LoD_13

1120 Words
Kembali terlihat bos Dati dan Pak Danar berbisik-bisik, mungkin sedang berdiskusi tentang permintaanku. Aku menunggu dengan cemas, sebenarnya. Jika proyek ini gak jadi, aku kehilangan jumlah uang yang besar, yang sudah aku rencanakan bahwa uang itu akan aku kasih ke Tante Andriane sebagian, sebagian lagi akan aku gunakan untuk membeli peralatan komputer dan laptop yang biasa aku gunakan untuk kerja. Aku melihat jam, sudah menunjukkan pukul setengah tiga, sebentar lagi asar dan aku juga ada jadwal kunjungan ke sekolah-sekolah yang masih memakai jasa program absensi untuk siswa dan guru di sekolah yang ada di sekitar rumahku, jadi aku memberanikan diri untuk pamit duluan. “Maaf, Pak Danar, semuanya. Jika masih akan didiskusikan mengenai proyek yang sedang dibahas ini, saya izin untuk menjadwalkan ulang pertemuan kita. Karena sebentar lagi asar dan saya juga ada janji dengan orang lain.” Pak Danar tersenyum penuh arti, “Baik-baik. Kamu menang. Oke, Dati akan menyiapkan perjanjiannya dan juga surat keterangan perlindungan hukum atas kamu.” Aku menganggukkan kepala, mencoba terlihat biasa saja, padahal di dalam hatiku aku bersorak. Proyek dua ratus juta, cuy. “Baik, Pak. Terima kasih.” aku turun dari podium, menuju ke arah Dati yang sudah bangun dari duduknya, “Untuk uang mukanya, segera ajukan ke finance, ya, Dati. Berarti berubah persentasenya. Uang muka sebesar seratus juta, termin kedua sebesar dua puluh juta, dan termin ketiga, pelunasannya sebesar tiga puluh juta.” Dati terlihat menganggukkan kepala, “Berarti kamu dan Dimas juga Viko sudah bisa mulai bekerja, besok, ya, Ri.” Aku kembali mengangguk, “Siap, Pak.” Dati membuka pintu, mempersilahkan aku keluar duluan lalu disusul olehnya, “PARAH! Keren banget, sih, lu, Ri. Gak nyangka, gue, penawaran honornya bisa naek tinggi gitu.” Aku melihat ke arahnya, “Jujur aja, kalo ini bukan karena lu, gue pasti batalin. Kita, gue lebih tepatnya gak pernah tau, data yang dikumpulin itu untuk apa. itu data rahasia, loh. Kamu bisa jadi salah satu orang yang datanya diambil. Iya kalo hanya digunakan untuk meningkatkan omset, kalo seandainya data itu dijual, entah ke mana. Terus orang-orang yang datanya dipake itu dirugikan, gue juga ikut kecipratan dosanya, weh.” Ada suara yang menyahuti ucapanku dari belakang, “Tenang aja, Ri. Gak bakal sampe se-bahaya itu.” Aku dan Dati menengok ke belakang, terlihat Mas Dimas dan Mas Viko yang datang, mensejajari langkah aku dan Dati. “Kok kamu bisa yakin gitu, Mas?” dia menganggukkan kepala, “Karena aku sudah beberapa kali bekerja sama dengan Pak Danar dan sejauh ini, aman. Tidak terjadi apa-apa sama aku dan Viko.” Aku menghela napas panjang, “Terus, gimana ceritanya kalian bisa ngerekomendasiin aku ke Pak Danar dan bos Dita?” Mas Dimas tertawa, “Bos Dita itu namanya Pak Handoyo, bapaknya aku sama Viko.” Aku geleng-geleng. “Kenapa ngerekomendasiin kamu? Ya, karena sejak hari pertama, kamu sudah membuat aku tertarik. Begitu juga dengan Viko. Dan entah kenapa, feelingku mengatakan kamu itu bukan sekedar anak programmer biasa yang hanya iseng ngerjain proyek absensi di sekolah-sekolah, seperti yang kamu ceritain kemarin, ketika interview kerja. Jadilah aku dan Viko sepakat, menggaet dan merekomendasikan kamu dalam proyek ini.” Aku kembali bertanya, “Berarti, ruangan yang aneh di toko itu, tempat orang-orang kalian mengerjakan proyek semacam ini?” Mas Dimas menempelkan telunjuknya di depan bibir, “Ssstt …” lalu matanya mengarah ke Dati. Seolah dia tidak ingin Dati tau mengenai hal ini, setelahnya aku diam dan terus mengikuti langkah Dati menuju ke lantai awal kami bertemu tadi. Lalu kami diarahkan menuju ke sebuah ruangan, “Ini ruanganku, silakan duduk dulu. Sebentar aku mau print-kan surat perjanjian dan kerja samanya, ya. Silakan Mas Dimas dan Mas Viko.” Setelah Dati keluar, aku mengarahkan pandanganku ke Mas Dimas, dia juga melihatku, dan bertanya, “Apa?” aku mendecah, tidak sabar, “Jawab pertanyaanku tadi.” Mas Dimas menganggukkan kepalanya, “Iya. Pasti aku jawab, tapi gak di sini. Setelah ini kita ke toko, ya. Nanti di sana akan aku jelaskan semuanya.” Bahuku turun lemas, tanda sedikit kesal sama Mas Dimas. “Mas Viko, kemarin Mas Viko bilang kalo Mas Viko lebih suka ketemu sama konsumen dibandingkan berada di depan laptop, terus, kok sekarang ikutan proyek ini?” Mas Viko yang sejak tadi diam, menggedikkan bahunya, “Entah. Kesambet kalik.” Mas Dimas tertawa, “Jangan heran, ya. Viko emang gitu, hemat bicara, sedikit bekerja.” Aku menjawab ucapan Mas Dimas, “Dikit bicara, dikit bekerja, terus yang banyak apa?” kembali Mas Dimas yang menjawab pertanyaanku, “Makan! Viko paling pinter dan paling getol kalo urusan makan.” Terlihat Viko menganggukkan kepalanya, “Setelah ini makan dulu, ya. Baru ke toko.” Aku menimpali ucapan Mas Viko, “Makan, aku setuju. Aku juga lapar, tapi sebelumnya cari masjid dulu, ya. Atau cari tempat makan yang ada musolanya. Tapi kalo ke toko, gak, deh. Aku gak mau ke sana, nanti ketemu sama Leli and the geng. Males. Aku, ya, trauma ketemu senior begitu. Aku gak dikasih waktu makan, loh, sama dia, kemarin. Beruntung Mas Viko ngasih aku waktu makan, ketika Mas Viko baru datang itu.” Mereka berdua terkejut, “Kamu baru makan udah sore?” serempak mereka bertanya ke arahku, aku menganggukkan kepala, “Iya. Sedih banget. Makanya aku juga memutuskan untuk gak nerusin kerja di situ. Selain waktu kerja yang sampe malam, makan siang juga kesorean, dan lingkungannya, aku gak suka sama vibesnya, senioritasnya kental banget.” Mas Dimas meneruskan ucapannya, “Leli harus diberi surat peringatan, Vik. Gimana mau ada yang betah kerja di toko, kalo dia begitu.” Mas Viko menjawab ucapan Mas Dimas, “Pacarmu itu, harusnya kamu gak manjain dia terus. Leli itu bestinya pacarmu, dan Leli itu kalo ditegur, selalu saja berdalih sudah izin sama pacarmu. Bisa apa, aku. Apalagi mereka gak tau kalo aku ini adikmu, yang punya toko, tambah gak ada kan, kendaliku.” Aku diam tapi bertanya-tanya juga, kenapa kok karyawan di toko gak ada yang tau kalo Mas Viko adalah adik Mas Dimas. Niatku ingin menanyakan hal ini, tapi Dati keburu datang, menyerahkan amplop ke tangan kami masing-masing, “Kalo sudah dibaca, dipahami, dan sepakat dengan isi surat perjanjian tersebut, silakan ditandatangani di space yang ada nama kalian. Rangkap dua, ya. Yang atas itu pegangan untuk kantor, yang bawah untuk kalian bawa pulang. Lalu, selanjutnya, jika ada yang ingin ditanyakan atau dikoordinasikan dengan Pak Danar bisa langsung menghubungi nomor ini. Ini nomor Pak Dian, dia tangan kanan Pak Danar. Dan ruangan yang akan dipakai adalah ruangan yang tadi kita kunjungi tapi di lantai satu. Ada meja yang sudah disediakan dengan nama kalian terpasang di masing-masing meja. Ini kartu akses untuk menuju ke sana. Dan ingat satu hal lagi, jika kalian akan ke lantai tersebut, pastikan tidak ada yang mengikuti.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD