Pertemuan dengan tetua jauh lebih cepat dari yang Valerie kira. Mereka baru mendarat beberapa jam yang lalu, tetapi jadwalnya sebagai calon ratu dan istri telah membuat kepalanya sakit. Bagaimana kabar domba dan sapinya di peternakan?
Liam duduk dengan tenang di sebelahnya. Kursi ini berbentuk ukiran naga yang melambangkan kebesaran dan kekuatan absolut pada ukirannya. Valerie menarik napas, menunduk menatap telapak tangannya yang belum bersih.
"Aku harus mencuci tangan."
Sebelum Valerie benar-benar bangun, Bobby membawakan baskom kecil berisi air dan cairan pembersih cat dengan lap kering. Valerie seketika mereka skeptis, terkejut karena manusia robot itu mendekat dengan rahang kaku.
"Ini untuk membersihkan sisa cat di telapak tangan Anda, Yang Mulia."
Valerie pikir, Bobby bicara dengannya. Tapi pria itu bicara dengan majikannya. Dan Liam memberi anggukan singkat. Terlebih saat mata mereka bertemu, ekspresi pria itu terlihat lelah. "Kemarikan tanganmu."
Tangan itu terulur maju. Bobby menonton dalam diam, menemukan bagaimana Sang Pangeran melakukan semua itu dengan gaya terlatih. Valerie menghela napas, memandang bagaimana tangan besar pria itu membersihkan bekas cat dengan lembut.
"Lain kali, aku tidak akan melakukannya lagi. Ini mungkin bukan yang terakhir, tapi aku berjanji akan meminimalisir kekacauan itu sendiri," katanya pelan, merasakan sapuan air hangat sekaligus kehati-hatian Liam membanjiri telapak tangannya dengan cara yang tidak masuk akal.
"Kau tidak bisa berjanji jika tidak bisa menepati," balas Liam dingin, menekan sisa air dan memberinya pada Bobby yang menunggu untuk membuang air di baskom.
"Aku selalu menepati janjiku," Valerie berbisik di tengah rasa bingungnya sendiri. "Kenapa kau terdengar skeptis ketika mendengar sebuah janji dari orang lain?"
Liam menatapnya. Untuk kali pertama, Valerie merasa bola mata hitam itu menari-nari di atas bara api bernama rasa sakit yang nyata. Mungkin calon raja di masa depan ini pernah mendapat janji palsu yang membunuh mentalnya sampai detik ini.
"Aku tidak pernah membuat janji pada orang lain, terkecuali pada diriku sendiri. Dan itu sedikit membuatku tidak nyaman," pria itu melepas tangannya dan Valerie cepat-cepat membawanya turun ke atas pangkuan. "Mendengarmu membuat janji, aku rasa mustahil. Berharap agar kau banyak belajar dan mau beradaptasi dengan baik, itu sudah segalanya buatku."
"Kau menaruh harapan padaku?"
Liam mengangkat alis. Menghela napas panjang saat dia memutar badan dan memandang pancuran air dari sungai buatan di depan kastil dari jendela yang terbuka.
"Aku memberimu posisi luar biasa yang tidak bisa didapatkan orang lain semudah itu. Aku tentu harus berharap dan percaya kau mungkin bisa melakukannya. Ini demi reputasi dan kebaikanmu sendiri," katanya menjelaskan, yang membuat Valerie percaya bahwa tugas di masa depannya seperti terperangkap dalam lorong menuju pintu neraka.
Dirinya tidak akan bisa kembali.
Liam yang sekarang tampak tenang. Dan Valerie merasa dirinya harus membangun tembok besar karena sifat pria ini kerap berubah-ubah sesuai suasana hati. Jadi dia memilih untuk mundur, tidak mau membantah.
Bobby datang bersama tiga tetua yang memakai pakaian hangat. Alih-alih memakai seragam kerajaan yang mencolok, Valerie menemukan dirinya terpukau dengan raut angkuh dari para tetua yang rupanya mewarisi bagian dari paras pada Liam.
"Selamat datang Valerie dari Ardissia. Kami banyak tahu tentangmu. Asal-usulmu tidak terlalu bagus. Tapi kau tetap saja bangsawan yang dihormati," ucap salah satunya setelah tiga tetua itu mengarahkan tatapan tajam mereka padanya.
"Aku merasa tersanjung. Terima kasih."
Staf dari para tetua memberikan berkas. Valerie mendapati ada tiga berkas di atas meja. Sesuai jumlah yang sama dengan milik Liam.
"Bacalah terlebih dulu."
Ukiran tulisan Andera membuat Valerie tersekat. Dia akan terbata-bata membaca ini dan belum mampu menelaah segalanya dalam satu menit yang berlangsung nyaris seperti sepuluh detik.
"Ini berisi tentang silsilah Andera dan bangsawan lain yang bekerja sama demi kemakmuran bersama," kata Liam, membuka berkas tanpa menoleh ke arahnya. "Ada kerajaanmu di sini. Dijelaskan bagaimana Ardissia terbentuk dan apa kelebihan mereka."
"Aku hanya bisa membaca kalau Ardissia mempunyai dua tanduk di kepalanya," ucap Valerie serak, memandang tiga tetua yang memasang raut serius dan keras.
Liam mendengus pelan, memandang calon istrinya yang terus berkerut mencoba mencerna semua tulisan di dalam berkas dengan seksama.
"Jika kau menandatangani ini, semua akan selesai. Kau akan menjadi istri sekaligus ratu di masa depan."
Valerie meremas pulpen dengan pandangan bergetar. Bola matanya bergerak halus dan konstan. Saat dia melihat Liam menandatangani semua berkas dengan begitu santai, dirinya merasa gugup sekarang.
"Semua akan baik-baik saja."
Kepercayaan diri itu mengalir dari tatapan mata pria itu untuknya. Sesaat Valerie merasa ia sulit bernapas karena gelisah menghadapi kenyataan di masa depan. Bahwa dirinya tidak akan menjadi manusia biasa dan gelar bangsawan itu akan terus mengaliri darahnya bersama generasi mendatang. Calon anak-anaknya nanti.
Liam memandangnya serius. Dan seakan tidak mau melepas barang sebentar. Cara pria itu mengamati membuat Valerie cemas. Lalu meraih pulpen, memberikan tanda tangan pada setiap berkas.
Staf menarik berkas di atas meja dan memeluknya, saat para tetua bangun. Cukup puas memeriksa calon raja dan ratu di masa depan, mereka melempar tatapan dingin pada Liam yang masih duduk.
"Aku berharap kau tidak salah melangkah kali ini," kata salah satu dari mereka, penuh kecurigaan dan ketidakpastian yang membunuh. "Kami permisi."
Valerie ingin bangun, tetapi Liam menahannya untuk tetap duduk. Sampai tetua itu menjauh dan Bobby membiarkan keduanya di dalam setelah menutup pintu.
"Terima kasih."
Dua kata yang berhasil membuat Valerie bungkam dengan gelayut rasa aneh yang mencekik.
***
"Selamat datang, Putri."
Sambutan itu membuatnya tersenyum. Valerie berjalan ke arah dapur selepas mandi sore dan membiarkan dirinya dibasuh pancuran air hangat. Kamar mandinya benar-benar luar biasa. Ia terbiasa mandi air dingin saat rasa lelah akibat mengurus peternakan membuat badannya sakit. Tapi ketika mencoba pancuran air hangat yang berisi kandungan air belerang dengan aroma wewangian bunga yang mencolok, Valerie penasaran.
"Aku mencium aroma roti panggang dari luar pintu dapur," katanya setelah memasuki ruangan, menemukan kepala kok bersama jejeran bawahannya sedang sibuk. "Bisakah aku mencoba satu?"
"Tentu, Putri. Silakan."
Ada empat piring berisi kudapan hangat dengan isian berbeda. Sebelum Valerie mencicipi, salah satu dari mereka memberikannya secangkir teh melati dengan gula kubus di atas mangkuk kecil. Valerie duduk di kursi kayu, menikmati bagaimana jam sibuk dapur sebelum makan malam tiba.
"Bukankah seharusnya calon ratu tidak duduk sembarangan?"
Bisikan itu berasal dari kulkas besar yang bersembunyi dari balik pintu baja yang terbuka lebar. Saat Valerie mengangkat alis, menemukan dua pelayan senior yang berbincang dengan membawa irisan roti dan bawang putih dari kulkas.
Kepala koki mendelik ke arah mereka dan segera berdeham. Saat mata kelabu keruh itu memicing pada Valerie dan menunjukkan ketidaksukaan yang mencolok, gadis itu hanya mengangkat bahu. "Aku tidak bisa memaksa kalian harus menyukaiku, karena itu tidak perlu."
"Omong-omong, kue ini enak." Valerie menyendok satu suapan lagi dan berpaling pada kepala koki bersama stafnya yang menunggu dengan senyum ramah.
"Terima kasih, Yang Mulia. Kami akan berusaha keras menghidangkan makanan lain.l dengan banyak variasi."
"Hm, aku rasa perlu. Kita bisa bertamu ke desa di setiap sudut kota untuk mencicipi makanan khas mereka," kata Valerie, mengingat kenangan dirinya dan sang ibu di masa muda ketika wisata kuliner untuk mencoba masakan lokal yang murah. "Kita bisa membuat citra rasa yang sama walau tidak sepenuhnya menjiplak untuk diperkenalkan pada tamu istana."
"Itu ide brilian," kepala koki menyahut antusias. "Kami hanya punya delapan menu dari makanan lokal, termasuk Ardissia yang tidak terlalu mencintai makanan manis. Dan lebih banyak kandungan asam dan sedikit rasa asin pada daging."
"Oh, selera mereka cukup ekstrim," Valerie meringis dengan cengiran. "Tapi aku suka makanan manis. Ibuku sering membuat kue manis semasa hidup. Itu mengingatkanku pada cookies dan chip cokelat kering."
"Bagaimana selera makanan Anda, Putri?"
"Apa kalian akan mencatat semuanya?"
Kepala koki menunduk malu. Valerie pikir, dia hanya pemuda yang belum terlalu banyak pengalaman—atau sudah, dan berusaha berbaur dengan kehidupan istana yang ketat. Mungkin saja pria itu dibebani tanggung jawab besar untuk memegang dapur dan isinya.
"Aku sebenarnya tidak terlalu pemilih. Tapi aku punya alergi khusus pada jamur dan buah persik. Aromanya membuatku muntah. Dan untuk jamur, aku bisa saja terbaring selama berjam-jam karena alergi."
Mereka mendengarkan dengan baik. Saat Valerie turun, memberikan piring kotor dan mereka menerimanya dengan tangan terbuka.
"Kalau aku pergi berkeliling untuk bermain ke desa terpencil, mungkin aku harus mengajak salah satu dari kalian untuk mencoba resep baru demi mengatasi kebosanan di istana," mata hijaunya memandang pada kepala koki yang baru saja mengangguk malu. "Siapa namamu?"
"Atalarik, Yang Mulia."
"Nama yang bagus. Aku Valerie dari Hokkaido. Aku sebenarnya tidak tahu usulku, karena mereka bilang aku dilahirkan di Osaka dan sempat besar di Kyoto karena pergi bersama ayah untuk bekerja. Tapi yang aku ingat hanya Hokkaido."
"Itu terdengar seperti tempat yang sangat menakjubkan."
Valerie memberi gadis itu senyum separuh. "Memang. Kau akan mencintai peternakan ramah di sana," katanya setelah menepuk bahunya dan berjalan pergi.
Ketika Valerie keluar dari pintu dapur, dia melihat Bobby bicara dengan staf istana. Lalu mata pria itu menatapnya. Dan Bobby memberi salam formal. "Pangeran meminta Anda untuk datang ke ruangannya."
"Selarut ini?"
"Ini baru jam lima, Putri."
"Aku bercanda," ucapnya dengan dengusan, kemudian memutar badan mengambil jalan lain untuk menghindari si manusia robot yang terus mengawasi.
Pemandangan senja melintas manakala ia mengintip dari celah tirai lorong yang sepi. Saat dirinya menghela napas, menikmati semburat oranye yang membekas di langit Andera tampak indah.
Dirinya tidak tahu rentang perbedaan waktu antara Andera dan tempat tinggalnya dulu. Mungkinkah sekarang malam? Atau pagi buta? Valerie merindukan paman dan bibinya. Tapi dia tidak bisa serta merta mengusik mereka saat Paman Raito fokus untuk mengembangkan bisnis ladang dan peternakan mereka di hari tua.
Satu-satunya cara mengatasi rasa bosan adalah dengan berjalan-jalan. Biasanya ia mengambil kesibukan dengan mengurus domba dan sapi, atau terkadang memandikan Loki di bawah pompa air. Tapi sekarang tidak ada apa pun. Seseorang mengambil alih tugasnya dan membiarkan Valerie berkuasa dengan memberi perintah. Ini sangat aneh.
Tetapi dia perlu belajar. Dan Valerie merasa dirinya harus perlu beradaptasi lebih jauh agar merasa nyaman menjadi sisi dirinya yang lain. Kehidupan kerajaan penuh dengan aturan dan protokol yang sedikit menyimpang. Terutama untuk sisi hidupnya yang lain.
Ada pintu kayu besar mencolok dengan aksen hitam pekat yang mengerikan. Kalau saja kilat masuk dan mengetuk, Valerie tidak yakin Liam akan mendengarnya.
Satu dan dua kali ketuk, Valerie beruntung dia mengetahui ruangan ini lebih cepat saat bertemu staf yang memberitahu bahwa dirinya ada di lantai pribadi Sang Pangeran.
Liam berdiri bersandar pada kusen jendela yang tertutup. Siluet hitam yang memikat bayangan nampak jelas di matanya. Pria itu memakai pakaian semi formal yang menawan. Valerie kadang berpikir dia seperti tuan tanah yang memiliki kekuasaan besar, dan bukan calon raja yang memiliki kekuatan absolut.
"Kau mencariku?"
Liam menurunkan gelas minumannya dan menggeleng.
"Oke. Kalau begitu aku pergi."
"Sepertinya banyak dari pelayan istana terkesan karenamu," kata Liam, matanya masih lurus memandangi pemandangan lain dari balik jendela besar.
"Tidak juga. Aku mendengar dua staf bicara tentangku. Mereka bilang aku bangsawan norak yang tidak tahu tata krama," balasnya ringan. "Dan aku katakan pada mereka, kalau aku bangsawan terbuang. Aku ini putri pungutan."
Kepala pria itu menoleh untuk menatapnya, lalu mendengus seraya mengusap pangkal hidungnya. "Kemarilah."
Valerie mendekat dengan dugaan bahwa mereka bisa berkompromi sebagai dua kubu bertolak-belakang. Saat Liam memberikan majalah tebal, Valerie mengerutkan alis. "Apa ini?"
"Beberapa desainer ternama mengirimkan contoh busana mereka untuk promosi. Kau bisa menggantikan model mereka untuk memamerkan gaun rancangan di depan publik," ucap Liam menjelaskan. "Kau hanya perlu tampil, dan biarkan wartawan atau pegawai mereka membawa ini sebagai bentuk promosi. Ini berguna untuk industri fashion dan keuntungan mereka."
"Lantas apa keuntunganku?"
Liam menghela napas. "Tidak ada sebenarnya. Ini kerja sama untuk meningkatkan beberapa nama dan kredibilitas suatu perusahaan. Kau bisa memeriksanya. Ada desainer lokal yang sekiranya membuat kau tertarik."
"Karena aku akan menjadi sorotan?"
Liam tidak menyangka kalau gaya berpikir gadis ini begitu cepat untuk menangkap maksud dan tujuannya. Meski terkadang ia tidak ingin menjelaskan, Valerie suka memancing perkara yang tidak seharusnya ia ladeni. Gadis itu tahu, tapi dia berpura-pura.
"Aturan yang akan kuubah adalah gaya pakaian. Perempuan bangsawan Andera tidak akan ditetapkan harus memakai pakain formal sepanjang waktu setiap kali mereka ke luar rumah. Kau bisa mencari busana terbaik sesuai gayamu. Mereka akan tertarik kalau ini berhubungan dengan selera."
Valerie mendengus, mendekati meja dengan tatapan mencibir. "Aku tidak tahu kalau kau memperhatikan semua secara mendetail."
"Apa itu berhasil membuatmu terkesan?"
"Skala satu sampai sepuluh?" Mereka bertatapan cukup lama sampai Valerie tersenyum. "Satu koma lima. Kau harus berjuang lagi untuk mendapat nilai sempurna."
Liam diam dengan bibir berkedut menahan senyum. Sebelum dia menyembunyikan kedua tangan di dalam saku, merasakan aroma bunga yang khas menguar dari rambut dan tubuh calon istrinya, dia merasa limbung setiap saat.
Sedangkan dirinya sedikit berbau anggur.
"Apakah disini tertera harganya?"
"Iya. Semua harga dan bahan yang dipakai tertera serta kandungan yang tertanam pada setiap bagian benang. Ini mengurangi risiko penyakit kulit atau apa pun yang memicu alergi pada pembeli," terang Liam dan Valerie memberi anggukan singkat.
"Itu bukan tugas berat. Aku bisa mengatasi ini sebagai pekerjaan pertama."
Karena Liam pikir, Valerie luar biasa memakai pakaian yang bertabrakan dengan adat kerajaan. Gadis itu memakai pakaian yang ada di lemari dan tersingkir oleh sekali pandang jika itu orang lain. Dia memberi kesan lain dengan gaya busananya sendiri, dan Liam pikir ini membantu untuk produksi lokal menciptakan banyak karya yang berguna sebagai pemasukan demi mensejahterakan banyak orang.
Valerie tidak lagi tampak seperti gadis si pecinta kandang sapi dan domba yang setia melumuri muka dengan masker lumpur. Dia berbeda. Polesan itu berhasil membuat kesan Liam ikut berubah.
Dia baru saja bilang apa?
"Kau mendengarku?"
Liam tersentak. Mengatasi rasa canggung dengan dehaman kecil. "Apa?"
"Ada lagi yang harus aku lakukan?"
"Perhatikan langkahmu dan jangan ceroboh," ujar Liam datar, berbalik untuk menatap senja dengan tarikan napas panjang.
"Oke. Kalau begitu, bisa aku bicara sesuatu bersifat personal padamu?"
Liam menautkan alis. Saat dirinya berbalik, memandang sang istri yang memiringkan kepala dengan majalah tebal di tangan.
"Apa?"
"Aku mendengar staf bicara tentang peternakan yang dikelola pihak istana untuk kebutuhan pangan pribadi dan bukan untuk bisnis, bisakah aku melihatnya?"
"Kau akan terjun langsung mengurus peternakan?"
Valerie mengulum bibirnya untuk tidak tertawa. Serius. Kenapa pria ini bisa berubah secepat sapuan angin tornado? Bagaimana bisa suaranya terkesan dalam dan kesal?
"Yah, kalau kau berkenan. Dan aku—,"
"Tidak."
"Aku cocok untuk mengatasi bagian ini, lagi pula aku—,"
"Tidak."
Valerie berdecak rendah, lalu mendengar Liam mengumpat seperti bisikan pada Bobby karena membiarkan Valerie tahu tentang peternakan dari para staf.
Sebelum pintu itu tertutup, Valerie membunyikan satu siulan menggoda dari bibirnya dan mengusik atensi Liam sekali lagi.
"Calon raja tidak boleh mengumpat. Bukan begitu, Yang Mulia?"
Kemudian, pintu tertutup sempurna.