah sedikit pun meminta sesuatu apalagi menuntutnya macam-macam. Itu sebabnya, ketika kali ini Viona menyampaikan keinginannya. Wanita itu meminta dengan sangat untuk segera dikabulkan sebelum semuanya terlambat. "Oke, Fine!" Elfathan pada akhirnya mengalah. Sekali lagi memantapkan hati sebelum akhirnya turun dari mobil. Begitu melangkah masuk ke kediaman orang tuanya, ia dan Viona langsung disambut dengan begitu hangat. "Tumben kalian singgah tapi nggak info-info dulu ke Umi atau Baba," tanya Fauziah, ibunda Elfathan. Semuanya kini tengah berkumpul di ruang keluarga. "Emangnya kalau mau singgah ke rumah orang tua sendiri mesti buat laporan dulu?" Fauziah tertawa. Sebenarnya bukan hal istimewa juga ketika sang putra berkunjung ke rumahnya. Elfathan bahkan hampir setiap hari singgah ketika jam makan siang atau pun sepulang kerja untuk sekedar datang menjenguk. Hanya saja, kalau membawa Viona, pria itu biasanya memberi kabar dulu. Hal itu dilakukan supaya sang ibu bisa menyiapkan banyak makanan agar bisa disantap secara bersama-sama. "Kalau tau Viona mau ke sini, Umi bakal masak yang enak, El." "Nggak apa-apa, Umi." Viona ikut menimpali. "Tadi emang Vio yang tiba-tiba aja ngajak singgah karena ada hal penting yang mau Elfathan sampaikan ke Baba dan Umi." Rasyid, ayahanda Elfathan langsung menoleh ke arah sang putra. Menatap dalam, pria berumur 60 tahun itu kemudian bertanya dengan rasa penasaran bercampur heran. "Memangnya kamu mau menyampaikan berita apa, El?" Ditanya demikian, Elfathan tidak langsung menjawab. Butuh beberapa detik pria itu habiskan hanya untuk menatap ayah dan ibunya secara bergantian. Dalam hati terus saja mencari kata yang tepat sebelum akhirnya kembali berbicara. "El mau nikah lagi, Ba." "Apa?!" Fauziah langsung terbelalak mendengar apa yang baru saja Elfathan sampaikan. Melihat bagaimana selama ini hubungan putra dan menantunya begitu harmonis, tentu ia sangat terkejut mendengar apa yang baru saja Elfathan katakan. Selama ini, Fauziah tahu bagaimana Elfathan begitu mencintai Viona. Tidak pernah juga sekali pun dirinya melihat atau mendengar mereka berdua terlibat pertengkaran atau perselisihan selama menjalani kehidupan rumah tangga. "Kamu nggak bercanda, kan? Jangan macam-macam, El. Omongan itu adalah doa," tutur Fauziah. "El nggak lagi bercanda, Umi. El serius." "Tapi kenapa, El? Apa kamu nggak mikir bagaimana perasaan Viona kalau kamu menikah lagi?" "Menjalani kehidupan dengan berpoligami itu nggak mudah, El." Rasyid kembali berbicara. "Salah sedikit aja, bukan pahala yang kamu dapat, tapi dosa!" Melihat bagaimana sang suami dicecar begitu banyak pertanyaan, Viona memilih untuk ikut turun tangan. Memang sudah seharusnya ikut bantu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Umi dan Baba tenang dulu," pinta Viona. "Sebenarnya, ini rencana Viona." "Maksudnya?" tanya Fauziah yang semakin terheran-heran. "Vio yang minta Elfathan untuk menikah lagi supaya bisa segera memiliki keturunan. Umi dan Baba tahu sendiri kalau Vio nggak mampu kasih keluarga Assegaf seorang anak atau cucu." "Ya Allah, Viona ... " Fauziah kali ini ternganga. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran sang menantu. Kalau di mana-mana kaum wanita murka bila tahu pasangan mereka menikah lagi atau memiliki madu, kali ini kasusunya malah Viona sendiri yang meminta Elfathan untuk kembali menikah agar bisa memiliki keturunan. "Nggak harus begini juga caranya, Viona. Umi sama Baba paham kondisi yang kamu alami. Kami berdua bahkan nggak pernah sekali pun menuntut kalian untuk harus memiliki keturunan. Umi pribadi tahu kalau jodoh, anak, dan maut itu adalah sesuatu yang nggak bisa diganggu gugat. Jadi, nggak perlu sampai mengorbankan perasaan sendiri dengan meminta Elfathan untuk menikah lagi." Viona tersenyum saja. Ia sendiri sudah mengantisipasi hal ini. Viona tahu kedua orang tua Elfathan pasti tidak akan langsung setuju dengan rencana yang sudah ia buat. "Umi nggak perlu khawatir. Demi Allah, Viona dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan sedikit pun meminta Elfathan untuk kembali menikah. Ini semua murni keinginan Viona." Fauziah kehabisan kata-kata. Melihat sang menantu begitu mantap dengan pilihannya, ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. "Kamu sendiri sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya Rasyid kepada Elfathan. "Insya Allah, Ba." "Lalu, kamu sendiri sudah punya calon untuk dijadikan istri kedua?" Elfathan mengangguk lemah. "Sudah, Ba." "Baba jangan takut ... " Viona ikut berbicara. Wanita itu sengaja menyela perbincangan antara suami dan mertuanya. "Calon istri kedua Elfathan ini adalah sahabat dekat Vio saat kuliah dulu. Dia juga seorang Syarifah dari kalangan Ba'alawy seperti kita. Karena hal inilah membuat Vio semakin yakin, di kemudian hari dia pasti bisa memberikan banyak keturunan yang sholeh dan sholeha untuk keluarga besar Assegaf." Melihat bagaimana antusias serta raut bahagia yang terpancar di wajah sang menantu kala memberi penjelasan, Rasyid menarik kesimpulan kalau Viona benar-benar ikhlas merelakan sang suami untuk kembali menikah. Kalau Viona yang berstatus sebagai istri tidak sedikit pun keberatan untuk di madu, mana bisa Rasyid memaksakan kehendaknya untuk melarang sang putra kembali menikah. "Lalu, perlukah Baba dan Umi melamar wanita itu untukmu?" tanya Rasyid terang-terangan kepada Elfathan. "Iya, Ba. Mungkin dalam waktu dekat Baba dan Umi bisa mendampingi El untuk melamar perempuan ini." Rasyid diam saja untuk beberapa saat. Kalau putra dan menantunya sudah sangat yakin, tidak ada yang bisa ia lakukan selain memberikan restu. "Baba harap sebelum mengambil keputusan besar ini, kalian berdua sudah memikirnya dengan sangat matang. Kalau menikah lagi memang pilihan terbaik yang membuat kalian berdua bahagia, Baba nggak akan sedikit pun menghalanginya.Tapi, ketika di kemudian hari nanti setelah resmi menikah dan memiliki dua istri, Baba harap kamu bisa adil-seadilnya memperlakukan kedua istrimu. Memperhatikan sekaligus menyayangi mereka sama rata. Tidak ada perbedaan apalagi sampai pilih kasih." Elfathan mengangguk paham. Sementara sang ibu yang duduk di sebelah Viona langsung memberikan pelukan erat kepada sang menantu. Mengakui betapa hebatnya Viona karena mampu berbesar hati membagi cinta suaminya untuk wanita lain. Ia pun berharap rumah tangga putranya tersebut dapat terus langgeng dan harmonis sampai maut yang memisahkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD