Bab 11

3674 Words
Pesan itu hanya bertahan beberapa menit sebelum akhirnya si pengirim pesan memutuskan untuk menarik pesan nya kembali. **             Pukul sepuluh siang, gadis berambut sebahu dan bermata cokelat itu kembali terbangun. Ia meraih segelas air putih yang memang sudah tersedia di atas nakas, mungkin Mama nya, Lia, yang meletakkan gelas tersebut saat dirinya sedang tertidur lelap, Ia meneguk habis air putih tersebut. Gadis itu mengucek-ucek mata nya dan sesekali menguap yang menandakan dirinya masih mengantuk. Dengan langkah gontai ia melangkahkan kedua kaki nya menuju arah kamar mandi. Sekitar lima belas menit kemudian, Helena keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Mata nya sudah sepenuhnya terbuka, tidak seperti tadi yang masih setengah tertutup akibat mengantuk. Ia menghembuskan napas sesaat bingung harus melakukan apa. Perutnya belum terasa lapar, tugas kuliahnya juga sudah ia selesaikan kemarin malam. Akhirnya ia memutuskan untuk mengecek ponselnya dan belum ada notifikasi yang masuk. Hanya pesan-pesan tidak penting dari operator atau nomor tidak dikenal yang mengiriminya pesan bahwa nomornya menang undian berhadiah. Dirinya terkekeh geli, tidak percaya masih ada modus penipuan berkedok menang undian seperti itu. Sambil menggenggam ponselnya itu, ia berjalan keluar kamar. Pandangannya menelisik setiap sisi rumahnya. Ia sendirian. Seperti biasa, Lia sudah pergi bekerja. Keduanya memang tidak pernah sempat berkomunikasi lama di pagi hari saat hari-hari kerja dan kuliah karena jika bukan karena kelas pagi di kampus, Helena memang bangun lebih lama. Lia memang sengaja tidak membangunkannya, wanita paruh baya itu hanya membangunkan anak gadis kesayangannya lebih sering di hari Minggu karena mereka berdua harus pergi ke pasar. Kakinya berjalan menuju dapur dan mencari sarapan di meja makan, barangkali Lia sempat memasakkannya nasi goreng dengan ayam suwir kesukaannya. Namun, bukannya mendapatkan sepiring nasi goreng, ia malah menemukan secarik kertas yang bertuliskan: “Helena sayang, sarapannya bikin sendiri ya! Semangat wanita tangguh!” Helena berdecak sebal, bibirnya mengerucut setelah membaca isi kertas tersebut. Siapa lagi kalau bukan Lia yang menulisnya? “Nih ada aje kelakuan emak gue, ya Rabbi.” Keluhnya. Ia memutuskan untuk memesan makanan lewat aplikasi saja. Dirinya masih terlalu malas untuk memasak semenjak tinggal dengan Tantenya, Fio, untuk beberapa hari saat Mamanya harus berangkat ke luar negeri untuk mengurus urusan kerjanya. Dengan cepat ia mencari aplikasi yang biasa ia gunakan untuk memesan ojek online maupun untuk memesan makanan. Ia melihat daftar menu makanan yang sedang tersedia dan tentu saja yang sedang promo. Setelah kurang lebih sepuluh menit melihat-lihat, pilihannya jatuh pada bubur ayam yang berjarak sekitar dua ratus lima puluh meter dari rumahnya. Iya, Helena memang semalas itu. Sambil menunggu pesanan bubur ayamnya tiba, ia memilih untuk membuat s**u cokelat hangat lalu membawanya ke ruang TV. Saat gadis itu asyik menonton tayangan kartun spons berwarna kuning dan sahabat bintang lautnya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah notifikasi dari Dimitris pagi itu tanpa sadar membentuk senyuman tipis di bibirnya. “Pagi cantik.” Kata laki-laki itu. “Jangan lupa sarapan ya!” tambahnya. Senyuman Helena semakin lebar, ada perasaan senang ketika laki-laki itu memerhatikannya. Namun, setiap dia merasa senang membaca pesan dari Dimitris, bayangan Dylan terus-terusan menghantuinya. Ia takut menjadi pengkhianat. Ia juga tidak mau menghianati hubungannya dengan Dylan yang sudah lama terjalin. Helena juga tidak bisa membohongi perasaannya kalau terkadang ia masih mengharapkan Dylan kembali lagi. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa dia tidak memberitahu Dimitris bahwa dia sudah mempunyai pacar? Kenapa, Helena? Sadar! Sudah ada Dylan! Setelah membiarkan pesan Dimitris beberapa menit, kedua jempolnya dengan gesit mengetikkan balasan untuk Dimitris. Ia berusaha untuk tetap membalas pesan laki-laki itu dengan cuek seperti biasanya. Ia tidak mau memberi harapan apapun pada Dimitris karena entah kenapa hati kecilnya merasa bahwa laki-laki itu berniat mendekatinya. Kalau saja ia tidak mempunyai pacar, ia mungkin akan merespon laki-laki itu. Ia menyukai karakter Dimitris yang ramah pada siapa saja, humble, dan humoris. Helena jarang tidak tersenyum saat pesan dari Dimitris masuk ke notifikasi ponselnya. Laki-laki itu tidak pernah kehabisan kata-kata untuk mengganggunya di room chat pribadi mereka. “Lagi sarapan.” Balas Helena yang sudah mendapatkan balasan dari Dimitris kurang dari satu menit. Laki-laki itu seperti selalu memegang ponselnya dua puluh empat jam. Pesan-pesan dari Helena tidak pernah dibalas dengan lama oleh laki-laki itu. Atau dirinya sudah termasuk prioritas laki-laki itu? Mikir apa lo Helena! Sadar! “Sarapan apa cantik?” tanya Dimitris. Baru saja Helena hendak membalas pesan laki-laki itu saat layarnya tiba-tiba berganti dengan nomor tak dikenal yang melakukan panggilan masuk ke ponselnya. Helena ragu-ragu mengangkatnya namun ia langsung menghela napas lega saat tahu bahwa nomor tersebut merupakan nomor ojek online yang mengantarkan makanannya. “Iya, Pak. Bentar ya saya keluar.” Dengan langkah terburu-buru, Helena berjalan ke arah pintu depan dan benar saja, seorang laki-laki yang sudah lumayan berumur sedang berdiri di samping motornya lengkap dengan helm dan jaket hijau ojeknya. Di tangan kanannya, Bapak ojek itu menenteng sekantong plastik bubur ayam sementara ia menggenggam ponselnya di tangan satunya. Helena balas tersenyum ramah saat Bapak itu mengangguk sambil ikut tersenyum lebar padanya. “Bubur ayamnya satu sesuai aplikasi kan, Mbak?” tanyanya ramah. “Iya, Pak. Makasih banyak, ya. Paymentnya via Gopay ya, Pak.” Sahut Helena tak kalah ramah. Bapak itu mengangguk sambil berpamitan dengan sopan. Helena balas mengangguk dan masuk ke dalam rumahnya setelah Bapak ojek online itu sudah berlalu dengan sepeda motornya. Saat di ruang TV, baru saja ia hendak menyendokkan suapan pertamanya namun perhatiannya teralihkan oleh ponselnya yang terus bergetar. Gadis itu tersenyum saat mendapati laki-laki yang belakangan ini selalu mengganggunya, terus-terusan mengiriminya pesan beruntun. Sebuah ide jahil tiba-tiba muncul di kepalanya, ia dengan cepat menghapus foto profilnya dan menambahkan kata off di belakang namanya. Off dalam dunia roleplay berarti tidak akan aktif dalam kurun waktu tertentu. Ia ingin melihat reaksi dari laki-laki itu. “Na, lo berharap dicari pas lo ilang?” batinnya mulai membeo. “Emang lo siapanya dia? inget Dylan, Na!” batinnya lagi. Gadis itu menghela napas frustasi. Setiap dia ingin merespon Dimitris dengan baik, rasa bersalahnya terhadap Dylan juga akan muncul. Apakah terus berbalas pesan dengan laki-laki lain sementara sang kekasih sedang tidak ada itu salah? Apa secara tidak langsung ia melakukan perselingkuhan dengan laki-laki lain? Apa ia sudah mengkhianati hubungannya dengan Dylan? “Gak apa-apa, Na. Dylan juga bisa aja punya pacar di akun lain.” Sisi lain dalam dirinya ikut bersuara. Cukup lama ia perang batin dan akhirnya ia memutuskan untuk tetap membiarkan akunnya seperti itu. Tidak ada foto sama sekali. Gadis dengan hidung lumayan mancung itu mengedikkan bahunya dan memilih untuk menyantap sarapannya terlebih dahulu. Dengan santai ia memindah-mindahkan saluran TV sambil terus menyendokkan bubur ke dalam mulutnya. Tanpa ia tahu, seseorang di luar sana sedang merasa khawatir dengannya. ** Dimas baru saja bangun saat jam menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh menit. Laki-laki itu menguap sambil mengacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan. Matanya menyipit saat cahaya matahari masuk melalui celah-celah jendelanya. Sudah pasti Bundanya yang pagi-pagi sudah membuka tirai jendela kamarnya itu. Laki-laki itu mencabut charger yang sudah terpasang sejak semalam di ponselnya. Dengan langkah tidak semangat, ia melangkahkan kakinya keluar kamar. Diruang TV, terlihat Ayahnya sedang membaca koran harian sementara Bundanya sedang menyeruput secangkir teh hangat di samping Ayahnya. “Eh, baginda raja udah bangun!” seru Bundanya saat melihat anak laki-laki sulungnya itu berjalan menghampiri dirinya dan sang Suami. Dimas tertawa sambil melambaikan tangan layaknya sang Raja pada seluruh rakyatnya. Bundanya ikut tertawa sambil kembali menyeruput teh hangatnya kembali. Sementara Ayahnya hanya tersenyum kalem melihat interaksi Ibu dan anak itu. “Mana sarapan buat baginda raja?” tanya Dimas dengan nada sombong dibuat-buat. “Maaf ya, hari ini pelayan istana libur masak dulu.” Seru Bundanya terkekeh geli. “Yah, Bunda. Masa Abang gak sarapan?” keluh Dimas manja. Ia memasang tampang pura-pura sedihnya, bermaksud agar Bundanya itu luluh melihatnya dan membuatkannya sarapan tapi hanya lemparan bantal sofa lah yang ia dapat. Laki-laki itu mengaduh kesakitan sambil menahan u*****n yang hampir saja ia keluarkan. “Mukanya biasa aja!” kata Ayahnya kalem dengan raut wajah datar. Pria paruh baya itu melanjutkan kegiatannya membaca koran. Dimas mengerucutkan bibirnya dan mengelus kepalanya yang terkena lemparan bantal tadi. Dirinya masih berusaha meminta sarapan kepada Bundanya itu. “Bundaharaku! Oh, Bunda! Sudikah engkau memasakkan sarapan untuk anakmu yang tampan ini?” tanyanya puitis. Lagi-lagi dia mengaduh kesakitan saat Ayahnya melemparnya dengan koran. “Ah, Ayah main timpuk! Tangan kosong kalau berani!” ujarnya dengan nada sok menantang. Baru saja Ayahnya itu mengambil ancang-ancang untuk memukul pantatnya dengan remote TV, Dimas sudah berlari memeluk Bundanya meminta perlindungan. Wanita itu sudah sejak tadi tertawa melihat tingkah laku anak dan Suaminya itu. “Belajar darimana kamu ngomong gitu sama orang tua?” tanya Ayahnya dengan nada datar. Dimas menunjukkan cengirannya sambil mengangkat tangan kanannya membentuk tanda peace. “Peace, bro! damai oke?” “b*a-bro, b*a-bro!” “Ayah!” tegur Bundanya terkekeh geli. “Abang mau Bunda masakin apa? nasi goreng mau?” tawar Bundanya. “YES!” serunya berteriak membuat kedua orang tuanya tersentak kaget. Hampir saja kepalanya benjol terkena lemparan remote, kalau saja dirinya tidak kabur ke arah dapur yang akhirnya disusul oleh Bundanya itu. “Abang, dih! Kalau Ayah sama Bunda tadi jantungan gimana?” omel Bundanya. Dimas tertawa sambil memeluk Bundanya tersebut dari belakang. “Maafin Abang ya, Bun.” “Dih, peluk-peluk!” omel Bundanya lagi. “Dih, Bunda gak tau ya seberapa banyak cewek-cewek yang mau Abang giniin?” “Abang jangan aneh-aneh ya, Bang!” ujar Bundanya itu memperingati. Dimas kembali tertawa sambil mengangguk mengiyakan. Kalau ditanya siapa perempuan yang membuat Dimas menjadi sangat bucin, jawabannya adalah Bundanya sendiri. Bundanya merupakan tipikal orang yang jarang marah dan membentak orang, termasuk dirinya maupun adik perempuannya, itulah sebabnya Dimas teramat menyayangi Bundanya itu. Tahun ini dirinya sudah lulus SMA dan sedang berkuliah di salah satu perguruan tinggi favorit di Jogja, sementara adik perempuannya baru saja duduk di bangku kelas dua SMA. Bundanya sendiri yang bernama Anggun merupakan pebisnis di bidang kuliner yang terbilang cukup sukses di kota tempat mereka tinggal. Ayah Dimas pun yang dikenal sebagai Bapak Wijaya Bagaskoro juga seorang pebisnis sukses di bidang properti dan percetakan. Itu sebabnya setiap pagi, rumah mereka selalu diantarkan koran pagi secara cuma-cuma. Selagi menunggu Bundanya memasakkannya sarapan nasi goreng dengan telor ceplok kesukaannya, Dimas beralih ke arah mesin pembuat kopi yang terletak tak jauh dari kompor listrik yang kini digunakan Bundanya memasak. Laki-laki itu menghirup aroma nasi goreng yang begitu sopan memasuki indera penciumannya. Ia tersenyum lebar sambil menatap Bundanya itu dengan tatapan kagum, “Bunda emang jagonya masak! Ikut Masterchef pasti menang, tapi di awal doang.”sahut laki-laki itu sambil mengacungkan kedua jempolnya. Cengirannya tidak pernah hilang dari wajah tampannya itu. Anggun tertawa mendengar penuturan Dimas sambil mematikan kompor dan memindahkan nasi goreng tersebut ke dalam piring, “Kalau ada maunya aja, Abang muji Bunda kayak gitu. Nih, nasi gorengnya.” Dimas meraih piring tersebut dengan tatapan bahagia. Ia berjalan menuju meja makan tak lupa juga membawa segelas kopi yang sudah dirinya buat tadi. “Terima kasih, Bundaku. Jasamu akan selalu kuingat.” Ucap laki-laki itu yang kini sudah asyik menyantap sarapan pagi menuju siangnya itu. Anggun hanya tersenyum sambil merapihkan dapur lalu berlalu pergi menuju ruang TV tempat ia bersantai tadi. Di tengah-tengah makannya, Dimas memutuskan untuk mengirimi gadis itu pesan. Ia senyum-senyum sendiri membayangkan percakapan mereka semalam. Keinginan dan tekadnya semakin kuat untuk mendekati gadis itu. “Pagi cantik.” Laki-laki itu terkekeh saat melihat kembali isi pesannya yang barusan ia kirim ke Anna. Dirinya melanjutkan sarapannya dengan santai sambil sesekali mengecek akun sosial medianya yang lain. Dengan sabar, ia menunggu balasan dari gadis itu yang mungkin akan dibalas dalam kurun waktu yang lama seperti biasanya. Saat asyik menonton tayangan Youtube, sebuah pesan tiba-tiba muncul dari notifikasi bar ponselnya. Ia tersenyum lebar saat gadis itu sudah membalas pesannya sedikit lebih cepat. Suasana hatinya sangat membaik walaupun gadis itu hanya membalas dengan dua kata. “Lagi sarapan.” Begitulah bunyi pesan yang dikirim oleh gadis itu. Sejujurnya, Dimas merasa gemas setiap kali Anna membalas pesannya yang mana menurutnya seperti sikap cuek yang dipaksakan. Entahlah, hati kecilnya yakin Anna bukanlah tipikal orang yang cuek pada orang lain seperti yang gadis itu lakukan padanya sekarang. Tak butuh waktu lama, Dimas mengetikkan balasan untuk gadis itu. Ia melanjutkan sarapannya yang sudah tinggal sedikit sambil sesekali menyeruput gelas kopinya. Sudah beberapa menit berlalu namun gadis itu belum juga membalas pesannya. Ia memutuskan untuk mengecek room chat pribadi mereka berdua dan mendapati tanda bahwa pesannya sudah dibaca. Laki-laki itu mengira Anna sedang mengetikkan balasan untuknya, cepat-cepat ia menutup room chat mereka sebelum dirinya ketahuan sedang menunggu balasan dari gadis itu. Usai membersihkan piring dan gelas bekas sarapannya, Dimas berjalan keluar dapur. Ayah dan Bundanya kini tampak bercengkrama di ruang TV, berbicara soal bisnis. Mereka berdua bukannya tidak sibuk bekerja, hanya saja mereka lebih suka mengerjakan pekerjaan mereka dari rumah. Sementara di kantor, sudah ada asisten mereka yang mengurus dan mengawasi semua kegiatan selama jam kerja berlangsung. Anggun dan Wijaya sesekali pergi ke kantor hanya untuk mengontrol kinerja karyawan dan karyawati perusahaan mereka. “Abang gak kuliah hari ini?” tanya Bundanya melihat putra sulungnya itu berjalan menuju kamarnya. Dimas menoleh dan menunjukkan cengirannya yang daritadi tidak pernah meninggalkan wajahnya. “Nanti Abang ada kelas sore, Bun.” Jawab Dimas yang hanya diangguki oleh Bundanya itu. “Kelas sore apa nongkrong?” kini Wijaya yang bertanya dengan nada datar khasnya. Ayahnya itu memang manusia paling datar yang pernah Dimas tahu. Sudah tujuh belas tahun ia hidup bersama kedua orang tuanya itu, Dimas jarang melihat Ayahnya tersenyum. Kalau pun tersenyum, hanya senyuman tipis lah yang pria itu tunjukkan. “Ya Allah, Yah. Beneran kuliah kok, Abang! Suer!” jawab Dimas sambil mengangkat tangan kanannya membentuk huruf V. Wijaya hanya menatapnya sekilas tanpa berniat menggubris perkataan anaknya itu. Laki-laki itu masuk ke kamarnya dan memilih bersandar di jendela, menikmati cahaya matahari menimpa wajah dan tubuhnya. Ia melihat ke arah ponselnya, seketika dahinya mengernyit bingung. “Kok belum dibales? Bukannya tadi udah baca chat gue?” batin Dimas bertanya-tanya. Laki-laki itu memutuskan untuk mengirimi gadis itu beberapa pesan lagi. Ia mengira Anna hanya lupa membalas pesannya tadi. Kalian pasti pernah kan sudah membaca pesan dari orang dan lupa membalasnya? Hal itu lah yang kini menjadi dugaan Dimas. Positive thinking banget kan? “Naaaaaa.” “Na, kok di read aja?” “Rugi tau gak bales chat gue.” “Cewek lain pada pengen gue chat. Lo gue kirimin duluan hayo.” “Na, dih.” “Anna cantik.” “Anna imut.” Dimas yakin sebentar lagi pesannya akan dibalas. Sambil menunggu balasan dari gadis itu, ia mengambil bola futsalnya yang selalu ia letakkan di sudut kamarnya. Hatinya menunggu dengan gelisah. Apa kali ini chatnya akan hanya di baca saja oleh Anna? Tapi kenapa? Dengan perasaan tidak sabar, ia mengecek kembali ponselnya. Seketika dirinya menjadi tidak semangat, kondisi hatinya juga sedikit memburuk secara tiba-tiba. Ia bermaksud untuk mengecek apakah semua pesannya tadi sudah dibalas atau belum, tapi yang ia dapati malah akun RP gadis itu berubah. Tidak ada foto profil gadis Turki yang biasa gadis itu gunakan, namanya pun diubah menjadi Anna off. Apa gadis itu tidak aktif? Apa dia sedang memiliki masalah di kehidupan dunia nyatanya? Ada perasaan kecewa dan khawatir yang mendominasi perasaan laki-laki berkumis tipis itu. Tanpa perlu berpikir panjang, ia mengirimi kembali gadis itu beberapa pesan. Ia tidak peduli jika dirinya terkesan terlalu mengejar-ngejar gadis tersebut, ia hanya ingin tahu alasan dibalik berubahnya profil Anna yang secara tiba-tiba itu. “Anna, lo kenapa?” “Lo ada masalah?” “Na, lo bisa cerita kok sama gue. Lo mau ceritain tentang masalah RL lo juga gapapa, gue dengerin.” “Na, on dong. Masa off gini? Nanti temen gue siapa dong?” “Na, lo baca kan chat gue?” “Bales dong, Na.” “Na.” “Cantik.” “Annaaaaa.” Dan masih banyak pesan serupa yang laki-laki itu kirimkan. Ia menghela napas kasar sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan sedari tadi. Ia sedikit merasa kesal karena gadis itu tidak memberi tahu hal apa yang membuat gadis itu bertingkah seperti itu. Jangankan memberi tahunya, pesannya yang tadi saja belum dibalas sama sekali, dibaca juga tidak. Dimas melempar dengan kasar bolanya itu ke dinding. Ia berdecak kesal sambil berjalan ke arah kasurnya dan merebahkan dirinya disana. Kedua tangannya ia tumpu sebagai bantalan kepala sambil menatap lurus ke langit-langit dinding kamarnya. “Na, tolong kabarin gue. Gue khawatir sama lo. Gue harap lo disana gapapa.” Gumam laki-laki itu pelan. **             Setelah membersihkan sisa sarapannya, Helena berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit. Ia meletakkan ponselnya di nakas tanpa mengindahkan notifikasi dari Dimitris yang masuk berkali-kali. Gadis itu tersenyum geli melihat laki-laki itu yang mengira bahwa ia sedang mempunyai masalah sehingga mengharuskan dirinya off untuk sementara waktu. Helena memang mempunyai masalah, tentu saja, namun tidak aktif di akun RPnya bukanlah solusi yang ia pilih. Justru, akun RPnya itu lah yang menghiburnya disaat ia sedang lelah dengan kehidupan aslinya. Gadis itu kini berjalan ke arah kamar mandi sambil membawa handuk. Setelah kurang lebih tiga puluh menit, gadis itu keluar dengan balutan handuk yang melilit tubuh mungilnya. Ia berjalan ke arah lemari dan mengambil beberapa pakaian untuk pergi ke kampus nanti. Pilihannya kali ini jatuh pada sweater oversize berwarna merah muda yang dipasangkan dengan boyfriend jeans berwarna dark blue. Setelah bersiap-siap selama kurang lebih setengah jam, Helena meraih totebagnya. Ia memeriksa perlengkapan kuliahnya dan tak lupa memasukkan ponselnya itu ke dalam totebag sebelum berjalan keluar kamar. ** “Helena!” panggil seorang gadis dengan kemeja berwarna hitam dan celana kulot berwarna dusty pink yang kini berlari kecil ke arahnya. Helena menoleh dan tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya saat melihat Anggi lah yang memanggil dirinya tadi. “Widih! Bisa bareng gini ye.” Ujar Helena terkekeh. Keduanya kini berjalan bersisian menuju kelas mereka siang ini. Anggi juga ikut terkekeh mendengar penuturan dari Helena. “Iya, gue tadi abis MKU.” Sahut Anggi lagi. MKU sendiri merupakan kepanjangan dari Mata Kuliah Umum yang biasa diisi oleh lima puluh mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan. Gedungnya pun dibedakan dengan gedung fakultas mereka masing-masing. Mata kuliah ini sendiri terbagi menjadi beberapa seperti kewirausahaan, kewarganegaraan, Pancasila, bahasa Inggris dasar, dan atau bahasa Indonesia dasar. “Oh gitu. Lo tugas Buk Rini udah belom?” tanya Helena. Kini mereka sudah masuk ke koridor jurusan mereka. Anggi mengangguk sambil mengacungkan jempolnya, “Udah dong! Gila gue sampe begadang ngerjain resumenya!” seru Anggi setengah mengeluh. Helena terkekeh sambil mengangguk-angguk setuju. Dirinya pun juga tidur larut malam karena mengerjakan tugas dari dosennya yang sangat banyak itu. Mereka berbelok menuju kelas mereka yang sekarang sudah dipenuhi oleh teman-teman yang lain. Seperti biasa, mereka memilih duduk di pojokan selagi menunggu dosen mereka masuk. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Anggi yang mendengarkan musik dan Helena yang asyik melihat-lihat isi Instagramnya. “Na, lo kemarin ditelfon beneran ngomong gitu?” tanya Anggi tiba-tiba membuat Helena sedikit terhenyak. Gadis itu mengangguk sambil memasang tampang bingung. “Kenapa emang?” tanya Helena balik. Anggi menghela napasnya sambil mencabut earphone dari kedua telinganya. “Dia denger lo ngomong gitu.” Jawab Anggi singkat, jelas, dan padat. “Serius? Lo lagi sama dia?” tanya Helena sedikit kaget. Anggi mengangguk mengiyakan sambil memasang tampang sok seriusnya, “Gue loudspeaker.” Ucapnya yang membuat Helena mendengus kesal. Bisa-bisanya, sahabatnya satu ini melakukan hal seperti itu? Hah! “Goblok.” Hanya itu komentar yang dilontarkan oleh Helena. Anggi yang mendengarnya mengerucutkan bibir kesal sambil menggaruk-garuk tengkuknya. Ia sedikit merasa bersalah karena secara tidak langsung dirinya membuat kesalah pahaman di antara Helena dan Dania jadi semakin memburuk. “Ya, maaf. Gue gak expect lo bakalan ngomong gitu, sumpah. Gue kira lo bakal iyain omongan gue.” Jelas Anggi mencoba memberi alasan kenapa dirinya melakukan hal tersebut. Helena terkekeh sambil menepuk-nepuk bahu Anggi, “Yaelah, Nggi. Gapapa, kok. Mau dia makin marah ya terserah dia aja. Gue capek jadi pihak yang selalu ngalah.” Curhatnya. Sejujurnya ia juga merasa sedih tentang hubungan persahabatannya dengan Dania. Ingin sekali ia meminta maaf agar masalah ini cepat selesai, tapi mengingat perkataan Dania di kantin kemarin membuatnya hatinya kembali kesal. “Lo kan tau sikap dia gimana. Harusnya lo bisa lebih sabar, Na.” jawab Anggi yang kini memandang Helena, menunggu respon dari sahabatnya itu. “Mau sabar gimana lagi? Harusnya dia dengerin penjelasan gue dulu baru ngejudge gue suka lancang sama privasi orang. Sumpah, Nggi, gue gak ada niat baca-baca notifikasi hp dia. Gue refleks aja kemarin, karena ponsel dia tiba-tiba nyala sendiri.” Helena mencoba menjelaskan duduk perkaranya kepada Anggi yang mungkin memang sama sekali tidak tahu-menahu soal masalahnya. Anggi mengangguk-anggukkan kepalanya, gadis itu tahu sahabat di hadapannya itu tidak mungkin mengatakan kebohongan. Helena bukanlah tipikal orang seperti itu. Baru saja Anggi ingin membalas ucapan Helena, dosen mereka tiba-tiba sudah masuk dan meletakkan tas branded keluaran terbarunya di atas meja. Dosen kali ini memang terkenal suka memamerkan barang-barang mahal. “Oke, keluarkan buku kalian dan baca halaman seratus lima puluh dua sekarang!” perintahnya dengan cepat. Seluruh mahasiswa di kelas tersebut termasuk Anggi dan Helena mengikuti apa yang diinstruksikan kepada mereka. Setelahnya, masing-masing sudah sibuk dengan buku kuliah mereka. Tidak ada yang mengobrol sama sekali karena setiap dari mereka pun tahu, dosen mereka di depan ini suka memberi nilai C saat akhir semester, ketika para mahasiswanya mengobrol saat kelas yang beliau ajar sedang berlangsung. ** Beberapa menit yang lalu kelas horror tersebut sudah selesai. Baik Anggi maupun Helena merenggangkan otot mereka sebelum berjalan keluar kelas. Anggi menghela napas lega begitupun Helena saat mereka berjalan ke arah parkiran. “Gila! Vibes doi serem banget.” ujar Anggi menenteng totebagnya. Helena tertawa sambil mengangguk setuju. “Itu kalo di rumah, anak-anaknya gimana ya?” tanya Helena tiba-tiba. Anggi terkekeh mendengar penuturan sahabatnya itu. Baru saja dirinya ingin membalas ucapan Helena, seorang laki-laki dengan kemeja flannel hitam kotak-kotak dengan jam tangan merek Daniel Wellington di tangan kanannya menghadang jalan mereka. Keduanya berhenti tertawa dan menoleh ke arah depan mereka. Helena maupun Anggi, keduanya sama-sama kaget saat mendapati adik tingkat mereka, Rio, sedang berdiri sambil memandang Helena. “Kak, udah kelar kelasnya?” tanya Rio basa-basi. Helena memandang Anggi sekilas yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Anggi. “Iya, udah. Kenapa ya?” tanya Helena balik. “Pulang bareng, yuk?” tawar laki-laki itu secara tiba-tiba. “Maaf, aku bawa motor.” Kata Helena menolak dengan halus. “Yah, yaudah deh. Hati-hati, ya Kak.” ujar laki-laki itu tersenyum sambil berlalu dari hadapan mereka berdua. “Ih, sumpah! Aneh banget tiba-tiba ngajak pulang bareng?” tanya Helena tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya barusan. Anggi tertawa menyetujui perkataan gadis itu, “Tuhkan! Dari makrab lo ketemu jodoh!” “Sembarangan banget tuh congor!” seru Helena sedikit kesal. Keduanya berpisah di tengah-tengah parkiran karena Anggi berbelok menuju parkiran mobil. ** Setelah kurang lebih lima belas menit, gadis dengan sweater merah muda itu sudah sampai di rumahnya. Baru saja ia hendak masuk ke dalam rumah kalau saja tidak ada klakson motor yang tiba-tiba berbunyi di depan pagar rumahnya. Rio. Itu, Rio. Dengan motor ninja hitamnya dan helm fullface yang melindungi kepalanya. “Rio?” Laki-laki itu melepas helm nya dan merapihkan rambutnya yang berantakan sambil tersenyum tipis, “Saya sekarang udah tahu rumah Kak Helena dimana, nanti malem saya kesini lagi ya? Selamat sore, Kak.”              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD