2) Sesmusim

1925 Words
Hari ini, tampilan Bu Nurul sedikit berbeda dari biasanya. Walau tetap dengan kerudung besarnya, namun baju dan celana olah raga yang dipakainya cukup seksi. Jadi sepertinya gak bisa ditemima pendapatmu, bahwa kamu grogian kalau dekat cewek. Buktinya kamu berani membuat ibu tersipu-sipu, hahahahaha.” Anjaaaaay, sepertinya emak-emak majikanku ini sedang happy banget, sampai bisa tertawa selepas ini. “Iya kan, kalau sama ibu sudah beberapa kali kita bersama-sama begini, Bu. Waktu pertama kali berdua di mobil, saya juga gak bisa ngomong apa-apa kan, Bu,” jawabku sok polos, lugu dan malu-malu. “Kenapa bisa begitu? Apakah kamu punya trauma masa lalu? Kalau menurut ibu sih sangat tak pantas seorang Pras yang masih muda, gagah dan tampan harus minder seperti itu sama cewek.” Bu Nurul bicara serius seraya menatapku tajam. Namun aku hanya meliriknya dengar ekor mata. “Gak ada trauma, Bu. Mungkin sudah bawaan dari orok aja jadi pemalu begini, hehehe,” jawabku sedikit bela diri dan yang pasti menyembunyikan semua kenangan pahit masa lalu. Tak perlu seorang pun berhak mengungkit lagi, kalau perlu biarlah waktu yang akan segera menenggelamkan semua kepahitan-kepahitan masa laluku yang kelam itu.  “Gitu ya. Tapi Pras bukan ‘cowok cucok meong kan?’ hehehe.” Bu Nurul masih tetap menggodaku. “Eenak aja! Saya masih normal, Bu. Mungkin belum punya keberanian aja! hehehe,” jawabku meyakinkan istri majikanku yang makin genit. Sebenarnya aku sudah paham arah dia mengejekku seperti itu. “Iya-iya percaya, pokoknya pelan-pelan aja kamu harus cari cewek. Jangan terburu-buru tapi juga jangan sampai dianggap belok alias jeruk makan jeruk.” “Insya Allah, secepatnya.” “Pras itu sebenarnya sudah pantas berumah tangga, loh. Kalau masalah rizki kan nanti juga mengikuti. Bapak sama Ibu aja dulu memulai dari nol. Rumah aja ngontrak di kawasan kumuh.” Bu Nurul memberikan semangat dan setelah itu berbagai macam petuah terlontara tanpa bisa ditahan dari mulutnya. Fix! Bu Nurul bukanlah wanita yang judes, jutek, pemarah dana sebagainya. Namun sepertinya dia adalah wanita yang kesepian. Hanya perlu jadi pendengar setia saja pada wanita jenis begini, nanti juga semua isi hatainya akan tercurah sendiri.   Hari yang terus berlalu kami lewati dengan canda tawa. Tak terasa sudah empat hari, aku menjadi sopir pribadi Bu Nurul, sekaligus menjadi pengganti Pak Budi di gudang pembuatan perkakas meubel. Sungguh sangat terasa melelahkan. Namun aku sangat menikmatinya. Bisa dekat dan akrab dengan semua pegawai Pak Budi yang tak jarang juga aku mendengar keluhan mereka yang merasa tidak suka dengan sikap Bu Nurul yang terkadang mulutnya pedas, atau dengan Pak Budi yang terlalu tegas dan bawel. Mungkin para pegawai itu menganggap aku sebagai jembatan penyambung lidahnya. Namun yang paling penting, aku juga bisa menikmati dan merasakan perubahan Bu Nurul. Kata Bi Asih sekarang keadaan di rumah sudah tidak horor lagi, karena sang majikan terkadang mau bicara bahkan sering bercanda-canda dengannya. Selama ini Bi Asih sering menjadi sasaran kemarahan tak jelas dari Bu Nurul. Semenjak Bu Nurul dekat denganku, menurut Bi Asih dia tidak murah-marah lagi bahkan jika memberi perintah pun bahsanya lebih santun dan manusiawi. Lebih enak didengar dan dia pun sangat senang melaksanakan tugasanya. “Ternyata sopir ganteng yang bisa melunakan Ibu. Coba Mas Pras dari dulu kerja di sini, mungkin rumah ini sudah jauh lebih indah. Sudah beberapa tahun di sini, Bibi jarang sekali melihat senyum Bu Nurul.” Bi Asih memujiku. Namun, pujian dan kebahagiaan Bi Asih, sepertinya tidak bertahan lama. Pada hari ke lima sejak kepergian Pak Budi ke Surabaya, Bu Nurul bersikap tak biasa dan nyaris kembali pada sifat aslinya. Murung, jutek dan tak banyak bicara. Sepanjang perjalanan menuju tokonya, dia sama sekali tak mengucapkan apa-apa. Bahkan saat dia turun sampai-sampai tak mengucapkan terima kasih, salam atau apapun.    Aku tidak tahu mimpi apa dia tadi malam. Ketika aku sampai rumah Bi Asih langsung mengadu kalau sejak tadi subuh majikannya sudah senewen dan kembali pada kebiasaan lamanya yang serba minta dilayani dan sama sekali tak boleh salah. “Kenapa bisa begitu, Mas? Baru aja beberapa hari rumah ini jadi surga, eeeeh sekarang udah jadi neraka lagi.” tanya Bi Asih dan aku hanya bisa mengedikkan bahu. “Berdoa saja nanti siang ada ilham, buat menaklukannya lagi, ya minimal beliau bisa tersenyum lagi, oke!” balasku sambil mengedipkan sebelah mataku, walau sebenarnya aku sendiri sedang bingung apa penyebab wajah Bu Nurul menjadi horor kembali. “Bener ya, Mas. Kata Pak Arnadi, dia akan beliin Mas Pras rokok kalau bisa bikin Bu Nurul gak marah-marah lagi, hehehe.” Wajah Bi Asih mendadak sumringah penuh harapan. Ketika Bu Nurul memintaku untuk menjemputnya jam setengah tujuh sore, maka aku sudah berangkat satu jam sebelumnya. Lebih baik aku kesal menungguinya di dalam mobil daripada menjadi sasaran amukannya jika terlambat. Wajah horor dan suasana kaku tadi pagi masih sangat jelas tergambar di ingatanku. “Ibu sakit?” tanyaku berbasa-basi saat Bu Nurul masuk mobil dan sudah duduk di sampingku. Bu Nurul tidak membalas pertanyaanku. Aku pun langsung menyalakan mesin dan menjalankan mobil. Sepertinya ini masih bukan waktu yang tepat untuk bicara. Ya gak masalah, mudah-mudahan saja Pak Budi dua atau tiga hari lagi segera pulang. Kalau Bu Nurul sudah menjadi horor begini, aku benar-benar gak akan kuat berlama-lama duduk di dekatnya. “Pras mampir dulu ke Bakso Duda ya, lapar sekali perut ibu dari siang gak nafsu makan,” perintah Bu Nurul pelan. Tanpa banyak bicara, aku segera mengikuti instruksinya. Memarkir mobil di halaman luas dekat kedai Bakso Duda langganannya. “Pras,” ucap Bu Nurul saat kami duduk lesehan depan sebuah meja yang sudah tersedia dua mangkuk bakso dan dua gelas juice jeruk. “Ya Bu,” balasku pelan. “Ibu gak ngerti dengan Ingga dan Ine. Baru saja minggu kemarin dikirim uang, eh sekarang sudah pada merengek lagi minta transferan. Dikasih uang untuk dua minggu masa baru beberapa hari sudah minta lagi. Pusing ibu, Pras.” Bu Nururl mengeluarkan unek-uneknya sambil mengaduk-aduk kuah bakso. Aku hanya merespon dengan menatap matanya yang sedikit sayu. Sejujurnya aku tak tahu harus bicara apa. Aku memang pernah kuliah tapi saat aku kuliah rasanya belum pernah minta uang sama Mama. Segala kebutuhan kuliah dapat aku penuhi dengan jalanku sendiri. “Saya kurang paham kalau urusan biaya kuliah dan kost jaman sekarang, Bu,” responku datar.  “Sebenarnya itu sih ibu pikir masalah ringan. Tapi ada satu lagi masalah yang membuat ibu benar-benar gak punya lagi semangat hidup. Bahkan hilang gairah dan keceriaan ini, Pras!” ucap Bu Nurul semakin lirih. “Pasti Ibu sedang kangen sama Bapak ya?” Aku mencoba menebaknya dan kini bibirku mulai kembali tersenyum walau wajah Bu Nurul masih datar dan dingin. “Itu sih udah pasti. Tapi ada yang lebih penting namun…” Bu Nurul menggantungkan ucapannya. “Namun apa Bu?” Aku berinisiatif mengejarnya. “Hmmm, aku malu ngungkapinnya.” “Why? Bukannya ibu butuh teman untuk berbagi?” “Entahlah Pras. Apakah ini pantas diceritakan pada orang lain atau tidak.” Bu Nurul bicara sedikit mengambang, tampaknya dia sedang menyembunyikan sesuatu. “Ya, kalau memang menurut ibu belum bisa dicerita gak apa-apa kok. Tapi jangan ditekuk gitu wajahnya, nanti cantiknya hilang loh Bu,” ucapku menggodanya. Tak ada maksud lain kecuali ingin membuatnya kembali tersenyum. Seharian ini aku benar-benar merasa bête dan tak enak hati akibat wajah Bu Nurul yang selalu ditekuk. Itu bener-bener menebarkan perasaan horor bukan hanya pada diriku tapi pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Bu Nururl tetap terdiam hingga bakso di depannya nyaris ludes masuk dalam perutnya, jus jeruk pun sudah lebih dulu tandas, hingga dia meminta jus ku saat terkahir menghabiskan baksonya. Beberapa saat Bu Nurul menatap mataku dengan sangat dalam dan tajam. Jantungku mendaadak dag-dig-dug tak karuan. Sungguh serba salah bicara dengan wanita yang jiwanya sedang labil dan super angin-anginan. Kemarin dia sendiri yang banyak bercanda dan tertawa-tawa tapi kini semua telah berubah tanpa sebab yang jelas. ”Eh maaf Bu, kalau tadi saya salah ucap.” Aku segera meminta maaf sebelum semuanya menjadi kacau. Dan untungnya bakso dimangkuknya sudah habis sehingga tak lama dia pun mengajakku kembali melanjutkan perjalanan pulang. Suasana dalam mobil kembali hening dan mencekam. Dua puluh menit lagi untuk sampai rumah, semoga lebih cepat dan aku segera terbebas dari perasaan mencekam ini. “Pras, benerkah ibu masih cantik?” tanya Bu Nurul tiba-tiba sambil menatapku yang lurus memperhatikan jalan. Aku hanya sedikit mengintip melalui ekor mataku dan tak berani lagi menjawab. Takut salah. “Diem kan kamu, gak bisa jawab kan? Sudah jelas kamu memang sejak kemarin hanya bicara bohong dan mengejek ibu kan!” Tiba-tiba Bu Nurul bicara lirih dan dari kaca spion depan aku bisa melihat matanya sedikit berkaca-kaca. “Be..be..benaran kok Bu, masih cantik, apalagi ibu kan sering perawatan.” Aku gelagapan dan tak tahu lagi harus bicara apa. Jujur atau bohong sepertinya sudah tak ada lagi perbedaan. “Serius? Kalau tubuhku gimana masih seksi kah?” tanya Bu Nurul sambil mengedipkan matanya. Seulas senyum pun sudah kembali terbit di bibirnya. “Iiii…..yaaaa masih seksi, pake banget malah,” jawabku terbata-bata namun sesungguhnya aku mulai sedikit percaya diri. Wanita ternyata paling mudah terbuai pujian, bahkan dia bisa melupakan kesedihannya hanya dalam sekejap. “Tapi sayangnya, itu tidak berlaku buat Bapak. Buktinya dia tak pernah menyentuhku, Pras,” ucap Bu Nurul dengan sedih. Dan hampir saja aku menghentikan mobil secara mendaadak saking terkejutnya. “Gak mau nyentuh Ibu bagaimana? Setahu saya kalau Bapak ada di rumah, beliau begitu manis memeluk dan memperlakukan Ibu. Apakah pelukan beda dengan sentuhan, Bu?” tanyaku sedikit panjang. “Bukan gitu Pras. Kamu kok polos banget, sih? Nyentuh itu maksudnya hubungan suami istri!” Bu Nurul mencoba menjelaskan dengan wajah agak kesal namun tampaknya juga dia tak percaya karena aku sengaja memasang wajah polos. “Ooh maaf, saya gak tahu, Bu. Maklum masih bujangan, hehehe.” Aku berusaha berpura-pura polos. Sepertinya Bu Nurul yang senang mendominasi tampak antusias dan senang jika bicara dengan orang yang menurutnya berwawasan di bawahnya. Mungkin dia lebih cocok jadi seorang guru.  “Gini Pras, kalau sudah berumah tangga itu, ada yang disebut berhubungan badan antara suami dan istri. Nah hal itu selain sebagai kewajiban, juga sangat penting untuk mengembangkan keturunan dan membina keharmonisan keluarga.” Bu Nururl terdiam sejenak sambil menatapku yang manggut manggut. “Hubungan intim juga sangat penting dan bermanfaat untuk merefresh otot dan otak kita yang sudah capek dan jenuh, akibat rutinitas sehari-hari. Bahkan lebih hebat dibanding wisata dan jalan-jalan. Karena berhubungan badan itu merupakan refreshing lahir batin.” Bu Nurul mulai kembali bicara panjang lebar dan sedikit antusias. “Oh gitu ya Bu, kirain hanya buat bikin enak dan anak aja, hehehe.” Aku kembali menanggapi dengan candaan. “Bukan hanya bikin enak dan anak. Kalau Cuma itu tujuannya kan bisa aja dengan yang lain. Atau mungkin kaya ibu yang sudah punya anak gede-gede udah gak butuh lagi.” “Iya juga ya.” “Tapi kenyataan kan masih butuh selagi belum menopause. Tapi sayangnya Bapak selalu mengaku capek, lelah dan capek terus. Dia terlalu bersemangat mencari harta untuk anak dan istri, tapi kewajiban utama untuk yang di rumah diabaikan,” ucap Bu Nurul dengan tatapan mata yang terasa semakin kosong dan sayu.  “Ya sabar aja Bu, mungkin Bapak memang sedang sangat sibuk saat ini. Tapi saya yakin bapak tidak berniat untuk melupakan ibu. Buktinya hampir tiap dua jam sekali dia menelpon ibu,” hiburku sok bijaksana dan sok diplomatis. Sampai di sini aku sangat bingung mesti berbicara apa. Apa yang disampaikan Bu Nurul sangat masuk akal. Jangankan yang sudah berkeluarga, aku juga yang statusnya masih bujangan masih saja curi-curi kesempatan untuk bisa begituan karena sudah KETAGIHAN. Walau tujuan utamanya hanya untuk cari enak, hehehe.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD