BAB 4

1546 Words
Zulaikha menunduk dalam saat mengetahui ayahnya terkena serangan jantung dan harus dirawat beberapa hari. Hatinya terasa sakit, bukan karena ia tak terima dengan takdir yang telah Allah berikan, bukan. Ia justru merasa bersalah karena belum dapat diandalkan oleh kedua orangtuanya. "Fauzan, kali ini Kakak minta tolong sama kamu, jaga ayah sama ibu, Kakak mau ke luar sebentar," ucap Zulaikha sambil menatap Fauzan yang kini sedang duduk di bangku tunggu sambil memainkan handphone-nya. Laki-laki itu tidak menjawab, tapi Zulaikha yakin Fauzan tidak akan tega meninggalkan ayah dan ibunya sendiri di rumah sakit. Ia tahu kalau ayah dan ibunya kurang paham sistem rumah sakit. Setelah mengatakan itu Zulaikha langsung pergi. Ia yakin Fauzan mendengar, hanya saja karakter adik laki-lakinya memang seperti itu. Zulaikha selalu berdoa agar Allah beri kesadaran untuk adiknya. Dia sebenarnya laki-laki yang baik, Zulaikha percaya itu. Zulaikha berjalan pelan ke luar rumah sakit, ia duduk di bangku tunggu yang ada di bagian belakang rumah sakit, tempat musala dan parkiran berada. Ia menunduk sambil menatap tangannya, rasanya benar-benar bingung. Sekarang masih tanggal 20, sementara gaji akan ia dapatkan di tanggal 1, gajinya pun tak seberapa. Ia benar-benar bingung harus membayar rumah sakit menggunakan apa, terlebih tentang utang yang ibunya pinjam. Tanpa aba-aba air mata menetes membasahi pipinya. Ia tak mau mengeluh di depan ibu dan ayahnya karena tak ingin membuat mereka sedih. Zulaikha izin keluar pun untuk ini, menumpahkan rasa sesak yang sebelumnya menghimpit d**a. Bahu Zulaikha bergetar, ia tutup wajah dengan telapak tangan. Ia tak pernah mengekang dirinya saat sendiri, tapi saat di hadapan orang lain, ia akan kekang kuat-kuat agar tak terlihat lemah. Ia hanya akan menumpahkan segala keluhan kepada Allah. Dari arah lain, Yusuf yang baru selesai dengan tugasnya tak sengaja melihat Zulaikha. Perempuan itu duduk sendiri sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan, bahkan bahunya juga bergetar. Yusuf menautkan kedua alis, ia seperti tidak asing dengan perempuan yang ia lihat itu. Ia menganggukkan kepala saat mengingat kalau Zulaikha adalah perempuan yang tadi menabraknya. Niatnya Yusuf ingin bertanya sebab Zulaikha yang masih belum ia kenali itu terlihat sedang sangat sedih. Siapa tahu, kan, ia bisa membantu. Namun, belum sempat ia melangkahkan kaki, sudah ada yang memanggilnya, itu Yahya--temannya sesama dokter, bedanya Yusuf dokter bedah sementara Yahya dokter penyakit dalam. "Ngapain lu di sini, Suf? Bukannya jam kerja lu udah habis?" tanya Yahya. Yusuf tidak langsung menjawab, ia menoleh kembali ke arah Zulaikha, tapi perempuan itu sudah tidak ada di tempatnya. Akhirnya ia hanya menggelengkan kepala. "Ini baru aja mau pulang." "By the way, tadi Julia cari lu, katanya di file yang lu bawa tadi ada KTP perempuan, siapa tau lu kenal, lihat dulu sana." Yusuf terdiam beberapa saat, tak lama kemudian langsung melesat ke tempat Julia--kasir di rumah sakit. Walaupun ia tak merasa menjatuhkan KTP, terlebih KTP itu milik perempuan, ia tetap memiliki tanggung jawab untuk itu sebab ialah yang membawa file tadi. *** Saat merasa sudah lebih tenang, Zulaikha kembali lagi ke dalam rumah sakit. Namun sebelum ke ruangan pesakitan ayahnya ia pergi dahulu ke kamar mandi, ingin mencuci muka agar tidak terlihat sembab. Kalau ia menampakkan diri dengan keadaan benar-benar seperti habis menangis yang ada nanti ayah dan ibunya tambah sedih. Di kamar mandi, Zulaikha mengeluarkan tissue dari sling bag-nya. Ia mengerutkan kening saat tak melihat KTP-nya, di saat itu juga Zulaikha langsung heboh mencari keberadaan KTP di seluruh kantung yang ada di bajunya. Ia semakin kalut, KTP adalah kartu penting, kalau hilang mungkin bisa buat lagi, tapi kalau sampai jatuh di tangan orang yang tidak baik, akan tidak beres urusannya. Ia takut KTP-nya disalah gunakan. Setelah mencuci muka Zulaikha langsung keluar dari kamar mandi. Ia teringat akan insiden tabrakkan di sekitar pintu masuk. Ada kemungkinan KTP-nya jatuh sebab saat itu ia memegang KTP bersamaan dengan handphone karena habis ia gunakan untuk pendaftaran rumah sakit. Ia jalan dengan langkah cepat menuju pintu masuk. Di pukul sembilan malam rumah sakit masih ramai. Ia celingak-celinguk mencari keberadaan KTP-nya dengan gelisah. Saat ia datang tadi, rumah sakit benar-benar ramai, ia semakin gelisah dengan spekulasi-spekulasi buruk yang kemungkinan terjadi dengan KTP-nya. "Nama kamu Zulaikha?" tanya Yusuf yang entah sejak kapan sudah ada di samping Zulaikha. Tadi dia masih mengenakan jas dokter, tapi kali ini sudah tidak. Dia mengenakan kemeja biru dan celana bahan hitam. Zulaikha mengangguk bingung. "Iya benar, ada apa, ya, Pak?" Yusuf langsung memberikan KTP Zulaikha yang tadi terbawa bersamaan dengan file-nya. Mungkin karena terburu-buru, Zulaikha malah menyampurkan KTP-nya dengan file-file Yusuf. "Tadi terbawa dengan file saya," ucap Yusuf. Zulaikha langsung menghela napas lega. "Alhamdulillah, terima kasih, ya, Pak. Kalau begitu saya izin pergi, sekali lagi terima kasih, Pak." Setelah mengatakan itu Zulaikha langsung melangkahkan kakinya menuju ruangan pesakitan ayahnya. "Sama-sama," jawab Yusuf sambil menatap punggung Zulaikha yang semakin menjauh. "Udah ketemu orangnya, Dok?" tanya Julia--kasir rumah sakit. Yusuf mengangguk. "Udah, baru aja saya berikan." Julia ikut menganggukkan kepalanya. "Syukurlah." "Dia sakit atau antar keluarganya yang sakit?" tanya Yusuf. Tadi ia sempat melihat, Zulaikha masih mahasiswa dan usianya pun baru 20 tahun, beda tujuh tahun dengan ia. Bahkan dengan Kafka--adiknya--pun masih lebih tua adiknya. "Antar ayahnya yang pingsan karena serangan jantung, untungnya sekarang udah siuman dan mulai membaik. Pasiennya dokter Yahya itu tadi, Dok," ucap Julia. Kini mereka sedang jalan bersama menuju parkiran, sama-sama ingin kembali ke rumah karena jadwal shift-nya sudah selesai. "Oh, masih muda sekali," ucap Yusuf. Julia mengangguk sambil tersenyum. "Saya duluan, Dok," ucap Julia sambil menaiki motor yang suaminya kendarakan. Ya, Julia sudah menikah dan suaminya selalu mengantar-jemput ia. Padahal usia Julia tiga tahun lebih muda dari Yusuf, tapi Yusuf malah belum menikah. Yusuf langsung menaiki mobilnya, ia terdiam beberapa saat, entah mengapa saat melihat Zulaikha ia jadi teringat Humaira--perempuan yang dahulu hendak menikah dengan ia tapi lebih dulu dilamar oleh Malaikat Maut. Postur tubuhnya, suaranya, bahkan dari cara dia bicara pun hampir mirip. Ia usap wajah pelan lalu mengembuskan napas perlahan. "Semoga kamu bahagia di sana, Humaira." *** Karena besok Fauzan harus sekolah, Zulaikha menyuruh adik laki-lakinya itu kembali ke rumah. Ia akan menjaga ayah dan ibunya di rumah sakit. Fauzan tidak banyak bicara, saat disuruh untuk pulang pun ia sungguhan pulang. Hari ini dia lebih penurut dari hari-hari sebelumnya, dan Zulaikha bersyukur akan hal itu. "Lik, maafin ayah dan ibu, ya, udah nyusahin kamu. Ayah udah sehat kok, ayah enggak perlu diinapkan juga bisa," ucap Pak Romy--ayah Zulaikha. Zulaikha menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Berusaha untuk meyakinkan kedua orangtuanya kalau ia baik-baik saja dan bisa menanggung ini semua meski dalam lubuk hatinya paling dalam ia sedang menangis dan bingung ingin berbuat apa. "Enggak apa-apa, Yah, Bu, Likha bisa kok, dan Likha enggak merasa keberatan," ucap Zulaikha bohong. Bu Wilda hanya bisa menunduk, ia merasa bersalah karena sudah meminjam uang di bank dan berakhir menyusahkan anaknya. "Kamu enggak usah pikirin masalah utang Ibu, ya, Lik, itu biar Ibu aja yang bayar, insyaallah Ibu sanggup," ucap Bu Wilda--ibu Zulaikha. Zulaikha langsung memegang kedua tangan ibunya sambil melebarkan senyum. Tak peduli ia harus banting tulang, ia tak mau melihat kedua orangtuanya menderita. "Ibu tenang aja, do'akan Likha semoga rezeki Likha lancar." Bu Wilda mengangguk sambil menunduk, air mata menetes membasahi pipinya. "Likha larang Ibu buat minjam ke bank bukan karena Likha enggak paham sama kondisi Ibu, minjam di bank seperti itu haram, Bu, belum lagi bunganya yang semakin besar kalau kita lagi enggak sanggup bayar." Bu Wilda mengangguk, ia benar-benar merasa bersalah. "Iya, maafin Ibu, Lik. Ibu benar-benar terpaksa waktu itu, Fauzan butuh uang untuk bayar SPP. Ibu enggak tega, katanya dia selalu kena marah gurunya karena sering jawab nanti pas ditagih, walaupun belum lunas semua, senggaknya Ibu bisa bayar setengahnya." Zulaikha menghela napas pelan. Ia yakin Fauzan pasti melebih-lebihkan cerita hanya karena tidak mau menahan malu. Zulaikha pernah ke sekolah Fauzan, gurunya tidak ada yang seperti itu, bahkan guru Fauzan memotong sedikit tunggakannya karena Zulaikha jujur dengan keadaan mereka. Fauzan terlalu mengikuti zaman sampai malu menampakkan keadaan ia yang sebenarnya. Ia terus bertopeng, agar terlihat baik di depan orang lain. Padahal bertopeng menjadi orang lain adalah kekangan untuk diri sendiri, hidup rasanya tidak tenang, dan selalu merasa diawasi. Zulaikha pribadi lebih memilih menjadi dirinya sendiri sekalipun orang lain akan menganggap ia sebagai orang miskin. Lagi pula, orang yang uangnya tidak banyak belum tentu miskin. Sebab kekayaan yang sesungguhnya bukan dari berapa banyak harta, tapi seperti apa akhlak yang dimiliki orang itu. "Kamu pulang aja, Lik, istirahat, kamu, kan, baru pulang banget, besok pagi pun ada kelas, kan?" Zulaikha menggelengkan kepalanya. "Likha enggak capek, kok, Bu. Oh ya, tadi Likha beli makanan, Ibu sama Ayah makan, ya, Likha mau ke luar sebentar." Baik bu Wilda ataupun pak Romy sama-sama menatap punggung Zulaikha dengan tatapan sendu. Dalam diam mereka menyesali diri sendiri karena sudah membuat anak pertamanya terbiasa menutupi lelah dengan kata tidak apa-apa seperti Zulaikha ini. Meski Zulaikha selalu bilang tidak apa-apa, mereka sebenarnya tahu kalau Zulaikha berbohong hanya karena tidak ingin membuat kedua orangtuanya sedih. "Bu, Ayah benar-benar malu udah jadiin anak perempuan kita seperti tulang punggung keluarga, mulai nanti Ayah mau kerja lagi, Bu." "Jangan, Yah, kalau Ayah kerja terus kenapa-napa, Zulaikha bakal semakin tersiksa." Sampai akhirnya sepasang suami istri itu hanya diam sambil menatap makanan yang Zulaikha beli dengan pandangan sedih. Bahkan untuk memakan makanan yang dibelikan anaknya pun mereka tidak tega dan memikirkan berapa peluh yang sudah membanjiri kening anaknya untuk membeli makanan untuk mereka berdua malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD