BAB 1

1424 Words
Bukan hal aneh kalau pagi-pagi pertengkaran tercipta di rumah Zulaikha. Fauzan--adik laki-lakinya--yang masih menginjakkan kaki di bangku SMA itu masih belum memahami benar-benar fungsinya hidup di dunia ini. Dia selalu bilang lelah menjadi orang miskin, tinggallah Zulaikha yang memarahinya habis-habisan, sebab kedua orangtuanya akan diam saja sambil menunduk lesu kalau Fauzan sudah mengatakan itu. Mereka merasa bersalah, jadilah memilih diam daripada anaknya semakin meledak-ledak. Sebagai orangtua, mereka pun ingin membuat anak-anaknya hidup senang, tapi tentang takdir, hanya Allah saja yang tahu. Bisa jadi, Allah selalu membuat hamba-Nya kekurangan sebab saat kekurangan hamba-Nya itu senantiasa beribadah sementara saat diberi rezeki justru berfoya-foya dan lupa kata syukur. Pada intinya Allah hanya ingin hamba-Nya ringan akan dosa, tapi jarang ada hamba yang menyadari Kemaha Baikkan Allah. Namun bagi Zulaikha, hal itu tetap tidak bisa dibenarkan, apalagi kalau Fauzan mengungkapkannya dengan kata-kata yang tidak sopan disertai dengan bentakan. Hidup itu bukan tentang siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling bersyukur hingga akhir hayatnya. Orang kaya sekalipun akan tetap sengsara jika rasa syukur tidak melekat dalam dirinya, dia akan terus merasa kekurangan dan terkekang dalam lilitan keserakahan. Sementara orang yang bersyukur, dalam keadaan apapun, ia akan tetap bahagia, ia percaya kepada Allah, bahwa hanya Allah-lah penentu takdir terbaik. Namun di balik rasa syukur pun tetap sertakan ikhtiar, sebab syukur yang sesungguhnya bukan sepenuhnya pasrah, ada ikhtiar dan doa juga di dalamnya. "Apa aku salah? Aku emang butuh uang buat bayar tunggakan SPP, aku malu selalu dipanggil-panggil guru buat segera lunasin, guru juga bosen denger aku bilang nanti-nanti mulu!" Zulaikha langsung istighfar, dia kira mencari uang semudah membalikkan tangan. Padahal sebelumnya Zulaikha sudah bilang agar Fauzan tidak bilang ayah dan ibu tentang uang tunggakannya, biar ia saja yang membayarnya nanti setelah gaji dari cafe turun. Tidak seberapa memang, setidaknya bisa membayar satu bulan dulu. "Kamu pernah kerjanya enggak? Di rumah kerjaan kamu ngapain, sih? Coba jawab Kakak, merasa bantu enggak? Kalau emang mau terima uangnya aja ya sabar, kamu kira cari uang gampang? Sekali lagi kamu bentak ayah dan ibu, mending berhenti aja sekolah, toh kamu sekolah pun selalu dapat nilai buruk, kan?" Fauzan membulatkan matanya dengan wajah emosi, meski itu benar ia tetap tidak terima dikatakan demikian. Namun, belum sempat mengeluarkan kata-kata, Zulaikha sudah pergi lebih dulu ke luar rumah. Ia tatap ibu dan ayahnya yang sedang menunduk lesu di atas tikar. Ia embuskan napas pelan sampai akhirnya memilih untuk langsung berangkat sekolah tanpa izin lagi. Zulaikha sampai menitihkan airmata di jalan, bukan karena sedih dengan bentakan Fauzan, ia sudah biasa dengan segala bentuk bentakan, justru yang membuatnya sedih adalah, ia sudah 20 tahun tapi masih belum bisa memberikan kehidupan layak untuk ibu dan ayahnya. Ditambah, ia memilih kuliah di saat keluarganya--kecuali ayah dan ibu, sebab mereka selalu mendukung Zulaikha--bilang lebih baik langsung kerja saja. Ia jadi merasa ikut membebani mereka. "Aku akan bekerja lebih giat lagi, tunggu aku sukses ayah ... ibu ...," ucap Zulaikha sambil mengusap airmatanya. Ia harus bergegas ke kampus sebelum jam delapan. *** Alea--teman dekat Zulaikha--langsung melambaikan tangan saat melihat Zulaikha sampai di kelas. Zulaikha mendekat lalu duduk tepat di sampingnya. Ia dan temannya memilih prodi Pendidikan Guru SD--PGSD di Universitas Negeri yang ada di Jakarta. Sekarang ia sudah semester tiga. Naik busway apa kereta ke sini, Lik?" tanya Alea sambil menyodorkan Zulaikha tissue. "Busway, ramai banget hari ini, padahal kemarin lumayan sepi," jawab Zulaikha sambil mengelap keringatnya dengan tissue yang diberikan Alea. Alea menganggukkan kepalanya. Temannya yang satu ini selalu membuatnya insecure, meski masih muda, kerja kerasnya tidak bisa diragukan. Ia banyak belajar dari sosok Zulaikha yang senantiasa tersenyum meski di balik senyuman itu ada beban yang harus ia tanggung. Selain itu, dia juga perempuan yang taat ibadah, di saat teman-temannya malas salat lantaran tanggung, dia akan pergi sendiri untuk melaksanakannya. "Katanya nih, ya, Lik, dosennya enggak bisa datang gara-gara istrinya lahiran, kalau itu beneran jangan kecewa, ya ...." Bahu Zulaikha langsung turun, padahal untuk sampai kampus ia sudah mengeluarkan tenaga dua puluh menit lamanya. Namun, apa boleh buat? "Aku kira hari ini yang ikut kelas kamu sama aku doang, taunya emang dosennya enggak bisa datang, ya?" Alea menganggukkan kepalanya. "Iya, aku masih di kelas pun karena nungguin kamu, takutnya nanti kamu malah di kelas sampai sore." Zulaikha tertawa pelan, ia tidak mungkin melakukan itu, ia akan tanya kalau memang sedang butuh informasi, sebab ada istilah, malu bertanya akan sesat di jalan, kata-kata itu memang benar adanya. "Terus kamu niatnya mau ngapain, nih?" "Ngerjain tugas yang belum selesai aja deh sampai satu jam ke depan, nanti baru pulang." "Mau langsung pulang? Enggak mau nongkrong sebentar di cafe?" Zulaikha menggelengkan kepala, di rumah ada cucian orang yang harus ia cuci, jadi, selagi ada waktu ada baiknya digunakan untuk hal bermanfaat, jarang-jarang ia punya waktu luang seperti ini. "Please ... kali ini aja, Lik, temenin aku, aku mau ketemu sama seseorang, kamu bilang, kan, enggak baik tuh laki-laki sama perempuan ketemu berduaan, jadi kamu temani aku gimana?" Zulaikha terkekeh pelan, Alea selalu punya cara untuk membuatnya luluh, tapi sayangnya, karena Zulaikha sudah tahu dengan kebiasaannya itu, ia sudah tidak bisa dibohongi lagi. "Maaf, bukannya apa-apa, kamu tau, kan, aku bukan kayak kamu, aku harus kerja keras, Le, nanti deh, minggu kita ke cafe, gimana?" Alea mengerucutkan bibirnya, akhirnya ia mengangguk, lagi pula ia tidak punya hak mengambil waktu luang Zulaikha yang seperti uang itu. "Its okay, jangan bohong, ya? Nanti aku samper, lho, ke rumah kamu." Zulaikha menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Iya, Alea." "Yaudah, aku pulang duluan nih, ya, kamu hati-hati di sini, dah ...." Zulaikha hanya mengangguk sambil tersenyum menanggapinya. *** Di pukul empat sore Zulaikha pergi ke cafe, dia sudah bekerja di cafe itu sejak SMA, pemilik cafe-nya pun sudah kenal Zulaikha dan keluarganya. Pemilik cafe dahulunya teman ayah Zulaikha, karena itu dia menganggap Zulaikha seperti anaknya sendiri. Awalnya Zulaikha pernah melamar kerja di pabrik, tapi dia selalu kena bentakan para senior--entahlah ia selalu salah di mata mereka. Sampai akhirnya Zulaikha memutuskan untuk berhenti, ia akan kerja di cafe dan mencuci baju tetangganya saja. Tetangganya itu memiliki banyak anak, tapi karena istrinya sudah meninggal dan ia harus bekerja, terpaksa menyuruh orang lain mencuci pakaiannya dan pakaian anak-anaknya yang masih sekolah. "Tolong cuci gelas, ya, Lik, aku mau ke Mart sebentar," ucap Anisa, dia salah satu barista juga di cafe tempat Zulaikha bekerja. "Iya, Nis." Zulaikha langsung memakai celemek khusus para barista beserta atribut lainnya. "Gua udah chat, tapi di-read doang, giliran Chika langsung dibales stiker jempol, nasib gini amat, ya .... Kalau gini terus gua kapan lulusnya. Lu mah enak, Kaf, satu tahun lagi lulus S.2 langsung jadi pengusaha muda, lah gua ... mahasiswa abadi yang masa depannya masih suram." "Jadi pelajaran buat lu, jangan banyak begadang, leha-leha, inget umur udah tua, lu emang enggak mau nikah?" "Ah, lu mah kebiasaan, tau aja kalau gua emang pengen nikah tapi jodoh dan rezekinya belum ada." Zulaikha menoleh sekilas ke arah dua laki-laki yang sedang bicara itu. Nampaknya Zulaikha tidak asing dengan salah satu dari mereka. Ia pernah melihatnya di sekitar Fakultas Ekonomi--masih satu universitas dengannya. Ia menggedikkan bahu, tidak ingat dan tidak penting juga untuk diingat. "Kak, Latte sama Americano, ya, di bangku nomor 12," ucap laki-laki yang Zulaikha pernah lihat, dia kini ada di tempat pemesanan. Untuk kedua kalinya Zulaikha menoleh, kali ini laki-laki itu juga melihatnya, dia tersenyum sambil menganggukkan kepala kecil, Zulaikha membalas perlakuannya sama. Lagi-lagi Zulaikha menggedikkan bahu, ia tidak pernah kenalan, hanya pernah berpapasan saja, laki-laki itu memang terkenal dengan keramahannya dengan siapa pun. Setelah menyuci gelas, Zulaikha mulai bekerja, kali ini ia kebagian mengantar pesanan laki-laki tadi. Tanpa banyak bicara ia langsung membawanya ke sana. Namun, beberapa langkah sebelum sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba ada yang menubruk Zulaikha sampai perempuan itu oleng dan menjatuhkan kopi yang masih panas ke d**a laki-laki tadi. Yang menubruk langsung pergi tanpa rasa bersalah, tinggallah Zulaikha yang justru merasa bersalah sekarang. "Ya Allah, pasti panas, ya, Kak, maaf ... saya benar-benar enggak tau bakal kayak gini." Laki-laki itu meringis, tapi kepalanya mengangguk mengiyakan. Zulaikha langsung memberikan tissue kering kepadanya. "Likha, kamu gimana, sih?" ucap Anisa yang baru kembali dari Mart dengan suara tertahan. "Ak-aku enggak niat dan benar-benar enggak sengaja," ucap Zulaikha gugup. "Sekarang, kan, pemilik cafe yang lama udah sakit-sakitan, jadi anaknya yang urus, kalau orang ini sampai minta ganti rugi atau minta biayain ke rumah sakit, kamu bisa diberhentiin tanpa gaji," bisik Anisa. Zulaikha menampakkan wajah khawatir, ia baru ingat akan hal itu. Dan benar saja, Rendy--anak dari pemilik cafe--menghampiri. "Ada apa ini, Zulaikha? Kamu buat pelanggan kepanasan dan sekarang malah diam aja?" "Itu ... sa-saya benar-benar enggak sengaja, Pak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD