Kue Untuk Clara

1014 Words
“Apa yang kamu lakukan?” Suara Rafael yang tiba-tiba muncul dari belakang tubuh Elvina. Elvina hampir saja berteriak saking kagetnya, tapi ia segera menutup mulutnya. Dan sekarang, ia sedang menatap horor ke arah Rafael. Tadi, Rafael melihat Elvina melewati kamarnya. Merasa penasaran, ia pun mengikutinya. Selama Elvina memperhatikan lukisan itu, selama itu juga Rafael dibelakangnya. “Ma—maaf,” ucap Elvina terbata. Rafael menatapnya dengan penuh tanya. Ia terlihat kesal, marah, kecewa dan yang lainnya yang tak diketahui siapapun apa yang ada dibenak pria itu. Rafael lalu menatap lukisan itu sambil menyembunyikan kedua tangannya dibalik saku celana yang ia pakai. Elvina kembali melirik ke arah lukisan, mengikuti arah pandang Rafael. “Dia sangat mirip kamu, ‘kan?” tanya Rafael dengan nada dingin. Kini Rafael kembali menatap Elvina dengan wajah tak tenang. “dia ibunya Clara. Clara masih sangat kecil saat ditinggalkannya. Itu sebabnya, dia tidak juga mengerti bahwa ibunya sudah tidak ada dan dia terus menerus menanyakan hal yang sama. “Saya sudah susah payah mencoba melupakan ibunya, tapi Clara membuat saya untuk terus mengingat ibunya. Dan sekarang, kamu masuk kedalam kehidupan saya. Wajahmu mengingatkan saya pada ibu Clara.” Ungkapan Rafael dengan raut wajah yang tak dapat diartikan. Elvina kini mengerti, Rafael kesal karena Clara membuatnya terus mengingat istrinya yang sudah tiada. Tapi mengapa Rafael tampak kesal dengan kehadiran Elvina? “Maaf, harusnya kemarin Pak Rafa tidak terima saya bekerja di sini. Saya tidak tahu soal ini,” lirih Elvina mencoba tetap tenang walau hatinya gemetar, entah apa yang harus ia lakukan setelah ini. Tatapan Rafael menyembunyikan sebuah luka yang amat perih yang tak bisa ia katakan. Rafael menundukkan wajahnya beberapa detik, lalu menatap Elvina dengan wajah yang sedikit membaik. “Maaf, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya terima kamu bekerja di sini atas kesadaran saya dan saya tidak menyesal. Kamu bisa bekerja seperti biasanya,” ucap Rafael lalu meninggalkan Elvina seorang diri. Namun, tak lama ia kembali sedangkan Elvina masih mematung di tempat yang sama. “Satu lagi, jangan panggil Clara dengan sebutan ‘Non’. Kamu bisa panggil dia seperti biasanya,” pinta Rafael lalu benar-benar meninggalkan Elvina seorang diri. “b**o banget gue. Ngapain masuk sana? Untung gak disangka mau maling,” gumam Elvina sambil meninggalkan ruangan itu, ia lalu kembali ke kamar Clara. Saat kembali ke kamar Clara, Elvina melihat gadis kecil itu masih tertidur. Tak ingin mengganggu tidurnya, tapi ia juga tak mungkin pulang secepat itu. Elvina baru masuk jam kerja, tak mungkin ia memutuskan untuk pulang. Di tengah kebingungannya, Elvina melihat bayangan Ambar melewati kamar Clara. Segera Elvina bangkit, keluar kamar dan menghentikan langkah Ambar yang entah mau ke mana. “Bu, kita bikin makanan, yuk? Clara suka apa?” tanya Elvina kepada Ambar. Elvina harus pintar mengatur waktunya untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan Clara. Jika anak majikannya itu tertidur, tidak ada salahnya untuk membuat makanan kesukaannya dibanding harus diam menunggu Clara terbangun. “Jangan panggil ibu, bibi saja. Clara biasanya suka makanan manis. Misalnya kue, coklat, ice cream atau apapun itu yang manis-manis. Tapi Bibi gak pandai kalau buat yang seperti itu,” jawab Ambar memberitahu diakhiri keluhan dirinya yang tak pandai memasak. “Aku bisa sih. Cuma gak tau bahan-bahannya sama peralatannya lengkap atau tidak di sini,” ungkap Elvina malu-malu. Ambar lalu membawanya ke dapur dan memperlihatkan peralatan di sana dan ternyata, alat-alat untuk membuat kue sangat lengkap. Hanya saja, bahan-bahannya yang tidak lengkap, sehingga asisten rumah itu harus membelinya terlebih dahulu. Kebetulan supermarket tidaklah jauh dari sana, supermarket yang pernah Elvina kunjungi dan bertemu Rafael dan Clara untuk yang pertama kalinya. Tak lama asisten rumah kembali dengan membawa bahan-bahan yang sudah Elvina catat sebelumnya. Namun saat itu, Clara sudah terbangun dan tentu gadis kecil itu dengan antusias ingin membantu. Sudah dipastikan bukannya membatu, tapi malah membuat dapur berantakan. Baik asisten rumah ataupun Ambar, tidak ada yang berani melarang Clara kecuali Elvina yang tak henti mengoceh dan yang dimarahi hanya tertawa riang. “Sayang, Mama ngambek! Mama gak mau! Mama mau pulang!” ancam Elvina memonyongkan bibirnya sambil melipat kedua tangan di dadanya saat Clara menghias topping kue brownies yang ia buat dengan asal. “Mama!” bentak Clara sangat keras sehingga Elvina merasa telinganya sakit. Gadis kecil itu marah saat mendengar Elvina akan pulang. “Teriakan kamu kok kayak preman, ya? Padahal Papa kamu adem ayem loh,” sungut Elvina luar biasa membuat Ambar dan asisten rumah yang juga berada di dapur menggelengkan kepalanya. Jangankan mengomentari Rafael, mereka bahkan tak berani mengomentari Clara. Dengan patuh Clara sedikit menjauh dari kue agar Elvina dapat melanjutkan menghias topping dengan baik. “Aku potong!” Clara tersenyum riang untuk memotong kue setelah kue selesai dihias. “Oke. Mama bantu.” Elvina mengambil pisau khusus memotong kue, memberikannya kepada Clara, memegang tangan mungilnya untuk menuntunnya memotong kue. Selesai memotong beberapa potongan, Clara meletakkan potongan kue di atas piring kecil. “Kue pertama buat Mama.” Clara menyerahkan kue yang sudah ia potong kepada Elvina. “Ini bukan kue ulang tahunmu, Clara Sayang. Tapi baiklah, Mama terima ini. Makasih loh. Kamu kasi yang lain juga.” Elvina memperingati tapi akhirnya menerima kue itu dan meminta Clara memberi kue juga untuk Ambar dan asisten rumah. Dengan senang hati, Clara membagi kuenya untuk dua wanita yang selama ini menemaninya dengan setia dan kasih sayangnya. “Em … enak loh … kamu pandai buat kue,” puji Ambar mencicipi kue yang Elvina buat. “Manisnya pas, legitnya sama seperti beli di toko,” timpal asisten rumah ikut memuji. “Bagus kalo gitu. Aku pernah kerja di toko kue waktu di Bandung, jadi tau bahan-bahannya dan cara buatnya.” Elvina bangga dengan dirinya sendiri. Ternyata, walaupun otaknya yang kadang tidak bekerja itu ia masih bisa mengingat bahan juga cara membuatnya. “Kamu persis kayak ibu kandung Clara. Beliau juga senang membuat kue juga memasak. Makanya peralatan di sini lengkap,” ungkap Ambar dan Elvina menghentikan kunyahannya, terkejut. “Wah … kok banyak persamaan gini, ya?” Elvina bingung sendiri. “Tapi beliau pendiam, gak seperti kamu yang banyak bicara,” sewot asisten rumah tetapi Elvina tak keberatan dengan ungkapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD