LoD_4

1150 Words
Setelah pulang dari sekolah untuk membenahi instalasi program absensinya yang kacau, aku melajukan motorku ke tempat pembelian es krim di pinggir jalan yang ada di dekat sebuah sekolah internasional. Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit saja, aku langsung memesan es krim vanila kesukaanku ke abang yang jualan, “Bang, es krim vanila satu porsi, polos aja seperti biasa.” Tanpa banyak basa-basi, si abang yang sedang dikerubutin anak-anak sekolah ini hanya mengacungkan jempolnya, tanda dia sudah memahami pesananku. Dan setelah menunggu cukup lama, sampe aku selesai membaca semua email yang masuk di handphoneku, akhirnya es krim pesananku sampai, “Maaf, Mbak, kelamaan, ya, nunggunya. Anak-anak ini kalo lagi istirahat emang kayak zombi kelaparan yang harus diberi makan. Andai saja ada aplikasi untuk menilai perilaku mereka, saya bakal kasih mereka yang gak mau sabar nunggu dan yang suka menyerobot nilai yang rendah.” Aku mengernyitkan dahi, “Maksudnya gimana, sih, Bang?” lalu si abang duduk di sebelahku, “Jadi gini misalnya, Mbak. Mereka masing-masing dibekali nilai sama sekolahnya, nah nanti setiap tindakan, perilaku, hingga nilai ujian mereka akan langsung dipencet di situ, nah, kita nih, yang berhadapan sama mereka juga bisa memberi nilai atau malah mengurangi nilai tergantung perilaku mereka.” Aku mulai membayangkan maksud dari si abang ini, “Misalnya mereka punya semacam token, nilai atau modal mereka misalnya seribu poin. Nah, kalo mereka belanja ke Abang, setelah selesai mereka belanja, mereka harus menyodorkan token tadi dan membebaskan Abang memberi penilaian untuk mereka, kalo perilaku mereka bagus, si abang tinggal pencet angka seratus poin misalnya, nanti dari modal yang seribu poin tadi akan langsung bertambah menjadi seribu seratus poin, begitu juga sebaliknya kalo mereka bikin si abang kesal, nyerobot antrian atau gak sabaran, ketika mereka menyodorkan tokennya, Abang bisa juga memencet minus lima pulih poin, yang artinya poin mereka juga berkurang dari yang awalnya seribu dikurangi lima puluh poin jadi tersisa sembilan ratus lima puluh poin, gitu, ya, Bang?” si abang mengangguk-anggukan kepalanya dengan semangat, “Tepat. Jadi gak cuma pelanggan aja yang bisa menilai penjual, yang merasa dirinya adalah raja, tapi pedagang juga punya hak sama.” Aku menganggukkan kepala, “Ini bakal jadi terobosan paling keren kalo direalisasikan." Setelah menghabiskan es krim vanilaku, aku pamit ke si abang es krim, lalu melajukan motorku untuk langsung menuju ke rumah. Selama perjalanan aku memikirkan konsep yang cukup unik ini, andai dunia bisa seperti itu, menilai orang bisa langsung di depan matanya, mungkin tukang gosip tidak akan berkeliaran lagi di muka bumi ini, aku jamin, karena mereka akan langsung diberi nilai minus seribu, mungkin kalo sampe ketauan ngomongin orang atau penjahat yang suka membuat keonaran, nilai mereka langsung berkurang otomatis, dan jika sudah habis modal poin mereka, maka otomatis mereka akan langsung menghembuskan napas mereka yang terakhir di tempat. Ide ini seperti menari-nari di kepalaku, suatu saat nanti, aku akan menciptakan sesuatu yang seperti ini, alat yang akan ditanam dan berhubungan langsung sama tubuh manusia, alat ini bisa mendeteksi jika ada bahaya di depannya, jika si pemilik tubuh melakukan kejahatan atau kebaikan, maka poin akan langsung secara otomatis dikurangi atau ditambahkan. Setelah menempuh jarak dan waktu dua puluh menit, akhirnya aku sampai di rumah, dan ketika memasukkan motorku ke dalam gerbang, handphoneku berbunyi, ketika aku memeriksanya, ternyata itu email masuk. Nanti saja, pikirku untuk membukanya. Aku benar-benar lagi kepanasan, aku butuh untuk mandi, aku butuh untuk merebahkan tubuhku di bawah pendingin ruangan yang ada di kamarku. “Assalamualaikum, Tan, Kakak. Yuhuu … aku pulang.” Pintu depan rupanya tidak dikunci, jika seperti ini, biasanya Tante Andriane sedang berada di kebun tanaman anggrek yang ada di belakang. Dan aku bergegas untuk menemuinya, benar dugaanku, Tante Andriane memang berada di sini, “Tante, ngapain ih, siang-siang begini di kebun. Panas, Tan.” Tante Andriane melambaikan tangannya ke arahku, “Iya, sebentar lagi Tante selesai, lekas mandi. Baumu sampai sini, Dis.” Aku memonyongkan bibirku, “Tante, ih. Enak aja, aku gak bau, tau.” Lalu menutup pintu sambung yang menghubungkan antara dapur dan taman belakang. Tapi naas, tepat ketika aku berbalik, aku langsung berhadap-hadapan muka dengan Kakak, “Kamu itu cewek, loh, Dis. Ini baju sampe basah kena keringet gitu, kamu gak malu apa, kalo diliat cowo atau temanmu gitu?” aku menggelengkan kepalaku, “Kebetulan aku ini hanya kaum jelata, kaum proletar, Kak. Cowo juga kayaknya udah males ngeliat aku, kalopun mereka melihat atau melirikku itu karena aku lebih keren dan lebih pintar dari mereka. Beda dengan kaum lelaki yang melihat dan memandang Kakak, kalo itu jelas karena Kakak cantik.” Dia menjawit hidungku, “Kamu itu kalo diomongin gak pernah bisa nerima, semua perkataan Kakak kamu bantah. Nanti, kalo kamu udah merasakan jatuh cinta, pasti pandanganmu tentang pria, berubah, penampilanmu yang kucel, kumel, asyem begini, akan berubah tiga ratus enam puluh derajat.” Aku hanya mengangguk-anggukan kepala. Ketika sudah siap-siap mendengarkan orasi tambahan dari Kakak, handphoneku berbunyi. Lagi-lagi bunyi email seperti yang tadi, ternyata ini pengumuman kalo aku lolos tes wawancara, besok akan ada tes psikoligi, “Tante, Kakak.” Ucapku dengan setengah menjerit, Kakak dan Tante yang penasaran, langsung berlarian dengan tergesa, seperti sedang lomba lari menuju ke arahku, “Apaan, ada apa sih. Siapa yang sakit, siapa yang meninggal?” dan aku yang hanya memanggil mereka, jadi berasa bersalah, “Coda dengerin ini,” lalu aku membacakan isi pesan tadi, “Saudari Gendis, selamat, kamu diterima bekerja pada toko kami, diharapkan besok datang ke kantor pukul delapan pagi, dengan menggunakan baju sebaik dan sesopan mungkin. Silakan datang dan jangan terlambat. Kami tunggu kehadirannya di kantor.” Tanpa aba-aba, tanpa dikomando Kakak dan Tante Andriane memelukku, “Adek, selamat, ya. Akhirnya doa Tante terjawab, kamu bisa punya gaji tetap, gaji bulanan. Untuk memenuhi kebutuhanmu, Dek.” Tante Andriane menghadiahiku kecupan bertubi-tubi, sementara Kakak, dia melihatku dan meneteskan air mata, “Selamet, ya, Dek. Jangan disia-siakan kesempatan bagus ini, bisa jadi, abis ini kamu ditawarin kerja di lab, jadi itu hasil eksperimenmu di gudang bawah minimal ada satu atau dua yang bermanfaat dan gak jadi sampah numpuk.” Momen haru ini dirusak sama Kakak, karena jengkel aku melempar bantalan kursi yang ada di dekatku ke arah Kakak, “Sampah apaan ih, itu tuh penemuan istimewa, penemuan hebat. Suatu saat nanti aku bakal jadi orang terkenal dan bakal diundang ke berbagai acara untuk memamerkan hasil-hasil penelitian itu yang Kakak bilang sampah tadi.” Mungkin Kakak merasa dia gak mau kalah, ucapanku tadi dibalasnya, “Aamiiin, tapi yang ada di depan mata dulu, Dek. Itu sampahmu besok diberesin, jangan enggak.” Dan ketika bilang begitu, raut wajahnya tersenyum seperti mengejekku. Melihat kedua ponakannya bakal adu mulut, Tante Andriane bangkit dari duduknya dan melerai kami, “Udah ah, jangan bertengkar.” Ucap Tante, tapi aku masih sebal dan singut, “Ituloh, Tan, Kakak duluan yang mulai.” Tante Andriane yang pusing, mengajak dan menggandeng tanganku ke kamar, “Iya-iya, Tante tau. Tapi sekarang kamu mandi dulu, abis itu kita makan, ya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD