Bab 7

1899 Words
"Kenapa diam, Mas?" tantangku tidak tahan karena beberapa menit lamanya dia hanya diam. "Apa? Kamu mau pergi, 'kan? Bagus. Aku memang sudah mengharapkan ini dari dulu," tegasnya tanpa menatapku, lalu pergi ke kamar. Dadaku lebih terasa sakit ketika melihatnya berjalan tanpa beban setelah aku mengatakan hal itu. Bohong jika aku mengatakan tidak terluka ataupun kecewa. Bahkan, aku merasakan sakit yang baru kali ini aku rasa. Bisa saja ini memang takdir yang harus aku jalani, tapi kenapa sangat terasa berat dan menyakitkan? Apakah aku memang pantas hidup dalam rasa sakit? Ya Allah, andai saja aku bisa memilih, aku ingin terlahir memilki orang tua yang baik, penuh kasih, dan selalu anda di sampingku. Sayangnya tidak, aku sudah dilahirkan seperti ini. Mungkin Allah ingin aku mandiri dan tidak bergantung kepada siapapun selain-Nya. Berarti aku harus menjalani kehidupan ini dengan ikhlas dan hati yang lapang. "Akhirnya kamu sadar diri juga, kenapa enggak dari dulu?" sindir Kania, tapi entah kenapa di matanya aku malah melihat kesedihan. Aku menatapnya penuh senyuman. "Aku tidak tahu apa tujuanmu mendekati Mas Bagas, tapi satu hal yang pasti kalau suamiku itu tidak sebaik yang kamu tahu. Tapi kamu tenang saja, aku akan selalu mendoakan kamu agar selalu bahagia, dan tidak mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang aku dapatkan." Aku berbicara dengan lembut tanpa emosi sedikit pun dan Kania juga berubah menjadi diam. Ia tampak sedang menyembunyikan kesedihan di wajahnya dan hal itu membuatku malah ingin menatapnya ... lekat, sangat dalam. Akan tetapi, tidak hanya membalas tatapanku, dia malah duduk di sofa dengan tubuh yang tidak bertenaga. Hatiku bertanya-tanya ketika melihat hal ini, bukankah seharusnya dia bahagia? Setelah beberapa saat, Mas Bagas keluar dengan dompetnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang yang sangat sedikit. "Ini, anggap saja sebagai hadiah kenang-kenangan!" ucapnya merendahkan, lalu mendorong tubuhku sampai tubuh ini terjatuh dan memeluk koper. Aku mengusap perutku beberapa kali dan berdoa agar dia baik-baik saja. Tidak apa-apa jika aku yang terluka dan harus pergi, yang terpenting selama ini aku tidak pernah melaksanakan hal-hal yang mendurhakai suamiku. Melihatku yang tidak kunjung beranjak, Mas Bagas menarik koperku, dan membawanya sampai keluar pintu. "Cepat pergi atau aku lempar tasmu ke jalanan!" ancamnya yang aku balas hanya dengan seulas senyum. "Terima kasih atas kebaikan kamu yang sudah memberikan aku kesempatan untuk menjadi istri di sini, Mas. Maaf, kalau memang aku tidak bisa menjadi istri yang sempurna untuk kamu. Aku harap wanita yang kamu cintai juga segera menjadi istri seperti yang kau inginkan," ucapku panjang lebar sebagai ucapan perpisahan. "Aku enggak butuh nasehat darimu!" teriaknya tepat di depanku. Lagi-lagi aku hanya bisa membalasnya dengan seulas senyuman. "Oke, aku pergi. Nanti jangan pernah berharap aku mau kembali padamu ya, Mas, karena luka yang sudah kau tinggalkan di hatiku sangat dalam, dan menyakitkan." Usai mengatakan itu, aku segera menarik koper, dan menjauh dari pintu. Aku bahkan menutup pintu gerbang terlebih dahulu sebelum benar-benar pergi dengan bibir yang masih dihiasi senyuman. Setelah wajah mereka tidak terlihat lagi, tubuhku mendadak lemas. Hanya tiga ratus ribu uang yang diberikan Mas Bagas, tidak akan cukup untuk aku mengontrak rumah. Aku menarik koper untuk menjauh dari perumahan dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kenapa bisa ada orang yang begitu tega kepada istrinya sendiri, kenapa? Aku merutuki nasib yang begitu buruk ini. Sungguh sangat jauh dengan gadis lain yang menikah dengan orang yang dicintainya. Apa memang aku adalah orang yang begitu malang dan pantas menerima perlakuan seperti ini? Melihat sebuah kursi di sebuah taman kecil, tanpa sadar bibirku tersenyum lebar. Dengan cepat, aku melangkah dan duduk di sana dengan sangat bahagia. Aku teringat dengan jam tangan yang aku masukkan ke dalam tas. Ya ampun, ini sudah tengah malam. Tenyata aku sudah berjalan begitu jauhnya. Aku mengelus d**a ketika melihat kedua kakiku sudah sangat bengkak. Ya ampun, bagaimana bisa aku tidak sadar dengan anggota tubuh yang terasa sakit ini. Lama aku duduk termangu tanpa arah tujuan. Meski kaki ini masih terasa sakit, tapi aku tetap harus berjalan, dan mencari tempat yang bisa digunakan untuk beristirahat. "Sudahlah, Vania, jangan jadi perempuan yang manja!" Aku berteriak dengan lantang. Alhamdulillah, setidaknya sekarang bebanku sudah tidak terlalu berat. Setidaknya aku tahu kalau Allah tidak akan pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Kembali aku melanjutkan perjalanan dengan bibir yang tidak berhenti melafazkan istigfar. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membuat Allah tersenyum padaku. Kembali kulihat jam tangan yang kugenggam, waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Ingin aku melakukan salat malam, tapi dalam keadaan yang kotor begini ... aku tidak bisa. Setidaknya aku harus membeli air untuk mencuci kaki dan mencari tempat yang kering untuk menggelar sajadah. Ya Allah, sesulit inikah hidup? Tidak, aku tidak boleh menyerah seperti ini. Pokoknya aku harus kuat demi anakku dan demi membuat Mas Bagaskara menyesal karena sudah menjadikan aku sebagai bahan lelucon. Ketika harapan mulai sirna dan berganti dengan kekesalan, juga kekecewaan. Aku melihat beberapa bangunan yang tampak seperti kios yang biasanya kalau siang dipake jualan. Hatiku sangat bahagia meski hanya melihat luarnya saja. Setidaknya aku bisa bermalam di sini untuk sementara. Terlebih, sepertinya tempat ini aman bagi wanita sepertiku. Berkali-kali aku mengucapkan syukur ketika melihat di sebelah ujung kios ada seember air. Semoga saja itu adalah air bersih yang bisa aku gunakan untuk bersuci. Alhamdulillah ya Allah, alhamdulillah. Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, bergegas aku mendekat ke ember itu. Airnya berwarna bening, sama seperti air pada umumnya, tidak pula berbau. Aku memasukkan sedikit air itu ke dalam mulut, alhamdulillah, airnya ternyata tidak berasa juga. Berarti air ini bisa aku gunakan untuk bersuci, semoga saja bersih, dan Allah rida atas apa yang aku lakukan ini. *** Dua rakaat sudah aku kerjakan. Rasanya tubuh ini sudah sangat lelah dan meminta untuk diistirahatkan. Ya Allah, mungkin ini adalah ujian yang harus aku lewati jika mau menjadi seorang wanita sekaligus istri yang tangguh. Aku tidak apa-apa, ya, Allah. Aku kuat. Namun, aku mohon padamu untuk memberikan aku kesabaran dan ketabahan dalam menjalaninya agar aku menjadi orang-orang yang bersyukur. Usai berdoa, aku kembali memasukkan mukena dan sajadah ke dalam koper. Terlihat sebuah tikar yang aku bawa karena benaran praktis untuk dibawa ke mana saja. Syukurlah aku membawa benda ini. Kalau tidak, mungkin aku akan duduk di atas koper, salah satu barang berharga yang aku punya saat ini. Aku memang sudah tidak punya orang tua, tapi keluarga orang tua ada banyak, dan hampir semuanya kaya. Namun, aku tidak terbiasa meminta bantuan mereka. Apalagi, seringkali aku mendapatkan cemoohan kalau meminta tolong. Andai aku minta tolong pada salah satu, tapi nanti yang akan mengetahui masalahku semuanya. Mereka punya grup sendiri yang akan membahas tentang diriku. Aku yang katanya suka minta-minta dan merepotkan. Maka dari itu mereka sangat gembira ketika tahu aku akan menikah. Bahkan, mereka juga membantu pernikahanku agar cepat selesai. Katanya, agar aku tidak menjadi beban mereka lagi. Astagfirullah, padahal dari dulu aku memang tidak biasa untuk meminta-minta. Makanya seperti ini pun, aku memilih untuk merasakan rasa sakit sendiri daripada memberitahu salah satu dari mereka. Lutut yang mulai terasa kebas membuatku segera menggelar tikar yang tadi aku temukan di dalam koper dan duduk di atasnya. Masyaallah, seperti ini saja aku sudah sangat bahagia. Semoga saja lelahku menjadi pahala di sisi Allah. "Vania, 'kan?" Baru saja aku menutup mata, seorang pria muda dengan tubuh tegapnya mendekat ke arahku, dan menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku membuka mata kembali dan melihatnya dengan sorot mata heran. "Iya, siapa, ya?" tanyaku heran. Ada sedikit rasa takut dalam d**a jika berbicara dengan pria asing. Karena selama ini, aku tidak pernah dekat dengan pria kalau tidak ada perlu, kecuali kerabat. "Saya, Leo, temannya Bagaskara." Pria itu memperkenalkan diri. Kini gantian aku yang menatapnya dari atas sampai bawah, lalu mencoba mengenali wajahnya yang memang terlihat tidak asing. "Leo?" gumamku sambil mengingat teman-teman Mas Bagas yang suka datang ke rumah. Benar, memang ada yang namanya Leo, dan Mas Bagas sering menyebut namanya. Namun, untuk apa dia datang ke tempat seperti ini malam-malam. Apa memang dia suka keluyuran? "Bagaimana, apa sudah ingat?" tanyanya lagi. Pria yang mengaku sebagai Leo itu sambil menundukkan kepalanya, lalu berjongkok tepat di depanku. "Em, samar-samar." Aku menjawab jujur, karena aku memang masih ragu terhadapnya. Leo tertawa kecil. Padahal, aku sama sekali tidak mengatakan lelucon. Aneh. Apa benar dia temannya Mas Bagas, tapi yang mana? "Meski begitu, aku bukan orang jahat, kok." Dia kembali menatapku. "Iya. Aku percaya." Tanpa sadar, kedua kata itu keluar dari mulutku. Ya ampun, padahal aku tidak ingat siapa dia, tapi malah percaya semudah itu. "Ya sudah. Sekarang jelaskan kenapa kamu ada di sini? Apa Bagaskara di sini juga?" tanyanya heran sambil melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari laki-laki yang menjadi suamiku itu, tapi dia tidak mendapatkan apapun. Leo kembali menatapku lekat. "Kamu sendiri di sini? Ngapain?" Aku menundukkan kepala. Apa yang harus aku katakan? "Vania!" panggilnya sambil melambaikan tangannya ke arahku. "Eh, iya, ada apa?" "Aku tadi tanya, kamu ngapain di sini?" Pria itu menatapku dengan sorot mata penuh harap. Mungkin dia ingin aku berbicara jujur dengan apa yang terjadi. "Jawaban apa yang kamu inginkan?" tanyaku kembali. Leo mengacak rambutnya frustasi. "Tidak mungkin kalau Bagaskara mengusirmu dari rumahnya, 'kan?" tanyanya sambil tertawa kecil. Mungkin dia tidak akan percaya dengan apa yang Bagaskara lakukan padaku meski aku menceritakan semuanya. "Tidak usah bertanya kalau pada akhirnya kamu tidak akan percaya." Aku tersenyum getir melihatnya yang langsung terdiam. "Jadi benar, kalau kalau kamu diusir anak sombong itu?" Dia kembali bertanya dengan tatapan tidak percaya. Sementara aku hanya mengangguk pelan. "Aku bukan wanita yang dia inginkan untuk menjadi istrinya. Jadi, tolong jelaskan kenapa aku harus bertahan di rumahnya?" Kini giliran aku yang bertanya, tapi bedanya aku tidak berani menatap matanya yang membesar itu ketika mendengar perkataanku barusan. Leo tidak bicara lagi. Dia malah duduk di ujung tikar dan memeluk kedua lututnya. "Jadi, kamu di sini karena tidak punya tempat yang akan dituju?" Leo bertanya tanpa melihat ke arahku. Kita berdua sama-sama terpesona dengan cahaya bulan yang malam ini bersinar lebih terang. Aku sungguh beruntung masih bisa menyaksikan keindahan salah satu ciptaan Allah, karena di luar sana banyak orang sudah diangkat penglihatannya. "Iya. Aku sudah tidak punya orang tua dan kerabat. Jadi, aku tidak punya tempat tujuan." "Kok, bisa kamu begitu kuat?" Leo kembali bertanya. "Sejujurnya aku tidak sekuat itu, tapi apakah aku punya pilihan? Tidak. Ini sudah menjadi jalan hidup yang harus aku jalani." Aku mengatakan semua unek-unek tanpa ragu. Pandangan Leo kembali mengarah padaku. "Kamu terlalu baik. Kalau orang lain yang berada di posisimu, mungkin dia akan menggugat Bagaskara agar mau memberikan sedikit hartanya," pungkasnya dengan kedua tangan yang mengepal. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menahan kekecewaan. Selama ini aku memang tidak suka menuntut dan Mas Bagas juga tidak pernah memberikan uang lebih. "Jadi, apa keputusanmu sekarang?" Leo memberikan pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu jawabannya. Ke mana kaki harus melangkah saja aku tidak tahu karena aku sama sekali memang tidak punya tujuan. "Jangan bilang kamu akan tinggal di sini?" tebaknya membuatku tidak bisa menahan tawa. "Mana mungkin! Kalau aku bisa memilih, aku juga ingin tinggal di rumah yang nyaman dan aman. Bukan tempat yang beralaskan tanah dan beratap langit," jawabku jujur. Leo memutar tubuhnya sembilan puluh derajat dan menatapku lagi. "Mau tinggal di rumahku?" Aku menggeleng cepat. "Kenapa?" tanyanya lagi, tapi aku hanya diam. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa sampai diusir oleh Bagaskara? Aku rasa tidak mungkin dia melakukan hal ini hanya karena ketidakcocokan. Padahal, selama ini aku tahu hubungan kalian sangat dekat," ucapnya panjang. Jangankan dia, aku sendiri tidak tahu kenapa pernikahan kami bisa seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD