Episode 1

1114 Words
Peluh yang mengucur dari dahinya, Gumilar usap dengan handuk kecil dekilnya. Dekil bukan karena kotor, tetapi hanya itulah satu-satunya yang dia miliki untuk mengelap keringatnya yang selalu mengucur deras. Dicuci setelah dipakai, kemudian dijemur, agar besok hari bisa digunakannya lagi Terik matahari semakin menggelapkan warna kulitnya. Entahlah, dia termasuk lelaki tampan atau tidaknya, tidak begitu Gumilar pikirkan. Di usia mudanya ini, memimpikan gadis idaman tidak termasuk dalam prioritas utamanya. Kerja keras, banting tulang dan tidak kenal lelah, demi untuk mewujudkan mimpinya. Cangkul adalah alat kerjanya, untuk mengais rupiah demi rupiah bila sedang libur kuliah dan pulang ke kampungnya. Gumelar kini sudah berhasil masuk IPB (Institut Pertanian Bogor) dengan mendapatkan beasiswa sesuai harapannya. Yang harus dipikirkan olehnya sekarang adalah, bagaimana cara mendapatkan uang untuk membayar kost di mana dia bermalam? Begitu juga untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Karena dari pagi sampai sore waktunya kuliah, setelahnya dia harus melakukan kegiatan untuk mencari uang. Tanpa keluhan Gumilar melakukan kerja apa saja, supaya mendapatkan penghasilan. Meski tidak banyak, tetapi ia kumpulkan sedikit demi sedikit. Siapa tahu, suatu saat bisa terkumpul untuk mulai menjalankan sebuah usaha. Dia berpendapat bahwa dari modal kecil, bila ditekuni dengan baik akan menghasilkan juga. Tidak berharap langsung dapat keuntungan yang besar, ada lebihnya dari modal awalnya saja sudah lumayan. Dan saat ini, untuk menanam padi belum bisa dilakukan karena hujan yang tidak kunjung datang. Sawahnya yang hanya sepetak itu telah kering. Gumelar punya rencana menanamnya dengan tanaman lain. Sudah bertanya pada kakak kelas, yang menimba ilmu lebih banyak darinya. Gumelar akan mencoba mempraktekkan setiap ilmu yang dia serap dengan baik dari mereka. Mencangkul tanah yang mulai kering, bukan hal mudah. Dari pagi Gumelar melakukannya, hingga datang ibunya yang jalannya terpincang karena selalu sakit di kakinya. "Gum, makan dulu." Gumelar menghentikan gerakan tangannya, melihat pada Maesari, Maknya yang berdiri di pematang sawah. "Bentar, Mak. Tanggung dikit lagi." jawabnya, sambil mengusap keringat di sekitar wajah dan lehernya. "Tunda dulu, Gum. Ini sudah siang. Nanti bisa dilanjutkan lagi setelah makan." paksa Maesari. Mengingat Gumelar tadi pagi hanya sarapan rebusan jagung yang sudah kering, yang ditaburi parutan kelapa. Gumelar akhirnya mengalah, merasa kasihan juga kalau Mak harus lama-lama menunggu dalam keadaan panas terik seperti itu. Maknya tidak akan pergi, bila makanan yang diantar belum dimakan olehnya. Setelah mencuci tangan dari teko kecil untuk minumnya, Gumelar mulai membuka rantang berisi makanan sederhana yang telah dimasak ibunya. Terlihat nasi putih dengan sepotong ikan asin juga sambal terasi yang medok, sangat menggugah selera makannya. Gumelar membuka rantang kedua, ada sayur asem kesukaannya. "Terima kasih, Mak. Sudah memasak sayur kesukaan, Gum." ucapnya. Dia menggumamkan doa, bersyukur atas rejeki hari ini yang sudah Tuhan berikan. Meski dengan menu sederhana, Gumelar sangat menikmatinya. Maesari hanya menatap anaknya dengan perasaan sangat menyayangi. Gumelar seorang anak yang tidak pernah rewel soal makanan, tanpa lauk pun tidak pernah bertanya kenapanya. Dia sudah tahu kondisi kemampuan dari orang tuanya. "Sore hari mungkin Bapak akan membantumu menanam bibitnya." kata Maesari. Terus menatap Gumelar yang makan dengan sangat lahap. "Tidak usah, Mak. Biar Bapak istirahat saja. Batuknya Bapak itu kok, gak sembuh-sembuh ya, Mak?" Gumelar terlihat mengkhawatirkannya "Sudah sering berobat ke puskesmas, tetapi gak sembuh-sembuh, Gum. Mak juga bingung. Apalagi kalau malam hari, batuknya itu gak berenti-berenti." "Bapak kan, berobat hanya menggunakan kartu KIS (Kartu Indonesia Sehat), Mak. Sudah untung mendapatkan kartu itu, hingga bisa berobat gratis di puskesmas. Hanya mungkin harus lebih sabar, karena bila tidak menunjukan sakit yang lebih parah, belum bisa dirujuk ke rumah sakit." hiburnya. Karena dia sendiri belum bisa berbuat apa-apa saat ini, untuk menolong Bapak diperiksakan lebih lanjut ke rumah sakit besar. "Gak apa-apa, Gum. Kemarin ada yang kasih ramuan herbal lewat pamanmu. Lumayan khasiatnya, batuk Bapakmu agak mereda di malam harinya. Semoga bisa benar-benar sembuh." harap Maesari. Gumelar sudah menyelesaikan acara makannya, segera menyusun kembali rantang yang sekarang sudah kosong tak bersisa. "Katakan kepada Bapak, jangan dulu turun untuk membantu Gum. Masih ada hari esok, Gum bisa menyelesaikannya sebelum pergi lagi ke Bogor." Dia menyerahkan rantang ke ibunya, sebelum berdiri untuk melanjutkan pekerjaannya. Maesari mengangguk, kemudian beranjak meninggalkan anaknya yang kembali turun ke sawah untuk berjibaku dengan cangkul dan tanah yang bagian dalamnya lengket. Ternyata tanah tidak sepenuhnya kering sekali, membuat Gumelar harus lebih bekerja keras lagi mengerjakan tanah yang menjadi lengket itu. Gumelar masih mengayunkan cangkulnya, kepalanya hanya dilindungi oleh topi lebar berbahan dari daun pandan yang sudah terlepas tepiannya karena terlalu sering dipakai. Dia dikejutkan oleh suara yang memanggilnya dengan kasar. "Gugum!" teriak Amirah. Saat Gumelar mengangkat kepalanya, gadis itu sedang berdiri dengan muka cemberutnya. "Kamu sudah tuli, ya? Aku panggil-panggil dari tadi gak didengerin. Aku sangat kesal tahu …!" Tidak usah diucapkan pun, Gumelar sudah melihat kekesalan itu tampak di bibirnya yang manyun mengerucut. "Aku malas nyamperin kamu, harusnya dengan teriakan saja, kamu udah denger!" omelnya. "Heran, udah jaman secanggih gini aja manggil orang harus pakai kaki." "Pakai mulut bukan pakai kaki, Amirah." Dengan nada sabar, Gumelar meralat ucapan Amirah. Amirah mendelikkan matanya. "HP butut pun kamu gak punya? Biar aku gak harus cari kamu, kalau Bapak butuh tenaga kamu!" Gumelar menarik napas panjangnya. "Orang miskin mana punya HP, bisa makan setiap hari saja sudah bersyukur banget. Lain kali Bapak suruh orang lain saja untuk panggil sayanya. Saya juga gak tega lihat kamu harus panas-panasan gara-gara manggil saya. Nanti kulitnya hitam kayak saya." Apakah Gumelar sedang mencandai Amirah? Tetapi, melihat mimiknya datar-datar saja. Jutru itu seperti sebuah sindiran buat gadis sombong ini. "Ih, amit-amit! Jangan sampai, ya?" pelolot Amirah tambah kesal. "Janganlah, nanti gelar bunga desanya turun tahta jadi bunga hitam." Eh, Gumelar mencandainya lagi? Akan tetapi, wajahnya tetap saja lempeng. Dari dulu, omongan Gumelar itu selalu membuatnya naik darah. Jadi, ia pun selalu bicara kasar pada pemuda itu. Entah kenapa. "Sebentar lagi, saya ke sana." Tanpa banyak kata lagi, Gumelar kembali mencangkul tanah. Amirah yang merasa tidak dipedulikan, jadi semakin emosi. "Harus diusahakan punya HP! Hp kentang juga gak masalah, asal Bapak bisa menghubungi kamu." bentaknya. "Kalau HP kentang bisa dibikin perkedel sama Mak." celetuk Gumelar, masih tetap mencangkul. "Gak lucu!" sungutnya. Gadis itu menghentakan kakinya, membuang wajah, lalu meninggalkan Gumelar. Sebenarnya Gumelar ingin tertawa ngakak, kalau menghadapi gadis konyol semacam Amirah. Kata-kata yang diucapkan tidak ada bagus-bagusnya, hinaan dan cacian selalu diterimanya dengan lapang d**a. Sepertinya, lama kelamaan perasaannya sudah menjadi kebal. Teman-temannya sering membicarakan Amirah. Semuanya selalu memuji gadis itu sebagai gadis tercantik di kampungnya. Tubuhnya yang ramping, dengan tinggi sedang. Tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu pendek. Dadaanya tidak rata, ada sedikit yang menonjol. Apakah itu menarik perhatiannya? Jangan tanya pada Gumelar, karena di otaknya belum ada satu nama wanita pun, yang bertengger jadi penghias mimpinya. Semua cita-cita, masih jauh dari jangkauanya. Harus lebih banyak lagi peluh yang akan diperasnya, sebagai bukti setiap perjuangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD