3. Mencoba memecahkan teka-teki

1613 Words
"Sepertinya kita memang harus membuka pintu ini." ujar Revin, membuat para lelaki semuanya mengangguk setuju, namun Felli masih saja menggeleng dipelukan Alvin. Jujur saja, Felli cukup trauma dengan kejadian yang sudah-sudah yang hampir menewaskan mereka semua. "Vin, ayolah jangan aneh-aneh! Kita niatnya kan mau liburan, enggak ngurusin hal yang kayak gini." Felli menjawab dengan wajah melas, membuat Alvin menghela nafasnya pelan, lalu mengelus rambut Felli dengan lembut, seolah-olah meyakinkan kalau tidak akan terjadi sesuatu hal yang tidak di inginkan. Sampai manapun masalah ini tak akan pernah selesai jika tak di cari penyebabnya yang ada mereka semua akan terus di ganggu. "Kalau kita gak buka pintu ini, kita mana tau yang ada di dalam itu apa, Sayang." Felli mengerucutkan bibirnya dengan jawaban Alvin. Benar tetapi ada salahnya juga. Tak ada yang harus Felli lakukan selain mengalah. Kalau sudah begini dia tidak akan menang, sembilan lawan satu sungguh bukan hal yang adil bukan? "Aku gak akan mati yang kedua kalinya kan Vin? Aku takut kalau kali ini enggak hidup lagi." lirih Felli, membuat mereka semua menatap Felli yang tengah menunduk lesu dengan tatapan yang sama. Mereka sangat tahu bagaimana perasaan Felli, tetapi kali ini mereka yakin tak akan sampai menewaskannya. Reyna menghela nafas pelan, lalu tersenyum. Wajar saja jika Felli khawatir dan juga berbicara seperti itu. Ia yakin, ada segelintir trauma dalam pikirannya tentang kejadian itu. Kejadian yang hampir menewaskan Alvin dan dirinya sendiri pasti sangat sulit Felli terima waktu itu. Di tambah dengan kejadian hilangnya Siska, semakin membuat rasa takut menggilai pikiran Felli. "Husss, sembarangan aja lo mah Fel. Kita kesini bersepuluh, dan harus pulang sepuluh orang lagi." Siska menepis pikiran Felli. "Yaudah buka aja, hmm" pasrah Felli. Membuat mereka semua tersenyum, begitupun juga dengan Alvin. Reynand mulai menyuruh mereka untuk mundur sedikit, dia segera mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu. Satu kali dobrakan pintu tidak terbuka, dan Reynand mencoba kembali mendobrak pintu itu tetapi hasilnya nihil, pintu tidak dapat terbuka. Padahal dobrakan Reynand sudah sangat keras kalau memakai logika satu kali dobrakan saja sudah rusak pintu itu. "Coba gue aja." ujar Revin, dia mencoba untuk mendobrak pintu namun sama saja pintu masih tidak dapat terbuka. "Berdua, siapa tahu pintunya emang kuat" usul Reyna, membuat Revin dan Reynand mengangguk. "Jangan lupa baca bismillah dan doa" sambungnya kembali yang lagi-lagi hanya di angguki oleh mereka berdua. Mereka berdua mulai mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu. "Bismillahirrahmanirrahim." Akhirnya mereka dapat tersenyum, karena pintu dapat terbuka juga. Reynand segera melihat kearah ruangan dalam yang berdebu dan juga sedikit berantakan karena buku yang berserakan. "Aku, Reynand sama kakak masuk. Sisanya di luar aja ya jaga-jaga." ujar Reyna memberi peringatan, membuat mereka semua mengangguk setuju. Reynand, Reyna dan juga Revin mulai melangkah dengan perlahan untuk masuk kedalam. Tiba-tiba saja pintu tertutup dengan sendirinya, membuat Reynand dan Revin segera memegangi tangan Reyna di kiri dan kanannya. "Jangan lupa baca doa," ujar Reyna yang di angguki oleh mereka berdua. Mereka bertiga mulai tenang saat dirasa didalam kamar tidak ada hal aneh dan mencurigakan sama sekali. Bahkan ruangan ini nampak kosong. Langkah Reyna berhenti, setelah berada didepan sebuah rak buku yang cukup besar, dia meminta agar Revin dan juga Reynand melepaskan genggaman pada tangannya. Awalnya Reynand dan Revin berdua menolak namun setelah diyakinkan oleh Reyna beberapa kali, genggaman mereka pun terlepas. "Fokus dan pejamkan mata lalu kosongkan pikiran kalian berdua." ujar Reyna, yang di angguki oleh Reynand dan juga Revin tanpa banyak bertanya apa yang akan Reyna lakukan. "Huft, buka mata kalian." ujar Reyna kembali, setelah mengembuskan nafas nya. Kali ini membuat Reynand mengerutkan keningnya bingung, sekarang ini mereka sedang berada di hutan belantara hanya dengan hitungan detik saja. Bagaimana bisa? Namun, tidak dengan Revin. Dia sudah pernah di bawa seperti ini. "Dek, cepet bukannya kalau kita terlepas dari raga cuman ada waktu beberapa menit aja." ujar Revin yang di angguki oleh Reyna. "Rey, maksudnya ini apa?" "Terserah kalau kamu percaya atau tidak, ini tuh bukan alam kita. Dan kita bertiga sudah masuk ke alam mereka. Ayo kita cari sesuatu untuk mencari titik terang permasalahannya." jawab Reyna, membuat Reynand mengangguk, dalam hatinya dia yakin jika hal ini adalah nyata. Mereka pun menelusuri jalan hutan belantara tersebut dengan harap-harap cemas. Setelah beberapa saat, mereka tak sengaja menemukan benang berwarna merah. "Kalian melihat benang berwarna merah itu kan?" tanya Reyna. "Iya," jawab Reynand. "Kita ikutin aja yuk, siapa tahu ada bukti." jawab Reyna dengan yakin membuat mereka mengangguk. Reyna akan berjalan kembali namun tangannya seperti ada yang mencekal. "Aku bilang, jangan ada yang pegang tanganku." ujar Reyna, membuat Revin dan Reynand segera menunjukkan kedua tangannya ke arah depan, tepat membuat Reyna terkejut. Reyna membulatkan matanya, jika kedua tangan Revin dan Reynand ada didepan maka yang mencekal lengannya ... Reyna segera membalikkan tubuhnya, begitu juga dengan Revin dan Reynand dia semakin membulatkan matanya kala yang mencekal lengannya adalah . "Kakak." pekik Reyna. "Ngapain kakak ada disini?" tanya Revin, karena Revano lah yang berada disana. "Iya bang, ini kan beda alam, kata Reyna" Revin tersenyum, "Ya mau ikut lah. Ngawal kalian gue. Ayo cepetan dek, jangan banyak tanya." ujar Revan, membuat mereka bertiga mengangguk lalu kembali berjalan menelusuri hutan belantara. "Lain kali, kalau mau pisah raga kayak gini, bilang sama kakak. Gimana kalau kalian terlalu lama disini? Bisa celaka kalian. Untung saja eyang bilang." ujar Revin. "Eyang siapa?" tanya Reyna. "Eyang kita, dari jawa timur. Eyang Prabu." jawab Revin. Membuat Reyna dan Revin mengangguk. Eyang Prabu adalah eyang mereka yang berasal dari Jawa timur. Kakek dari ibunya yang sudah meninggal. Meskipun begitu, tetapi eyang Prabu masih menjaga keturunannya. Reyna tidak tahu menahu tentang semua itu, yang ia tahu jika seseorang yang telah meninggal maka roh nya akan kembali ke Allah. Eyang Prabu juga bisa berubah wujud menjadi harimau putih jika ingin menampakkan wujudnya pada Reyna ataupun Revan. Tetapi, Revin tidak pernah melihatnya sekalipun juga. Pedang kembar yang pernah mereka gunakan untuk melawan siluman tempo hari pun adalah pemberian dari eyang Prabu. Dalam perjalanannya Reyna menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. "Kenapa dek?" tanya Revin. "I-itu ta-tadi aku lihat hantu kepala buntung di depan." jawab Reyna sembari ketakutan. "Hantu kepala buntung?" tanya Revan. "I-iyaa .. Hantu yang aku dan teman-temanku lihat kak" jawab Reyna. "Ya udah, sekarang kamu tenang ya dek, kakak mau lihat ke depan dulu" jawab Revin sambil menenangkan Reyna. "Reynand, lo jagain adek gue ya. Gue sama Revin kesana dulu." ujar Revan membuat Reynand segera mengangguk. Revan dan Revin segera melangkah bersampingan dan segera berjalan ketempat yang Reyna tunjuk tadi. "Kamu gak papa sayang?" tanya Reynand, dia mengusap pelan pipi Reyna. "Gak papa Rey," jawab Reyna lesu. "Hmm kok lesu sih?" tanya Reynand dengan lembut. "Iya karena liburannya harus berakhir kayak gini. Kayaknya aku gak bisa liburan dengan tenang deh." "Hust, gapapa masih ada lain waktu untuk kita semua berlibur lagi. Dan juga kedepannya masih ada list buat kita honeymoon kan?" ujar dan tanya Reyna sambil menaik turunkan sebelah alisnya. Reyna segera membulatkan matanya ketika ia mendengar kata terakhir yang terlontar dari bibir Reynand. "Nikah aja belum pak. Udah bilang honeymoon aja." jawab Reyna sembari memutar bola matanya malas. Sebenarnya Reyna salah tingkah dengan kata-kata yang terlontar dari bibir Reynand. "Apa nih hayo, udah bicara nikah-nikah." ujar Revin yang ternyata sudah berada didepan mereka berdua. "Ehmmm enggak kok." jawab Reyna gelagapan, sementara Reynand hanya terkekeh pelan dan mengedikkan bahunya. "Nih dek, bukunya bawa, sekarang kalian cepat pulang. Kakak juga mau pulang." ujar Revan, sembari memberikan buku tebal berwarna cokelat pada Reyna. Reyna menerima buku itu dengan segera, "Buku apa kak?" "Lihat nanti aja, semua keterangan ada disana. Kalau ada apa-apa jangan lupa telepon kakak. Lain kali kalau liburan ajak kakak ya. Kakak juga mau ikut, hehe." balas Revan, membuat mereka bertiga ikut terkekeh juga. "Sekarang pegang tanganku, fokus dan kosongkan pikiran kalian." jawab Reyna kembali, membuat Reynand dan Revin mengangguk. Reyna terlebih dulu membuka matanya, ditangannya ada sebuah buku tebal yang sama dengan yang kakaknya berikan. Untung ada Revan yang membantunya menemukan buku ini. "Heh, buka mata kalian." ujar Reyna. Reynand dan juga Revin segera membuka matanya. "Udah kembali lagi?" tanya Reynand yang hanya di angguki oleh Reyna. "Yuk keluar, kita udah terlalu lama disini. Nanti mereka khawatir." jawab Reyna. Mereka bertiga berjalan kembali untuk sampai ke depan pintu, dan membukanya secara perlahan. Saat pintu terbuka Reyna sudah melihat Siska dan Felli yang berada didepan pintu sembari berdiri, sementara yang lainnya ada yang duduk dan juga sama berdiri dibelakang mereka berdua. "Huwaaaa Reyna." teriak Felli, suaranya begitu memekikkan telinga. Felli segera berhambur memeluk Reyna, begitu juga dengan Siska. Bahkan, Siska yang tidak terkenal cengeng pun menangis. Kalau Felli jangan ditanya dia sudah menangis sedari tadi. Reynand dan Revin segera berjalan kearah sofa, perjalanan ke dunia lain membuat tubuh mereka merasakan berat dan juga pegal. "Heh, lepasin kalian lebai banget sih!" pekik Reyna. "Enggak peduli, gue khawatir sama lo Rey. Untung aja lo selamat, kenapa lama banget didalam, kita disini udah nunggu hampir empat jam tau! Mana pintu gak bisa dibuka lagi." ujar Felli dengan ketus di akhir kalimatnya, membuat Reyna tersenyum kecil, Felli terlihat sangat lucu. Padahal berada di dunia lain hanya beberapa menit saja. Tapi ternyata, cukup lama kalau di dunianya. "Gue gapapa kok, ayo duduk dulu pegel nih." Akhirnya mereka berdua melepaskan pelukannya, dan langsung menggandeng lengan Reyna untuk duduk di sofa. "Sekarang jelasin, kenapa lama banget." ujar Siska. Reyna mengangguk. "Ya karena kita berempat sudah menemukan buku ini yang di dalamnya gue yakin pasti ada penjelasan." jawab Reyna membuat kening mereka mengkerut kecuali Reynand dan Revan. "Berempat? Perasaaan kalian cuman bertiga deh." jawab Felli bingung, mewakili pertanyaan mereka semua. Reyna menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Rupanya dia salah berbicara, harusnya bagian ini tidak usah ia katakan saja. 'Aku tidak memaksa kalian untuk percaya, tapi inilah yang aku rasakan dan apa yang aku lihat.' *** bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD