LoD_16

1140 Words
Makan malam yang sagat sedap sekali, hanya saja agak sedikit terganggu karena sejak tadi handphoneku bergetar, Tante Andriane rupanya memerhatikan, “Diangkat dulu, Dek, itu ada yang nelepon.” Aku menggeleng sambil terus menyendokkan nasi dan sayur sop kesukaanku, “Biar aja, Tan. Ini urusan kerjaan, bisa besok lagi. Aku membiasakan kalo untuk urusan kerjaan emang hanya jam kerja aja, dari jam sembilan pagi sampe jam empat sore, sisanya akan aku urus keesokan harinya.” Setelah makan selesai, Tante Andriane langsung masuk ke kamarnya, sementara aku membawa laptopku ke ruang tengah. Aku butuh suasana yang tenang dan ruang tengah adalah tempat yang lumayan bikin nyaman kalo kerja. Aku mengotak-atik link yang sedang aku kerjakan, mencoba untuk mengirimkan link itu ke handphoneku, lalu aku coba untuk membukanya, mengisikan data yang diminta, lalu mengecek email, apakah data yang masuk sudah sesuai dengan yang diperlukan. Hanya saja ada sedikit kekurangan, dari lima nomor yang aku coba untuk test, ada satu nomor yang hasil klik linknya tidak masuk. Aku mencoba untuk mengotak-atik apa yang salah. Kalo dari lima nomor saja ada satu yang tidak masuk, bagaimana kali ada ratusan bahkan ribuan nomor yang klik link tersebut, bisa jadi ada puluhan nomor yang tidak terekam, akhirnya akan merugikan yang ikut dan viewer yang sudah klik link. Sampai sekitar jam setengah tiga subuh aku mencoba-coba sistem ini. Berada di depan laptop selama ini membuat mataku agak pedes juga, jadi sebentar aku mencoba memejamkan mata. Ternyata yang aku lakukan ini, yang aku niatkan memejamkan mata hanya sekedar saja, labas, sampai azan subuh terdengar. Aku terbangun karena suara Tante Andriane keluar dari kamar menuju ke dapur. “Kamu tidur di situ, Dek?” tanya Tante yang melihatku ada di ruang tengah dengan laptop yang menyala, “Iya, Tan. Lagi ngerjain programnya Kakak, malah ketiduran.” Karena sudah azan subuh, aku segera membereskan barang-barangku, membawanya ke kamar, dan bergegas salat subuh. Setelah selesai salat, aku keluar dan menuju ke kamar Kakak. “Kak, udah bangun?” aku mengetuk pintu kamarnya. Ini adalah salah satu kebiasaan di rumah kami yang ditanamkan Tante Andriane dari kecil, “Kalian memang saudara kandung, tapi masing-masing pasti punya urusan pribadi. Jadi, ketika mau masuk ke kamar salah satu dari kalian, kamar Tante atau kamar dan ruangan siapa pun, wajib ketuk pintu dulu, tanya sama yang punya ruangan kita boleh masuk atau tidak, jika sudah diperkenankan masuk, baru masuk. Kalo tidak dijawab, kita gak boleh masuk ke dalamnya. Begitu juga dengan memakai barang orang lain, harus izin dulu, dan boleh dipakai jika sudah ada izin dari yang punya.” Dan kebiasaan itu sampai sekarang, kami dewasa ini tetap dijalankan. “Masuk aja.” Setelah Kakak menjawab begitu, aku masuk ke kamarnya, “Aku udah bikin program yang Kakak mau. Jadi link yang aku udah share ke Kakak itu nantinya yang akan dipakai untuk Kakak promosi. Nanti, viewer Kakak akan masuk ke link tersebut, mengisi data, dan meng-klik tanda kotak kecil itu. Nah, kalo mereka sudah meng-klik kotak kecil tersebut berarti satu suara mereka udah terekam. Nah, untuk mendapatkan itungan like yanga banyak, mereka harus masuk berkali-kali dengan email dan nama yang sama, nanti sistem yang akan merekam berapa kali mereka masuk ke web tersebut dengan meng-klik link yang dikasih. Nah, untuk narik data dari link ke excel, ini aku udah siapin spreadsheetnya, jadi nanti tinggal Kakak tarik aja datanya dari situ, bakal langsung ketahuan, siapa yang paling banyak klik link di hari itu. Ya, terserah Kakak, sih, mau narik datanya per berapa waktu sekali. Bisa sehari sekali, seminggu sekali, atau sebulan sekali. Tapi jangan satu jam sekali, ya. karena bisa jadi linknya belum diklik lagi atau yang klik link belum terlalu banyak. Gimana, Kakak ngerti, kan? Mudah kan, Kak, pengaplikasiannya untuk viewers Kakak?” Kakak menganggukkan kepala, “Makasih, ya, Dek. Nanti Kakak uji coba dulu ke temen-temen deket, ya. Biar Kakak paham dan praktek langsung.” Setelah menjelaskan semuanya, aku permisi keluar kamar, “Dek, Kakak udah transfer ke rekening Adek, dua juta, ya. Nanti kalo programnya narik banyak sponsor, Kakak tambahin lagi.” Aku tersenyum saja, “Padahal tadinya aku mau bilang, buat Kakak mah gratis aja. Tapi ternyata, udah ditransfer, ya, siapa yang bisa nolak, kan?” aku nyengir, diikuti wajah Kakak yang menyesal, “Yah, tau gitu gak Kakak transfer.” Dan akhrinya kami tertawa bareng, menyadari kekonyolan tingkah laku kami. “Nanti kalo aku butuh bantuanmu untuk presentasi ke brand-brand yang ngajak kerja sama, mau, ya, Dek. Aku kan cuma artisnya gitu, yang tampil di depan, sementara yang bikin program kan, kamu. Ya, mau, ya, adikku yang cakep.” Aku pura-pura berpikir, “Ehm … gimana, ya?” dan Kakak nyamperin aku, memelukku, “Nanti kalo sukses, kamu bakal aku angkat jadi manajerku, aku gaji, serius.” Aku tertawa, “Iya, deh, iya. Siapa sih yang bisa nolak permintaan Kakak.” Dan kemudian aku keluar, masuk ke kamar karena harus mulai mencicil untuk mengerjakan proyek Pak Danar. Aku mulai dengan mengelompokkan jenis produk, dari mulai produk kebutuhan kamar mandi, sabun, sampo, pasta gigi, lalu sabun cuci baju. Sekitar setengah jam aku mengelompokkannya, berdasarkan jenis. Setelah itu, aku mengelompokkan jenis-jenis barang tersebut dijual di toko mana aja, berdasarkan daerah, lalu harga. Ini proyek besar pertama yang aku tangani. Aku tidak berpikir bakal sebegini banyaknya data yang harus dikelompokkan, sudah dua jam aku duduk di depan komputer, belum juga selesai. Sedang fokus mengerjakan urusan mengelompokkan data ini, handphoneku berdering, nama Mas Dimas terpampang di sana, “Ri, udah sampe mana ngerjain proyeknya?” ini Mas Dimas kayak yang gak ngerti aja, kalo proyek begini banyak printilannya, “Ih, jadi tangan kanan Pak Danar, sekarang, pake nanya progress segala. Masih panjang ceritanya, udah dua jam aku duduk di depan laptop, mengelompokkan jenis barangnya aja masih belom selesai, belom lagi masukin ini ke data base.” Mas Dimas tertawa di ujung telepon, “Ya ampun, sensi amat, Ri. Santuy, aja, kali. Kamu tuh, laper, mungkin, makanya cranky gitu.” Aku mendengkus kesal, “Terus, Mas Dimas nelepon aku, hanya untuk nanyain ini?” tanyaku tentang tujuan Mas Dimas nelepon aku, “Enggak. Aku mau ngajak ketemua kamu sama Viko. Tapi kayaknya gak bisa, ya?” aku mengangguk, kemudian sedetik kemudian sadar bahwa Mas Dimas tidak bisa melihat anggukan kepalaku, “Gak bisa, Mas, kalo hari ini.” Dan Mas Dimas pun mengakhiri teleponan kami, “Oh iya, Mas. Kemarin, waktu kita di gedung itu, aku ngeliat Delisa, loh, sama Pak Danar.” beberapa detik kemudian, hening, sunyi. Aku pikir Mas Dimas sudah mematikan telepon, tapi ternyata telepon masih tersambung, "Mas, halo, Mas Dimas?" yang ditanya tergagap menjawab panggilanku, "Iya, Ri. Ngapain, ya, Delisa ada di sana?" aku menggedikkan bahu, "Entah, Mas. Tapi sepertinya ada sesuatu yang entah apa, aku juga gak tau. Cuma keliatan aneh aja." dan setelahnya, Mas Dimas menutup telepon. Sepertinya dia juga merasakan ada sesuatu yang terjadi, tapi belum tau apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD