Part 2 (Kutukan)

2019 Words
Sudah sebulan Vian bekerja di perusahaan ayahnya. Selama itu pula tidak ada yang berani padanya. Para karyawan terlihat takut dan tunduk pada pria itu, sekali pun mereka berpapasan tidak ada yang sanggup menatap wajan rupawannya. “Kau tidak merasa risih?” bisik Riko tepat di samping Vian. Tubuhnya sedikit condong ke arah Vian. Saat ini mereka berada di dalam lift. Vian menatap lurus ke depan, satu kakinya yang berbalut pantovel hitam bergesekan dengan ujung celana abunya. Membersihkan sepatunya dari debu yang menempel. “Kenapa harus risih?” tanya Vian santai. “Semua orang takut padamu. Apa kau tidak terganggu?” Riko menoleh menatap wajah tampan bosanya. Mata hitam kelam yang siap menusuk siapa pun yang menatapnya kini terhalang kaca mata hitam. Riko tidak habis pikir dengan bosnya ini. Seharusnya dia menjadi primadona di kantor tapi justru ia menjadi petaka. “Sudah seharusnya seorang pemimpin ditakuti. Dia tidak boleh diremehkan dan lemah. Aku bukan tipe orang yang suka tertawa sok akrab dengan orang yang tidak dikenal.” “Tapi mereka mengenalimu. Kau saja yang tidak mau tahu.” Riko memutar bola matanya kesal. Berdebat dengan pria berotak batu seperti Vian akan membuang banyak energi. Dia tidak punya hati sama sekali. “Ada berapa staf wanita di devisiku?” tanya Vian. Lift pun terbuka dengan santai Vian dan Riko berjalan menuju ruang kerja. Setiap karyawan yang berpapasan dengannya selalu menundukkan kepala. Riko yakin mereka bukannya hormat pada Vian melainkan takut. “Mungkin sekitar 5-7 orang. Kenapa kau bertanya hal yang tidak penting?” “Carikan pengganti untuk mereka semua. Saya akan memecatnya.” Riko menghentikan langkahnya saat mendengar ucapan Vian. Bosnya benar-benar gila, bagaimana bisa memecat orang sembarangan. Mereka tidak melakukan kesalahan apa pun. Sepertinya Vian salah minum obat. “Kenapa dipecat? Mereka bekerja dengan baik,” ujar Riko. Vian menyenderkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dia terlihat santai menanggapi pertanyaan Riko. Sambil memainkan pulpen hitam yang ada di tangannya Vian menjawab pertanyaan Riko. “Seharusnya wanita tidak bekerja. Cukup mengurus anak dan suami di rumah.” Vian membuka laci meja kerjanya dan membanting kertas-kertas ke atas meja. Riko mengerutkan keningnya melihat isi dari kertas-kertas itu beberapa surat jatuh berserakan di lantai. “Mereka terlalu banyak cuti. Rata-rata alasannya adalah keluarga. Untuk apa mempertahankan karyawan seperti itu?” Riko memungut kertas itu. “Tapi itu hak mereka. Perusahaan memberikan cuti sebanyak 12 kali selama satu tahun dan mereka bebas menggunakannya kapan saja.” “Tapi nyatanya lebih. Aku tidak butuh orang yang pemalas.” Riko memejamkan matanya sejenak menetralkan emosi yang siap meledak kapan saja. Tentu dia tidak akan menuruti keinginan Vian yang gila itu. Riko tidak yakin tanpa wanita-wanita itu pekerjaan bisa beres. “Pikirkan baik-baik Tuan Vian. Kita juga perlu karyawan wanita. Mereka lebih teliti dari pria. Saya akan sampaikan hal ini pada Tuan Martin. Permisi.” Vian menatap punggung Riko yang menghilang dari balik pintu. Tangan Vian memainkan pulpennya lagi. Suara benturan dua benda itu memecah kesunyian setelah kepergian Riko. “Aku sudah memikirkannya sejak awal.  Aku tidak butuh karyawan wanita.” Vian mengusap bibir bawahnya dengan ibu jari. Sejenak ia terlihat berpikir sampai suara ketukan pintu membuatnya mengernyit. Suaranya pelan hingga membuat Vian berpikir dia sedang berhalusinasi. Namun suara itu terus  terdengar sebanyak tiga kali. “Masuk!” teriak Vian. Perlahan pintu itu terbuka. Seorang wanita berdiri di ambang pintu dengan galon air yang ada di troli kecilnya. Vian menatap Melisa dari atas sampai bawah. Membuat gadis itu risih. “Hmm … Maaf Pak, saya mau isi ulang galonnya,” ujar Melisa gugup.  Vian mengangguk membiarkan Melisa masuk dan mengerjakan tugasnya. Sesekali Vian melirik Melisa bekerja.  Vian termenung sejenak kemudian menggeleng. Pulpen hitamnya kembali menjadi mainan. Vian kesal dengan pemikirannya sendiri. “Saya permisi, Pak,” ujar Melisa sopan. Vian menatap Melisa tanpa berkedip. Saat gadis itu ingin pergi Vian mencegahnya. “Ada apa, ya, Pak? Perlu sesuatu?” tanya Melisa lembut dan sopan. Tentu ia tidak bisa mengabaikan rumor yang beredar beberapa menit lalu. Vian akan memecat karyawan wanita yang banyak mengambil cuti. Melisa was-was, takut jika namanya ada di dalam daftar wanita yang akan dipecat. “Duduk,” ujar Vian singkat.  Walau ragu Melisa tetap menurut. Duduk di kursi hitam empuk itu tidak pernah terpikir oleh Melisa. “Berdiri.” Melisa menatap Vian bingung. Tadi disuruh duduk dan sekarang disuruh berdiri lagi. Walau enggan Melisa kembali berdiri. Vian memiringkan kepalanya sebentar sebelum menatap Melisa. “Duduk,” perintahnya lagi. Meski kesal Melisa tetap menurut. “Saya hanya memastikan kalau pakaian kamu tidak mengotori kursi itu. Tahukan berapa harganya?” “Seharga gaji saya sebulan?” Vian hanya mengedikkan bahunya. Melisa mengepalkan tangannya. Ia merasa direndahkan oleh Vian. Kenapa setiap kali berurusan dengan Vian membuat Melisa sakit hati. Vian menegakkan tubuhnya menatap lekat pada gadis di depannya. “Kamu tahu kenapa saya suruh duduk di sini?” tanya Vian. Melisa menggeleng dengan kepala tertunduk. Napasnya terengah menahan rasa sakit di hatinya. Perkataan Vian masih membekas dalam ingatan. Sehina itukah Melisa di mata Vian? “Saya bertanya kenapa tidak menjawab?” “Maaf, Pak. Saya tidak tahu,” kata Melisa. Suaranya bergetar menahan sakit hatinya. Vian membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah buku tebal bersampul hitam. Melisa mengangkat sedikit kepalanya untuk melihat benda yang dikeluarkan Vian. Melisa hanya bisa menelan ludahnya melihat black note milik Vian. Inikah catatan neraka milik Vian yang dikatakan teman-temannya. Meski pun belum ada yang tahu akan kebenaran gossip black note itu yang membuat para karyawan was-was. Sekarang Melisa sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri buku tebal yang siap menghapus namanya dari daftar karyawan di perusahaan ini. “Kau harusnya bersyukur bisa melihat catatanku ini.  Jadi kau tahu alasan kenapa kau harus angkat kaki dari perusahaanku.” Melisa membulatkan matanya mendengar ucapan Vian. Pria itu sepertinya sengaja mencari kesalahannya. Vian menyeringai melihat wajah Melisa berubah pucat pasi. Ini sangat menarik untuk Vian entah kenapa dia ingin Melisa bersujud di kakinya dan memohon untuk tidak dipecat. Vian sangat suka melihat ekspresi Melisa yang berubah-ubah. Gadis itu sangat polos membuat Vian senang mempermainkannya. Vian pikir gadis miskin seperti Melisa akan melakukan apa pun untuk mempertahankan pekerjaannya. “Siapa nama lengkapmu?” tanya Vian. Sontak Melisa menutup nametag yang tersemat di pakaiannya. Jangan sampai Vian tahu nama aslinya. Bagaimana pun caranya Melisa tidak mau terdaftar dalam black note Vian. “Panggil saja saya Meli,” sahutnya. “Saya bilang nama lengkap. Bukan nama panggilan,” ujar Vian dingin. Tatapannya tidak lepas dari wajah Melisa yang gelisah. Rencana Vian berhasil untuk menakut-nakuti gadis itu. “Me-Melisa,” ujarnya terbata. “Hanya itu?” Gadis itu mengangguk. Vian membuka setiap halaman dalam buku catatannya. Senyumnya semakin lebar saat melihat catatan yang dimilikinya. Nama gadis itu ada di dalam catatannya bahkan dia garis bawahi naman Melisa dengan tinta merah. “Selamat kau memecahkan rekor cuti terbanyak bulan ini dengan catatan empat kali libur dan lima kali cuti. Sepertinya orang pertama yang akan kucoret adalah dirimu.” Vian berbicara seakan Melisa mendapat reward puluhan juta.  “Tolong jangan pecat saya,” ujar Melisa. “Kenapa saya tidak boleh memecatmu? Saya tidak suka karyawan yang tidak produktif. Itu akan menghancurkan citra perusahaan. Pekerja kasar sepertimu masih banyak di luar sana.” “Tapi Bapak tidak punya hak untuk memecat saya. Hanya bagian personalia yang bisa melakukan itu.” Melisa mengepalkan tangannya mengumpulkan keberanian di depan Vian. Pria itu tertawa mendengar ucapan Melisa yang cukup berani. Padahal gadis itu terlihat ketakutan sejak tadi. Kucing yang diganggu pun bisa menjadi singa jika sudah marah. Vian mencondongkan tubuhnya ke arah Melisa membuat gadis itu memundurkan tubuhnya. “Kamu lupa kalau saya anak pemilik perusahaan ini yang sebentar lagi akan menjadi direktur utama. Saya bisa melakukan apa saja apalagi hanya memecat karyawan rendah sepertimu.” Air mata Melisa menggenang di pelupuk mata. Bagaimana nasibnya kalau benar-benar di pecat. Di mana dia harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. “Harusnya kau bersyukur bisa diterima di perusahaan ini. Meski pendidikanmu rendah seharusnya kau bisa lebih rajin,” ujar Vian lagi. “Cukup! Saya memang berpendidikan rendah tapi saya tidak pernah menyalahi aturan. Perusahaan ini memberikan cuti 12 kali tidak ada batasan kapan harus memakainya. Jadi cuti itu hak saya.” “Sepertinya kamu belum tahu kalau aturan itu sudah diubah. Saya tidak mau melihat kamu lagi. Pergi dari ruangan saya dan mulai besok kamu tidak perlu bekerja lagi.” “Maksud bapak saya … saya  benar-benar dipecat?” tanya Melisa. Vian tersenyum dan mengangguk. Melisa berdiri dengan kesal. Dia tidak tahu apa salahnya dan dipecat seenak hati oleh Vian. Dasar iblis berwajah malaikat, batin Melisa. “Anda akan menyesal memecat saya,” ujar Melisa. Vian hanya mengedikkan bahunya. Ia tidak peduli dengan ancaman murahan dari gadis seperti Melisa. Masih banyak orang yang bisa ia pekerjakan di perusahaannya. Apalagi hanya sekelas OB, posisi paling bawah di perusahaan. Vian menatap Melisa yang tengah membereskan galonnya. Saku jas Vino bergetar membuat perhatiannya teralihkan. Sebuah panggilan masuk dari orang yang ia kenal. “Ada apa?” tanya Vian pada orang di seberang sana. Melisa mencuri pandang pada Vian yang terlihat tidak suka. Bosnya memang tidak punya sikap baik. Tampan, mapan tapi attitude nol. “Sudah saya katakan ajak mama ke rumah sakit. Mama tidak butuh saya, dia butuh dokter untuk merawatnya.” Vian melonggarkan dasinya membuat penampilannya sedikit berantakan. Melisa cepat-cepat pergi. Dia sudah dipecat tanpa alasan yang tepat. Bilang saja sejak awal Vian tidak menyukai Melisa maka dengan senang hati gadis itu akan menyuruh temannya membersihkan ruangan Vian setiap hari. Melisa menyeret kakinya keluar dari ruang terkutuk itu. Namun tubuhnya menegang saat mendengar ucapan Vian di telepon. “Itu hanya akal-akalan kamu. Bilang saja tidak mau urusin mama. Orang sakit harus dibawa ke dokter dan saya bukan dokter. Jangan hubungi saya lagi. Saya sibuk.” Melisa menggenggam erat ganggang pintunya. Perkataan Vian membuatnya terluka. Seketika Melisa mengingat ibunya yang berada di rumah sakit. Setiap hari dia menyempatkan diri menemani ibunya di rumah sakit. Pagi hingga sore bekerja dan malam hari Melisa menjaga ibunya. Bagi Melisa kesempatan bersama ibunya tidak akan selamanya ia dapatkan. “Kenapa masih ada di sini?”  Suara berat itu membuyarkan lamunan Melisa. Gadis itu berbalik menatap Vian yang duduk di kursi kerjanya. “Terkadang waktu membuat kita terlena untuk memanfaatkannya.” “Apa yang kau katakan?” Melisa tersenyum tipis pada Vian. “Saya mengatakan tentang waktu dan kesempatan.” Melisa menundukkan kepalanya. “Jangan coba-coba menceramahi saya. Kamu tidak pantas masuk ke dalam permasalahan orang lain,” ujar Vian kesal. “Saya tidak bermaksud seperti itu. Jangan sampai Bapak jadi anak durhaka.” “Emangnya kenapa?” “Nanti jadi batu.” Suara petir menggelegar membuat Vian terperanjat. Jantungnya berdebar kencang saat mendengar suara air hujan di luar sana. Tadi pagi matahari masih bersinar terang dan hangat. Tidak ada tanda akan terjadi hujan. “Saya permisi, Pak,” ujar Melisa membuat Vian sekali lagi menatapnya. Vian berdiri menyibak gorden yang menghalangi cahaya yang masuk ke dalam ruangannya. Vian mengernyitkan alisnya saat melihat cuaca di luar cerah bersinar. “Jadi yang tadi itu suara apa?” gumam Vian kebingungan. Enggan memikirkan hal aneh itu, Vian pun memutuskan untuk kembali bekerja, menyibukkan dirinya dengan diagram warna-warni yang ada di laptop. Vian larut dalam pekerjaannya hingga ia pun tidak sadar hari semakin sore. Pintu ruang kerjanya kembali berbunyi, kali ini Riko datang dengan senyum cerah. “Tuan Vian saatnya pulang,” kata Riko dengan senyum lebar. Sudah Vian duga pasti kakak sepupunya itu ingin cepat-cepat pulang dan berkencan dengan pacarnya. “Iya, kau duluan saja,” kata Vian cuek. “Beneran?” Vian menatap Riko lagi buru-buru Riko menutup mulutnya. “Kalau begitu saya pulang duluan. Jaga keselamatan Anda, Tuan Vian,” katanya sebelum melesat keluar . Riko harus segera pergi sebelum Vian berubah pikiran. Vian menggeleng melihat kelakuan kakak sepupunya. Setelah membersihkan meja kerjanya dari berkas-berkas ia pun beranjak pulang. Sepanjang jalan Vian bersiul dengan santai. Saat Vian membuka pintu mobil tanpa sengaja ia melihat ada coretan di body samping kiri mobilnya. Sebuah tulisan berwarna merah. Vian mengerutkan keningnya membaca tulisan berwarna merah itu. “Terkutuk kau Malin Kundang,” ujar Vian membaca tulisan itu. Vian menghapusnya dengan telunjuknya. “Lipstik,” gumam Vian saat merasakan tangannya licin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD