LoD_6

1105 Words
Baru juga hari pertama kerja udah dapet musuh. Sebenarnya bukan ini yang aku mau. Emang salahku juga, mungkin baru pertama masuk udah sok-sokan bertindak seperti pahlawan gitu. Tapi, kalo melihat kesusahan di depan mata, masa iya harus tutup mata. Delisa, satu nama yang harus dihindari sepertinya, agar aku tidak terlalu banyak mengalami banyak kendala dan juga mendapat banyak musuh, soalnya tadi ketika aku selesai membenahi virus yang menyerang bagian keuangan, aku bisa melihat dia mengobrol dengan beberapa karyawan lainnya dan berkasak-kusuk ria, menganggap aku seperti tidak ada di sana. Ketika sedang mencoba untuk menetralkan kondisi hati yang buruk, ada seorang lelaki muda yang menghampiriku, “Mbak Mariana, ya? Saya Dimas, Mbak. Udah ditunggu di ruangan bos, mari ikut saya.” Aku mengangguk dan tersenyum, “Maafkan ulah Delisa, pagi-pagi udah bikin geger aja.” Ucap Dimas padaku, aku hanya mengangguk dan bilang, “Gak apa-apa, saya yang salah, kok.” Dimas menggeleng, “Lah, kenapa jadi Mbak Mariana yang salah? Kan emang udah harusnya begitu, masa iya, kita ngeliat orang lagi kelimpungan dapet masalah didiamkan saja?” dalam hati aku menga-aamiin-kan ucapan Dimas, tapi belajar dari pengalaman tadi, aku tidak mau lagi terjebak pada keadaan yang membuatku jadi salah, lebih baik memilih diam dan tidak meneruskan lagi obrolan ini. Aku diarahkan Dimas menuju ke lantai dua, “Bos kita masih muda, Mbak. Jadi santai aja.” Aku hanya mengangguk, lagi dan lagi. Setelah sampai di lantai dua, tepat di depan ruangan bos, Dimas ikut masuk, dan duduk di kursi yang ada di depanku, “Duduk Mbak. Santai aja, jangan tegang gitu.” Dimas mempersilahkanku, aku kebingungan, “Loh, jadi Mas Dimas toh, bosnya.” Dia tertawa, “Maaf, ya. Saya sama Pak Darto bersandiwara. Saya ingin melihat reaksimu saja tadi. Jadi saya bertukar peran, Pak Darto saya kondisikan seolah-olah jadi bos. Delisa juga saya suruh jadi karyawan julid. Saya mau melihat reaksimu terhadap kondisi yang ada di depan mata. Dan ternyata reaksimu sesuai dengan harapan saya, cepat, tanggap, dan tidak mundur ketika menghadapi cacian. Selamat datang di Media Inc.” aku tersenyum, lega. Ternyata Delisa bukan orang jahat, “Jadi Delisa gak se-julid itu, ya, Pak.” Dimas mengangguk lagi, “Enggak. Saya punya cara sendiri untuk mengetes karyawan baru dan semua orang yang ada di sini sudah lolos uji tes saya. Tapi saya lumayan tertarik juga dengan caramu menyelesaikan masalah virus di komputer bagian keuangan tadi, apa background pendidikanmu?” sebenarnya aku heran, memangnya ketika menerima karyawan, Mas atau Pak, ya, aku manggilnya, ikut menyeleksi atau gimana, sih, ya? aku tersenyum sopan, “Saya hanya mantan siswa sekolah ilmu komputer, Pak …” belum beres aku menyampaikan ucapanku, dia memotong, “Mas aja, Mas Dimas. Tua banget saya dipanggil Pak.” Aku mengangguk, “Nah, ini yang saya mau tanya juga tadi. Saya harus manggil apa, oke. Mas Dimas, saya hanya lulusan sekolah komputer biasa, hanya saja saya menyukai bidang pemograman, kebetulan saya juga memegang instalasi absensi siswa dan guru di beberapa sekolah yang ada di sekitar rumah.” Mas Dimas terlihat antusias mendengar ucapanku, “Wah, keren kamu. Kayaknya ilmumu hanya akan sia-sia kalo di sini cuma bekerja sebagai penjaga toko. Tapi enggak apa-apa, kerja saja dulu seperti biasa, nanti kita obrolin lagi mengenai beberapa kemungkinan-kemungkinan yang akan saya tawarkan.” Lalu pintu tuangan diketuk, Delisa yang muncul, “Hai, selamat datang dan selamat bergabung di Media Inc. jangan sungkan, ya, kalo ada yang mau ditanyain.” Aku tersenyum, masih belum bisa membedakan Delisa ini sebenarnya beneran baik seperti yang Mas Dimas katakana atau memang dia memiliki rasa iri beneran kepadaku, karena dari kilatan matanya aku merasakan ada yang lain. “Santai aja, jangan takut gitu sama aku. Tadi tuh hanya peran aja. Mas, sih, aku dikasih peran antagonis, jadikan, tuh si Mariana mikir aku beneran jahat dan julid.” Aku tertawa kecil, “Enggak, kok, Mbak Delisa. Tadi udah dikasih tau juga sama Mas Dimas tentang rencana kalian. Aku udah tau.” Dan setelah Delisa membawa surat perjanjian kerja juga aku tanda tangani, Mas Dimas meminta Delisa untuk nganterin aku ke tempat kerjaku, “Kamu ikut Delisa, ya. Nanti dia yang akan nunjukin kamu ruangan-ruangan yang ada di sini dan juga di mana tempat kerjamu.” Lagi-lagi aku mengangguk, ketika kami akan keluar beriringan, Mas Dimas ngomong, “Tapi kamu harus hati-hati juga, loh, Riana sama Delisa, walaupun baik, dia kadang-kadang suka gigit.” Delisa berbalik menuju ke arah Mas Dimas, “Sini kamu aku gigit beneran, biar ketagihan.” Dimas tertawa, “Malu itu, jangan nyosor gitu di depan Mariana.” Aku tidak bereaksi apa-apa selain tersenyum, aneh melihat tingkah mereka dan apa yang aku lihat ini menimbulkan pertanyaan, kalo hanya sebatas bos dan anak buah, rasanya sikap mereka kok berlebihan. Tapi sudahlah, pengalaman tadi pagi mengajarkanku agar aku tidak terlalu ikut campur urusan mereka. Sesampainya di bawah, Delisa ngomong ke beberapa karyawan lain, “Gais, ini Mariana, dia akan jadi teman kerja kalian. Silakan diatur aja, ya, jadwalnya. Mariana, kita di sini kerjanya shift-shiftan, ya. Hari ini kamu masuk dulu seharian, sambil atur jadwal sama teman-teman. Jam kerja kita ada dua shift. Shift pertama mulai kerja jam sembilan pagi sampai jam tiga sore, tapi harus sudah datang maksimal setengah sembilan karena kita harus beres-beres barang dan bersih-bersih. Shift kedua jam mulai kerja jam tiga sore sampai jam sembilan malam tapi harus datang setengah tiga sore maksimal untuk operan shift. Nanti sambil jalan aja belajar dan lihat-lihat ritme kerja kita, ya.” aku mengangguk. lalu berkenalan satu per satu dengan mereka. “Aku ke atas dulu, ada hal yang harus aku selesaikan sama Bos Dimas.” Mendengar hal tersebut, karyawan yang lain menyoraki, “Cie … cie… yang baru jadian mah, beda. Lagi anget-angetnya, tuh. Gak bisa lepas. Masih terang woy. Malu sama matahari.” Tapi Delisa acuh, dia hanya tertawa dan setengah berlari menaiki anak tangga. Aku masih memproses semua yang terjadi di depan mataku ini, entah bagaimana aku harus bersikap. Ketika sedang berpikir, seseorang mendekatiku, “Mariana, karena kamu orang baru, biasanya orang baru selama satu bulan akan di shift kedua. Setelah sebulan, baru nanti dijadwal dengan teman-teman lain, gak apa-apa, kan?” aku mengangguk, pertanyaan “Enggak apa-apa, kan?” itu seperti bukan pertanyaan yang butuh dijawab, seperti pernyataan yang memang sudah jadi kebiasaan di perusahaan ini. Sebenarnya aku agak terkejut juga, aku pikir tempat aku melamar pekerjaan ini hanya sebatas toko yang menjual alat-alat komputer, tapi ternyata ini juga merupakan perusahaan IT. "Aku ikut aja, Mbak Leli. Terima kasih, ya." hanya itu kata yang aku ucapkan, selebihnya, hari ini, aku hanya melihat-lihat dulu bagaimana cara kerja mereka dan mencoba mengikuti ritme kerja yang ada di toko ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD