Perkara Di Rumah Abizard

1002 Words
“Ya itu karena ulah kamu William! Kamu bisa-bisanya ninggalin cewek sendirian di jalan. Kamu lupa kalau Ayu masih baru di Jakarta? Dia gak tau jalanan di sini, dia bahkan gak tau jalan pulang. Padahal ya, kamu sendiri yang bilang waktu kecil, kamu bakal jagain dia. Sekarang apa?!” cerocos Amy yang emosi karena putranya malah marah kepada Elvina. Sejenak, William mengingat masa kecilnya. Saat ia mengajari Elvina kecil berjalan, kakinya yang mungil masih lemah sehingga hampir terjatuh. Pada saat itu, William segera menangkap tubuh Elvina kecil agar tak menyentuh lantai. Alhasil, William memeluk erat tubuh Elvina kecil dan Elvina kecil segera berdiri di dalam dekapan William. Di saat yang bersamaan, Amy yang memperhatikan mereka berdua berteriak, “Willi? Kamu gak bisa ajarin Ayu berjalan! Biarkan Ayu di kursi roda!” Amy sangat mencemaskan Elvina kecil. Bukan hanya dirinya yang merasa kasihan ketika lututnya membentur lantai dan menyebabkan warna merah di kulitnya, tetapi Mehmed juga akan merasa marah kepada William dan akan menghukumnya berupa jeweran telinganya atau cubitan di lengannya. “Willi jagain, Mah. Willi janji, bakal jagain Ayu.” William dengan kegigihannya tak ingin menyerah untuk mengajari Elvina kecil berjalan. Amy menghela napas, membiarkan putranya mengajari putri kecil yang sangat ia sayangi. Dalam hati Amy tersenyum manis melihat kasih sayang William terhadap Elvina kecil. William berulang kali menangkap tubuh mungil Elvina kecil agar tak terjatuh, lalu menatap sang ibu seolah berkata ‘lihat! Aku bisa menjaganya’. Sadar dari lamunannya, Wajah William terlihat bingung dan ia berkata, “Ma—maaf, Mah. Willi tidak bermaksud seperti itu.” William mencoba menenangkan Amy. Dalam sekejap, citra yang menempel di wajah dinginnya hancur ketika berhadapan dengan ibunya yang tak bisa dikalahkan dalam aspek apapun. Dan sejujurnya, Elvina baru pertama kali melihat dosen angkuhnya itu terlihat gugup seperti maling yang ketahuan mencuri. “Ya terus apa? Kamu lihat tuh kaki Ayu sampe bengkak gitu karena jalan kaki. Belum panas matahari.” Amy lagi-lagi dengan nada membentak tak henti mendelikkan matanya kesal dengan bibir mengatup sebal. “Tadi Willi ngajak Vina untuk bicara berdua, tentang perjodohan kami. Mama sudah dengar keputusan kami? Mungkin Vina sudah cerita sama Mama.” William mencoba lari dari kesalahannya dan ingin mengalihkan pembicaraan. “Ini bukan soal perjodohan! Tapi soal sifat kamu yang semena-mena. Bukan cuma Ayu, tapi cewek manapun gak pantas ditinggal di jalanan sendirian. Kamu paham ‘kan maksud Mama?” ungkap Amy gemas dengan keputusan William yang meninggalkan Elvina di jalan tanpa perasaan. Tak ingin melihat perdebatan antara ibu dan anak berlanjut, Elvina dengan gugup menyela ucapan mereka, “Mah ... sepertinya Ayu harus pulang. Lagipula, ini udah Sore. Soal tadi, gak apa-apa kok, Mah.” Elvina beranjak berdiri untuk pergi. Namun, Amy tak membiarkannya pergi begitu saja. “Nanti dulu, Ay. Mama belum selesai bicara.” Tatapannya beralih kepada putranya dengan tatapan kesal. “minta maaf sama Ayu sekarang atau Papa yang beri kamu pelajaran? Biar panjang urusannya kalau Papa yang turun tangan!” ancamnya tak dapat ditoleransi. William membeku, ia sendiri tahu bagaimana ayahnya yang selalu menegakkan keadilan di dalam keluarganya. Mehmed selalu menghargai seorang wanita, tak peduli siapa wanita itu. Akan terjadi kekacauan jika ayahnya tahu bahwa William telah membuat Elvina yang sudah seperti putrinya sendiri merasa kesulitan. William menatap Elvina seperti ancaman besar di masa mendatang. Dengan sangat terpaksa ia harus meninggalkan keangkuhannya dan berkata, “Maaf, Vin. Tadi saya ninggalin kamu di jalan. Saya sudah putar balik buat jemput kamu, tapi kamu sudah tidak ada.” William mengatakan itu dengan nada rendah tapi hatinya berkata lain. Otaknya yang licik merencanakan sesuatu agar wanita itu merasa malu lebih-lebih dari yang William rasakan saat ini. “Iya gak apa-apa kok. Santai aja.” Elvina tak ingin memperdebatkannya. Yang ingin segera ia lakukan adalah pergi dari rumah itu, lalu pergi ke rumah Rafael karena Clara pasti sudah menunggunya. “Ayu permisi Mah. Ayu mau pulang,” ucap Elvina untuk yang kedua kalinya beranjak untuk pergi. “Biar Willi yang anterin kamu ke kostan. Besok pagi, Willi juga yang akan menjemputmu dan mengantarkanmu ke kampus,” tutur Amy lemah lembut akan tetapi William yang mendengar itu, sontak ogah-ogahan mengingat jarak dari apartemennya ke kostan Elvina sangat jauh. “Tapi Mah, kostan Vina jauh. Kalau Pagi Willi harus jemput Vina dulu, Willi pasti terlambat. Kenapa harus Willi? Sedangkan sopir aja kita punya 4 orang.” William jelas menolak jika harus menjeput Elvina di esok Pagi. Siapa Elvina? Yang William tahu, wanita itu adalah muridnya yang sangat menjengkelkan di kampus. Menjemputnya? Yang benar saja! Elvina spontan menjawab, “Tapi gak usah, Mah. Ayu bisa naik taksi kok.” Elvina masih tidak enak dengan tatapan dosennya itu. “Gak apa-apa, ini bentuk tanda minta maaf Willi ke kamu. Ya sudah, kamu hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi Mama, karena Susan menitipkan kamu ke Mama.” Amy bersikap sangat manis sehingga William menilainya berlebihan. Tampak raut kesal di wajah William melihat ibunya seperti itu. “Dan kamu Willi, liat aja kalo kamu minta orang buat antar Ayu. Kamu sendiri yang antar!” perintah Amy tak ingin dibantah. Dengan berat hati, William meminta Elvina untuk mengikutinya memasuki mobil dan akan mengantarkannya ke kostan. Suasana hening, tak ada yang berniat membuka percakapan saat berada di dalam perjalanan. “Sayang.” Satu kalimat itu yang meluncur dari mulut William saat menjawab panggilan dari ponselnya. Nadanya bicara terdengar malas, menyiratkan suasana hatinya yang sedang kesal. “Kamu di mana, sih? Di telepon dari tadi juga,” gerutu seorang wanita di sebrang telepon. “Aku ada urusan tadi, kenapa?” tanya William setelah menghela napas. “Bisa ketemu? Aku kangen Sayang.” Suara manja yang terdengar merdu di telinga William, tapi geli di telinga Elvina membuatnya mencibir dalam hati ‘lebay’. “Oke, aku jemput kamu nanti.” William segera mengakhiri sambungan telepon dan meletakkan ponselnya di dashboard mobil. “Vina turun di sini aja. Vina mau naik taksi.” Elvina merasa tidak enak hati sejak tadi, ditambah kekasih William meminta pertemuan tapi dosennya itu tidak menjawab dan tetap mengendarai mobilnya dengan wajah datarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD