“Dewa mengikatkan benang merah untuk menghubungkan jodoh, setiap makhluk terlahir dengan jodoh mereka masing-masing. Bersabarlah menanti jodohmu karena bisa saja ia dari tempat yang sangat jauh.”
Jika kau tidak percaya jodoh, mungkin tulisan ini memang untukmu.
Sejak kecil aku bisa melihat benang merah. Dulu aku kira semua orang bisa melihatnya, tetapi ternyata tidak. Pernah ku coba bercerita tentang hal ini pada ibuku, wanita yang dicampakkan oleh suaminya saat aku lahir itu tentu saja tertawa sarkastis.
Aku bisa melihat benang merah itu di kelingking ibuku, warnanya yang merah pudar aku percaya disebabkan oleh sikap skeptisnya terhadap cinta. Siapa jodoh ibuku? Ayahku. Tetapi pria itu tergoda oleh perempuan lain.
Selama hidupku aku menyaksikan banyak kisah cinta, saat remaja hampir semua temanku jatuh cinta bahkan kepada orang yang bukan jodoh mereka. Sebagai orang yang bisa melihat benang merah, menurutku hal itu adalah pemborosan waktu. Dua orang yang saling mencintai tidak akan bersatu kecuali mereka berjodoh. Kendati demikian, aku belajar dari kasus orang tuaku bahwa berjodoh sekalipun tidak menjamin langgengnya hubungan.
Aku tidak berani membantu temanku bertemu jodohnya. Biarkan takdir mereka yang membuat mereka bertemu. Lagi pula aku tidak bisa menjamin mereka akan jatuh cinta jika aku yang mempertemukan mereka. Saat remaja, aku sangat ingin menggunakan kemampuanku ini untuk mencari jodohku, namun saat itu tidak ada benang merah di kelingkingku.
Sempat terpikir kemungkinan aku tidak bisa melihat benang merahku sendiri. Kemudian aku menemukan beberapa orang yang di kelingkingnya juga tidak tertaut benang merah. Seorang yang ku kenal tidak memiliki benang merah, mendapatkannya beberapa tahun kemudian. Lagipula, aku ingat saat masih berusia kurang dari sepuluh tahun, sepertinya aku memiliki benang merahku.
Ketiadaaan benang merah ini membuatku tidak tertarik dengan siapapun, secantik apapun wanita yang mendekat, ku tolak karena aku tahu mereka bukan jodohku. Untuk apa menghabiskan waktu menyayangi seseorang yang bukan jodohku? Pemborosan waktu dan tenaga.
Saat usiaku 20 tahun, benang merahku muncul. Sekarang sudah lebih dari sepuluh tahun sejak saat itu. Masa remajaku memang membuatku bersemangat mencari jodohku, tetapi saat mencapai usia dewasa aku sibuk bekerja dan menjaga ibuku yang sakit. Lagipula bukankah cepat atau lambat aku akan bertemu dengannya? Begitu pikirku saat itu.
Tiga hari yang lalu (seingatku), ibuku meninggal dunia. Sebatang kara, aku pikir itulah saatnya aku menelusuri benang merahku.
“Dewa mengikatkan benang merah untuk menghubungkan jodoh, setiap makhluk terlahir dengan jodoh mereka masing-masing. Bersabarlah menanti jodohmu karena bisa saja ia dari tempat yang sangat jauh.”
Sejak awal aku siap untuk menempuh jarak yang sangat jauh asalkan bisa bertemu dengan jodohku. Tetapi aku tidak menyangka harus melewati gerbang antar dunia. Aku harus sangat berhati-hati. Waktu berjalan berbeda disini dan segalany
Tusukan berbisa yang mematikan menusuk dadanya, tubuh pria itu memuncratkan darah segar ke segala arah. Siluman kalajengking raksasa itu baru saja hendak menikmati daging korbannya ketika ujung tombak menghujam tubuhnya berkali-kali.
Wanita pemegang tombak berdecak kesal, matanya menatap penuh kebencian pada bangkai kalajengking raksasa yang ia bunuh dengan tombaknya. Ia melangkah mendekati mayat pria yang hendak dimangsa si kalajengking. Pria itu memegang secarik kertas yang berlumuran darah, “Bahasa manusia.”
Ia meremas kertas itu, “Aku terlambat,” tukas wanita itu geram, “Argh! Kali ini aku yang terlambat.” Ia berdecak, meremas kertas itu kesal, “Kini aku yang harus menunggunya terlahir kembali,” langkah kakinya melangkah mulai menjauh dari mayat pria itu bersamaan dengan memudarnya benang merah di kelingking mereka berdua.