LoD_11

1065 Words
Selesai nganterin Kakak casting, aku langsung menuju ke kantor Dati, karena tadiDati kasih tau kalo bosnya mau tau sedikit info dan rencana program yang akan aku buat. Tidak butuh waktu lama, sekitar dua puluh menit aku sudah sampai di kantor Dati, “Gue udah di lobi kantormu. Gak bisa masuk, nih. Katanya harus dijemput sama orang yang kerja di gedung ini. Kamu bisa jemput gue?” aku menelepon Dati ketika udah sampai di lobi kantornya. Seperti kantor pemerintahan pada umumnya, yang harus menggunakan pass card worker untuk masuk ke dalam. Jadilah aku menunggu Dati di sini, sepuluh menit kemudian Dati datang, nyamperin aku, “Maaf, ya, kelamaan nunggu. Ikut gue. Ehm … jadi nanti bos gue itu mau tau, ya, lu presentasi sedikit lah tentang program yang nanti bakal lu kerjain. Jangan ngomong apa-apa sebelum ditanya, karena proyek ini merupakan proyek rahasia kantor gue.” Aku mengernyitkan dahi, bingung. Karena Dati sebelumnya tidak memberitahuku mengenai hal ini, “Tapi gue aman, kan? Gak bakal terjadi apa-apa sama gue? Jangan aja abis ini gue jadi bahan pencarian polisi, masuk daftar pencarian orang.” Aku tertawa, tapi tidak dengan Dati, wajahnya terlihat serius dengan ucapannya barusan, “Plis, gue gak lagi bercanda.” Aku menghentikan langkahku, beberapa langkah di belakang Dati, menyadari aku berhenti, Dati ikut berhenti dan nyamperin aku, “Lu kenapa berhenti?” aku menggelengkan kepala, “Kalo bahaya, gue gak jadi, deh. Gue gak mau nyawa gue dalam bahaya, apalagi Kakak sama Tante Andriane, gue gak mau ngorbanin dan ngebahayain mereka.” Dita tertawa, “Lu tuh, ya. Ya gak bakal sampe segitunya lah. Kan cuma disuruh jangan bilang-bilang proyek ini punya siapa, gitu doank. Biasa, kan, buat lu juga. Kalo programmer ngerahasiain kerjaannya, gak apa-apa, kan?” aku masih ragu, “Ya, enggak apa-apa, sih. Tapi kalo bahaya, gue gak mau.” Dita menggeleng, “Gaklah, aman.” Dengan sedikit ragu, akhirnya aku berjalan kembali mengikuti Dita dari belakang. Setelah masuk ke dalam lift, Dati memencet tombol lantai B3, “Kita ke basement, karena semua udah kumpul di sana.” tidak ada yang berarti dalam perjalananku di dalam lift bersama Dati. Setelah sampai di lantai B3, Dati kemudian mengarahkanku ke pojokan yang ada di lantai ini, dan ada semacam pintu dengan gagang kayu yang sudah rusak, “Ini memang disengaja, agar kalo ada orang yang nyasar sampai lantai ini, menganggap pintu ini rusak dan tidak ada yang menarik di sini.” Aku masih mencoba mencerna semua yang dikatakan Dati, “Diingetin, ya. Nanti kalo kamu ke sini sendiri, udah hapal.” Aku menganggukkan kepala sekedarnya. Setelah masuk melalui pintu tadi, kami turun ke bawah menggunakan tangga, dan berbelok ke kiri terdapat lorong panjang yang terus kami telusuri, setelah seratus meter, Dati berhenti, dia mengetuk tanda merah, seperti sengaja dibuat di situ, sebanyak tiga kali, “Kalo udah di sini, ketuk tiga kali, agar yang di dalam paham.” Setelah itu, tembok yang tadinya terlihat biasa saja terbuka seperti pintu lift. Aku dan Dati masuk ke dalam ruangan ini, ruangan ini, aku menjerit kecil, terkejut, ruangan ini yang ada di mimpiku, kemarin. Mendengar aku menjerit, Dati menengok ke arahku, “Lu gak apa-apa, kan?” aku menggeleng, “Gak apa-apa, lanjut aja.” Ucapku padanya. Kami masuk, ada dua lantai di dalam ruangan ini, lantai satu, terdapat open space, banyak orang bekerja di sini, menghadapi komputer, dengan data-data yang terpampang di layar mereka, sementara di lantai dua, terlihat sebuah ruangan besar, seperti ruang rapat dengan kaca besar yang mengelilinginya, sehingga dari atas bisa melihat yang di bawah, sementara yang di bawah juga melihat yang ada di atas. Kami berjalan menuju tangga ke lantai dua tersebut, sampai di pintu, Dati mengetuk pintu tersebut sebelum masuk, lalu Dati memperkenalkanku ke orang-orang yang ada di situ, “Selamat siang semua, ini Mariana, saya biasa memanggilnya Riana atau Ri. Dia yang akan menjalankan proyek yang sudah direncanakan.” Aku menganggukkan kepala, tersenyum sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, dan ada satu orang yang tidak asing untukku, Mas Dimas dan Mas Viko, aku membelalakkan mata, dan mereka tersenyum. Aku kemudian mengernyitkan dahiku, apa hubungannya Mas Viko dan Mas Dimas ada di sini juga. Namun belum sempat aku bertanya ke Dati, dia sudah mengajakku duduk. Lalu kami mendengarkan pemaparan dari pemimpin rapat, “Dia bos gue, yang pake kacamata dan kaos pink itu si pendana yang bayar honor lu.” Dati menjelaskan siapa-siapa saja yang ada di ruangan itu, “Terus, itu Mas Dimas sama Mas Viko, ngapain di situ?” Dati menengok ke arahku, “Kamu kenal sama mereka?” aku menganggukkan kepala, “Iya.” Dati membelalakkan mata, “Pantas saja, kemarin ketika aku mengajukan namamu, bosku langsung setuju tanpa banyak tanya. Padahal biasanya kalo ada proyek begini, butuh waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan kami menyelidiki calo programmer yang bakal pegang programnya.” Aku masih belum mengerti arah omongan Dati, “Terus, apa hubungannya sama mereka?” Dati menggeleng dengan tidak sabar, “Mereka itu anak-anaknya bos gue. Mungkin mereka udah nyeritain lu ke bos gue, jadi ketika gue ngajuin nama lu, dia langsung setuju.” Aku masih gak ngerti, bener-bener bikin pusing, “Bisa, nggak, sih, kalo ngasih penjelasan itu jangan setengah-setengah. Terus dari mana, mereka tau kalo lu berteman sama gue?” tapi Dati tidak menjawab, malah menempelkan jarinya di depan bibir, “Sst … nanti gue jelasin.” Sisanya aku mendengar penjelasan pemimpin rapat, “Proyek ini bertujuan untuk mengetahui data konsumen kita yang dibutuhkan Pak Danar, untuk mengembangkan produk dan meningkatkan penjualannya. Kita hanya perlu bikin program yang bisa melacak data, nama lengkap, latar belakang konsumen hanya dengan nomor handphone yang mereka cantumkan ketika mereka belanja salah satu produk milik Pak Danar.” Aku baru tau, yang pake kaos pink itu, Pak Danar. “Selanjutnya, saya persilahkan Ri untuk menjelaskan secara garis besar program yang akan dikerjakannya. Gak perlu detail, hanya seringkasnya saja, yang penting kami dapat gambaran.” Dati menyenggol bahuku, “Maju sana.” aku terkejut, “Maju banget, nih.” Dia menganggukkan kepala. Dengan langkah ragu dan pelan, aku maju ke podium, “Saya tidak membawa alat peraga. Hanya saja, saya berencana untuk menyediakan barcode untuk setiap produk yang terdeteksi di kasir. Misal A membeli produk sabun, ketika di kasir, produk tersebut terdeteksi, dan kasir hanya perlu memberikan barcode yang siap discan oleh konsumen menggunakan handphone mereka. Tapi hal ini tentu harus ada trigger untuk konsumen mau melakukan scanning barcode tersebut," Ucapku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD