BAB 2

1166 Words
KHAYANA Romeo berceloteh setelah bebas dari kaki tangan salah satu perusahaan yang ingin bergabung dalam konsorsium yang dibentuk Syadiran Group bersama perusahaan raksasa lainnya untuk mengerjakan mega proyek. Sebenarnya pertemuan itu sangatlah tidak penting, karena aku tahu Romeo sudah menetapkan daftar perusahaan yang akan bergabung dengan konsorsium itu. Namun, aku tetap berusaha menjadwalkan pertemuan itu dengan dalih ada hal sangat penting yang ingin disampaikan, semata-mata untuk menghindari hal-hal seperti ini.             "Kamu tahu, Na? Orang seperti tadi sebenarnya nggak berhak bicara sama saya."             Aku menoleh ke arahnya. “Tapi Bapak setuju dengan pertemuan ini.”             “Karena saya nggak suka dia ngebentak kamu di telepon seperti kemarin,” sahutnya.             Aku berdehem pelan. “Maaf kalau Bapak nggak nyaman dengan ini. Saya akan coba menyaring orang-orang yang ingin menemui Bapak setelah ini.”              “Kalau gitu orang tadi beruntung. Dia belum menghadapi Khayana dengan seleksi yang lebih ketat.” Senyum tersungging di bibirnya.             Aku tidak menanggapi perkataannya. Sementara itu, yang terdengar hanya helaan napas Romeo sebelum akhirnya dia bicara lagi.             “Mama saya pasti nggak suka kalau tahu saya perginya sama kamu,” katanya lagi.             “Mungkin makin nggak suka sama saya lebih tepatnya,” balasku. Mengingat pertemuan kami beberapa minggu lalu yang terkesan tidak menyenangkan.             Romeo sudah akan bicara lagi ketika akhirnya pintu lift terbuka. Kami berjalan menyusuri lorong yang dipenuhi hiasan-hiasan khas Bali. Membuat nuansa pulau dewata semakin kental dan …, nyata sepenuhnya. Aku di sini, bersama Romeo. Meninggalkan Jakarta berkilo-kilo meter jauh di sana. Termasuk seseorang yang hampir satu bulan belakangan kembali hadir, menyambung nadi harapanku untuk hidup.             Dua belas tahun delapan bulan. Waktu yang cukup lama untuk sebuah perpisahan. Dan tentunya waktu yang lebih dari cukup untuk melupakan. Namun seakan seperti mimpi, setelah bertahun-tahun menghilang, sosok itu muncul kembali. Benar-benar muncul dan mengembalikan segenap nyawaku yang sempat tertarik keluar bersama kepergiannya. Menumbuhkan harapan-harapan dalam hidupku yang pernah mati.             Dia adalah Kak Sena. Kakak sekaligus pelindugku saat kami masih bersama-sama di panti asuhan. Dari dulu, Kak Sena yang merupakan anak tampan dan tidak pernah nakal selalu memikat banyak calon orang tua untuk mengadopsinya. Tapi ia terus menolak jika calon orang tua yang menginginkannya tidak pula menginginkanku. Atau setidak-tidaknya aku juga mendapatkan orang tua baru di hari yang sama. Dan dalam memoriku, saat akhirnya hari itu tiba, itulah hari terburuk dan awal dari kematian jiwaku. Aku berpisah dengannya. Dan tidak ada lagi yang melindungiku.             Sampai hari itu datang. Dia …, kenangan yang kupikir hanya bisa hidup dalam mimpi-mimpiku akhirnya kembali. Dan aku tidak pernah menemukan apakah aku pernah sebahagia hari itu, hari dimana aku melihat punggungnya di kantor Romeo siang itu. ****             Aku terbangun dari tidurku. Memandang sekeliling dan menyadari bahwa hari masih gelap. Televisi masih menyala, menyiarkan acara lawakan yang entah untuk menghibur siapa di jam selarut ini. Aku memang sengaja membiarkan televisi dalam keadaan menyala demi membunuh kesunyian, supaya bisa tertidur. Penonton acara lawakan itu tertawa terbahak-bahak. Menguatkan fakta bahwa aku terbangun di tempat yang aman dan bayangan yang muncul sebelumnya adalah mimpi. Aku menghela napas lega, meraih segelas air putih di meja sisi ranjang.             Aku masih berada di Denpasar. Besok pukul setengah enam pagi, aku harus sudah membangunkan Romeo untuk bersiap meeting dengan klien penting. Masih sekitar enam jam sebelum pukul setengah enam pagi. Namun, aku telah kehilangan kantuk untuk kembali tertidur. Atau lebih tepatnya kehilangan keberanian untuk kembali memejamkan mata.             Aku menatap ponsel yang tergeletak di meja dan meraihnya. Memeriksanya dan mendapati pesan Kak Sena.             Kiara bilang kamu sama Romeo ke Bali. Kabari kalau udah sampai Jakarta. Kakak punya surprise buat kamu.             Untuk ke sekian kalinya setelah bertemu kembali dengan Kak Sena, aku menemukan kembali alasan untuk bertahan hidup dan menunggu hari esok. SENA Rupiah terdepresiasi, biaya impor bahan baku membengkak.             Untuk perusahaan yang banyak mengandalkan bahan baku impor, keadaan ini jelas memukul perusahaan. Apalagi baru sekian persen pasar internasional yang berhasil disentuh beberapa sektor ekspor, sehingga terjadi ketimpangan dalam pengembalian biaya produksi. Belum lagi adanya tuntutan yang baru saja dilayangkan ke salah satu PT. yang jadi makanan empuk para pesaing dengan gencarnya pemberitaan di media. Nggak butuh waktu sepekan, saham perusahaan turun drastis karena besarnya faktor persepsi. Berita-berita baik seperti fundamental dan pondasi internal yang kuat belum mampu memperbaiki kondisi itu sampai akhirnya Grup bisa dibilang sekarat sejak dua kuartal terakhir.             Gue sebenarnya nggak terlalu tertarik dengan masalah perusahaan yang didirikan oleh bokap angkat gue bersama Ghandi Syadiran, yang kemudian diambil alih oleh dua putranya. Gue lebih suka berkarir sebagai konsultan bisnis di tempat gue menempuh pendidikan dulu. Tapi, gue nggak bisa egois membiarkan Ayah kesulitan. Alhasil, gue menurut ketika beliau memanggil gue untuk turun tangan membantu menyelesaikan permasalahan Grup. Dan dari situlah cerita gue bermula.             "Udah lama?"              Gue mendongak. Mendapati Kiara mengurai senyum. Ia berjalan keluar dari kantornya dan menghampiri gue yang tengah bersandar di pintu mobil, balas tersenyum.             "Nggak kok," balas gue, lalu membukan pintu dan menyusul masuk setelahnya.             Kiara udah melepas sepatunya saat gue duduk di kursi kemudi. Meregangkan kakinya sembari mengatur suhu pendingin.             "Kita jadi ke mana?" tanyanya.             "Katanya kamu pengen pasta?"             "Oh iya sih," balasnya seraya tertawa.             Gue mulai melajukan mobil sementara Kiara menyandarkan kepalanya di bantalan jok dengan nyaman. Kalau lo bertanya siapa Kiara, dia adalah tunangan gue. Putri tunggal dari salah satu pemilik Syadiran Group saat ini, Eras Syadiran. Kiara juga merupakan sepupu dari Romeo, sahabat gue. Kami bertiga udah bareng-bareng sejak gue masuk SMP. Waktu itu Kiara masih umur sepuluh tahun. Sama seperti Khayana waktu kami pisah.             Dan ..., yah, Khayana. Adik angkat gue. Masih sulit dipercaya saat sekitar sebulan lalu gue mendapati Khayana seakan-akan muncul dari pintu ke mana saja-nya Doraemon di kantor saat pertama kali gue bergabung di sana.             Dia udah bukan lagi Khayana kecil berkuncir dua. Binar matanya yang dulu membara penuh semangat berubah jadi sorot tegas seorang gadis dewasa. Wajah imutnya berubah jadi lebih tirus, membuatnya tampak anggun. Dia tumbuh sempurna sebagai perempuan dewasa. Hal yang membuat gue lega sekaligus sedih karena gue nggak mengikuti tahap-tahap perubahan itu.               Samar-samar gue mendengar tawa Kiara. Tawa riangnya yang semakin lama makin jelas terdengar, membangunkan gue dari lamunan. Suara yang juga akrab di telinga gue selama bertahun-tahun. Gue menyentuh kepalanya di sela-sela mengemudi. Ikut tersenyum sembari membelai rambutnya.             “Kamu masih suka baca komik online itu, ya?” tanya gue seraya menurunkan tangan, kembali memegang kemudi.             “Iya. Pengen deh bisa bikin cerita kayak gini. Pasti seru!” celotehnya.             “Ya kamu bikin coba bikin dong kalau ada waktu luang. Kamu kan nggak kalah jago kalau soal ngegambar.”             Kiara diam sejenak. “Nggak ah,” tukasnya.             Gue spontan menoleh ke arahnya sekilas. “Kenapa?”             “Karena waktu luangku cuma buat kamu. Kalau aku pakai untuk ngerjain komik, waktu kita bareng-bareng makin berkurang dong,” jawabnya setengah cemberut.             Gue nggak bisa untuk nggak tersenyum. Itu adalah jawaban yang sangat Kiara. Jawaban yang di satu sisi justru menimbulkan pertanyaan di diri gue sendiri.             Gadis sesempurna ini, apakah benar-benar pantas gue dapatkan? Gue meraih tangan Kiara, mengusapnya. Balasan yang mungkin hanya sebagian kecil dari apa yang sanggup Kiara berikan ke gue.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD