My Destiny | 3

3232 Words
Sehabis pulang dari kantor, Alex langsung mendatangi apartemen Rara lagi. Tadi pagi dia dibuat kesal oleh gadis itu, ada-ada saja kelakuannya yang membuat pria itu memijat kepala. Rara berangkat sendirian pagi-pagi ke tempat latihan musik, tidak menunggu Alex untuk mengantarkannya sesuai janji semalam. Alex tahu Rara sangat kecewa padanya, kali ini sangat sulit mengembalikan mood gadis itu. Apa saja yang Alex lakukan nampak sia-sia, dia tetap marah. Beginilah Alex, dia sungguh tak mau peduli dengan apa pun yang menurutnya tidak penting--meski kata orang lain penting--namun jika semua berurusan dengan Rara, dari hal terkecil sekali pun akan bernilai sangat penting bagi Alex. Entah kenapa, dia begitu tak bisa bersikap bodoamat kepada Rara. Mungkin karena mereka sudah bersama sejak masih kecil, bersenang-senang hingga menangis bersama. "Selamat sore, Bibi An." Alex menyapa Bibi An yang sedang membersihkan ruang tengah. Bibi An menghentikan pekerjaannya, menyapa balik Alex dengan ramah. "Selamat sore, Den." Sambil tersenyum lebar, dia mempersilakan Alex duduk sementara dirinya menyiapkan minuman. Alex mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, nampak sepi. Apa Rara belum pulang? Atau sedang istirahat di kamarnya? Tumben sekali gadis itu tidak menghabiskan waktu sorenya di ruangan ini untuk menonton telivisi yang sedang menyiarkan acara kesukaannya. Jika acara televisi tidak sesuai mood-nya, biasanya Rara akan menonton film zombie atau drama yang menguras perasaan bahkan air mata. Dia akan baper sendiri, sambil memakan stik balado. "Silakan diminum dulu, Den." Bibi An datang dengan membawakan jus jeruk, minuman kesukaan Alex dan Rara. Mereka memiliki banyak kesukaan yang sama, kompak dalam hal makanan dan minuman. "Apa Den Alex ingin di siapkan cemilan lain?" Di meja hanya ada beberapa cemilan kering kesukaan Rara, siapa tahu Alex ingin memakan makanan yang lebih berat. Alex menggeleng cepat. "Tidak perlu, Bibi An. Terima kasih, ini saja cukup." Bibi An menganggung mengiyakannya. "Sepi banget, apa Rara belum pulang?" tanyanya langsung ke inti pembicaraan, niat awalnya ke apartemen Rara. Bibi An menggeleng. "Belum datang, Den Alex. Sedari pagi Nona Rara belum kembali dan tidak sama sekali memberikan kabar ke mana dia menghabiskan waktu usai latihan musik." "Benarkah?" Bibi An mengangguk, Alex manggut-manggut. "Apa dia ke rumah Paman Remon?" "Sepertinya tidak, Den. Nyonya Julia kemarin datang, kalau tidak salah mengatakan jika Tuan Remon sedang melakukan perjalanan ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan di sana." Bibi An mengatakan yang sebenarnya. Dia mendengar cukup jelas ucapan Julia kemarin. "Ya sudah, Bibi An. Biar saya coba hubungi dia dulu." "Baik, Den. Saya permisi ke dapur dulu." Setelah Alex membalas dengan anggukan, Bibi An lantas beranjak pergi. Dia akan menyiapkan menu makan malam. Alex menghela napas panjang, kembali memijat pelipisnya ketika kepala terasa pusing. Dia begadang semalam sebab tumpukan pekerjaan menghadangnya, seharian ini dia juga terjun lapangan untuk memeriksa pekerjaan para pekerjanya. Untunglah semua berjalan sesuai rencana--lancar, aman terkendali--coba jika tidak, mungkin dia akan tumbang. Alex kelelahan, dia juga kurang memerhatikan jadwal makannya akhir-akhir ini. Ditambah lagi Rara tidak mengacuhkannya. Pusing tujuh keliling! Alex menempelkan benda pipih berharga hitam tersebut ke telinga, mencoba melakukan panggilan telepon dengan Rara. Ini sudah hampir malam, tapi gadis itu masih berkeliaran di luar rumah. Ke mana sebenarnya dia main sampai tak kenal waktu lagi. "Halo, Lex. Apa lagi sih?" Rara menyahut ketus. Ini panggilan ketiga Alex, barulah gadis itu mau mengangkatnya. Alex mendengkus. "Aku lagi di apartemen kamu, pulang sekarang. Latihan cuman dua jam kan hari ini, kenapa belum pulang sampai sekarang?" "Terserah aku dong! Sudahlah, nanti aja kalau mau ngomong." Rara berniat akan memutuskan sambungan telepon mereka, Alex segera mencegahnya. "Rara, di mana kamu sekarang? Aku jemput. Jangan keras kepala, apa mau aku adukan kelakuanmu kemarin pada Paman Remon?" Rara membelalakkan matanya di seberang sana, emosinya kembali tersulut. "Jangan berani-berani! Nyebelin banget, ya ... aku lagi di rumah temen. Lagi main, puas?" "Di mana alamatnya? Biar aku jemput sekarang. Ini sudah hampir malam, kenapa gak berpikir untuk pulang? Kayak gak punya tempat tinggal saja!" Alex tetap menghadiahi Rara pertanyaan demikian agar gadis itu paham jika main ke rumah teman juga ada batasan waktu, tidak seperti ini. "Aku pulang sekarang!" Setelah itu panggilan terputus, Rara langsung menonaktifkan ponselnya. Dia sedang berada di rumah temannya yang akan berulang tahun nanti malam, mendekor ruangan semenarik mungkin untuk mewujudkan kejutan yang luar biasa. Kemungkinan, habis makan malam nanti Rara akan berangkat lagi dan menginap. Besok hari minggu, mereka akan menghabiskan pagi yang cerah untuk berolahraga bersama. **** Alex tidak pulang, dia memilih membersihkan diri di apartemen Rara sembari menunggu gadis itu datang. Kemudian beristirahat sebentar di kamar tamu yang berada di lantai bawah. Ada beberapa pakaian ganti Alex dalam lemari, sebab dia juga sering menginap di sini untuk menemani malam Rara saat dia sedang banyak tugas. Rara adalah gadis yang pintar, nilainya selalu di atas rata-rata. Tetapi entahlah semenjak lulus kali ini, semua nampak berubah derastis. Yang Alex tahu, Rara tidak seharusnya seperti ini. Dia belum cukup dewasa untuk semua yang terjadi tempo hari. Mengesalkan jika mengingat kejadian itu. Ketika merasa ada perbincangan di luar, Alex segera bangun dari posisinya. Melangkah lebar mendatangi sumber suara. Benar saja, Rara sedang berada di dapur--mengobrol dengan Bibi An sambil mengunyah stik balado, toples kaca itu sedang dia peluk. Seperti yang Alex lihat, Rara baru datang. Dia belum mandi dan mengganti pakaiannya. "Rara, baru pulang kamu?" tanya Alex. Dia mengambil gelas, mengisi air hingga setengah bagian. Sembari menunggu jawaban yang keluar dari mulut Rara, Alex menegak air minumnya hingga tandas. "Heem." Rara mengangguk pelan. Kemudian kembali membuang muka, dia mengajak Bibi An bercerita lagi sambil tertawa kecil. "Malam ini sepertinya aku menginap Bibi An, di rumah Liona. Nanti malam adalah ulang tahun Devina, kami sudah menyiapkan acara spesial untuknya seharian ini." Binar indah dari mata Rara terpancar, gadis itu sangat bersemangat. Alex tersedak air liurnya sendiri. "Kenapa harus menginap?" "Karena aku mau." Rara memicingkan matanya, menatap tak suka pada Alex. "Apa ada teman cowok?" Rara menarik napas. "Tentu saja ada. Kita semu berpasang--" Alex membelalak. "Nggak boleh. Tidak usah menginap, bahaya. Mau disebut apa cewek dan cowok bermalam bersama? Paman Remon juga pasti tidak akan setuju." "Aku sudah meminta izin sama Papi, diizinin kok." Rara mengangkat dagu. Kunyahannya menjadi tegas, pertanda sang empunya sedang kesal. "Lagian kami nggak bakal buat anak di sana, nggak bakal nyoblos sembarangan padahal tahu belum menikah!" sindir Rara dengan mata menyorot murka. Dia teringat lagi kejadian Alex dengan Syeila. Alex memejamkan matanya. "Bukan begitu maksudku, Rara. Kamu mana tahu, lelaki itu licik. Ada banyak cara untuk mengelabui cewek. Jangan anggap semua hal tentang cowok gampang, biasa saja. Yang aku bahas dan takutnya lebih dari ini, aku nggak pengin kamu kenapa-kenapa. Itu saja. Jadi tolong mengertilah." Rara tidak menyahut lagi. Memilih pergi dari sana menuju kamarnya. "Jangan mengikutiku, aku marah sama kamu!" bentaknya kejam pada Alex ketika pria itu membuntutinya. "Apa pun yang kamu bicarakan aku nggak mau denger. Aku tetap akan menginap, meski kamu nggak setuju. Lagian ... nggak penting banget aku minta izin kamu, nggak jelas!" Sebelum Rara berhasil masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu, Alex buru-buru menghalang. Mencekal pergelangan tangannya sembari satu kaki menghalangi pintu agar tidak tertutup. "Rara plis jangan kayak gini. Jangan merajuk kayak anak kecil dong, tumben banget tahu kamu marah sampai begini. Lama banget juga, suka bentak-bentak. Kamu yang nggak jelas." Alex menekankan. Dia sudah tidak tahan berada dalam keadaan seperti ini. Alex ingin hubungan di antara keduanya kembali membaik. "Oke, oke. Aku tahu kamu marah soal kejadian sore itu, aku minta maaf. Ya? Bisa kamu lupakan semuanya? Aku nggak bermaksud mempertontonkan itu ke kamu." Rara menutup kedua telinganya, menggeleng tak mau mendengar apa pun. "Apa sih, Kak? Aku nggak mau denger apa pun, tolong jangan datang dulu. Kamu tahu, sampai kapan pun aku nggak bisa melupakannya. Kamu adalah lelaki paling baik yang pernah aku kenal, kamu nggak begini. Coba ingat kembali dulu saat Kak Alsen menghamili Kak Kania, siapa yang paling marah di antara kita? Kamu! Tapi nyatanya sekarang apa ... sudahlah!" Alex memejamkan mata. "Maafkan aku. Aku tahu aku salah, tapi bagaimana. K-kamu tahu aku adalah pria dewasa. Wajar saja jika aku melakukan itu bersama kekasihku. Kami saling mencintai." Habis sudah, hati Rara kembali diremas-remas oleh kenyataan. Begitu menyakitkan rasanya, kenapa Alex tidak sadar juga jika di dalam dirinya ada cinta yang begitu besar. "Oke." Rara berusaha mengangguk sambil tersenyum manis. "Sudahkan? Aku mau mandi." "Jangan menginap. Aku mohon." "Maaf, tapi aku tetap akan menginap." "Ra ... cowok itu bahaya. Aku sudah berkali-kali mengatakannya." Rara menarik napas. "Nggak semua cowok kayak kamu, jika yang sedang kamu pikirkan saat ini soal ranjang. Nggak semua cowok melakukannya tanpa ikatan perniakahan, Alex! Jangan samakan kamu dengan yang lainnya, jelas berbeda!" "Aku juga memiliki seseorang yang akan aku cintai ke depannya, kekasihku. Jadi tolong sedikit menjaga jarak ya, aku takut dia salah paham karena cemburu." "Masih kecil sudah berpacaran? Belajar yang benar dulu. Kenali dunia orang dewasa baik-baik." "Terserah aku. Aku sudah jauh lebih pandai sekarang dalam hal bergaul. Aku nggak akan tidur sembarangan sama kekasihku, jangan samakan aku dengan Syeila!" Kali ini Rara tidak menyindir, dia mengatakan secara terang-terangan. Alex mengusap wajah. Dia sangat takut terjadi sesuatu kepada Rara. Siapa yang tidak tertarik dengan gadis dengan tubuh semolek Rara? Hanya Alex yang dapat melindunginya. "Aku akan ikut menginap. Aku akan menjaga kamu di sana." Rara membelalak. "Jangan bercanda kamu! Aku nggak ngajak dan nggak akan pernah mau ngajak. Kamu itu udah tua, nggak usah sok ikutan acara anak muda." "Aku tua? Bercanda kamu? Kita hanya beda 6 tahun, jangan berlebihan." Alex menarik senyum miring. "Aku akan berpenampilan agar terlihat seumuran denganmu." "Iya atau tidak sama sekali, Rara?" "Aku bersama kekasihku." "Apa aku harus peduli? Aku hanya ingin menjagamu." "Aish! Kamu menyebalkan, enyah sana!" Rara menyentak cekalan Alex, berlalu begitu saja. "Terserah apa mau kamu, aku pusing! Nggak bisa lihat orang senang sedikit aja, langsung dihancurin. Ada baiknya jika aku jauh dari kamu." Alex yang tadinya sudah diam sembari memikirkan gaya berpakaian apakah yang cocok dia kenakan nanti, tiba-tiba buyar. "Apa maksud kamu, Rara?" "Kayaknya emang lebih baik kita jauhan. Aku akan minta Papi mengirimku ke tempat Ayaa. Aku akan bebas bermain di sana tanpa kamu." Rara melihat kedua tangannya di depan d**a, wajahnya memberengut. Alex masuk ke dalam, mendekati Rara dengan tatapan tajam menghunus. "Tidak akan pernah bisa. Kamu akan tetap di sini, karena aku sudah membuat kesepakatan dengan Paman Remon. Kamu aku yang jaga, jadi jangan banyak bertingkah. Jadilah anak yang manis." "Nye, nye, nye!" Rara mengolok sinis. "Terserah! Kamu memang selalu sok paling berkuasa atas dirimu, tapi nyatanya jika ditanya status ... nggak lebih dari seorang adik. Tidak masuk akal. Aku benci, benci jadi adik kamu. Nggak mau!" "Kalau begitu, mari kita berteman." Alex menaikkan alis, memberikan penawaran menarik. "Sayangnya aku nggak tertarik sama sekali. Mau jadi adik atau teman, kamu tetap menguasai diriku. Seolah aku adalah milik kamu, nyatanya enggak. Ah, sudahlah. Terserah! Aku sudah tidak peduli. Pokoknya jika aku ingin bebas, semua bisa aku lakukan. Aku sudah besar, buat anak pun sudah wajar saja. Begitu kan maksud kamu tadi?" Sebelum Alex menyahut, Rar menghentikannya. "Apalagi? Kita sudah sama-sama dewasa, urusi urusan masing-masing aja. Apa susahnya?" "Sudahlah, kamu terlalu jauh memasuki kehidupanku. Sungguh. Aku ... aku yang paling terluka di sini. Berhentilah dari sekarang, aku nggak bisa selamanya dalam genggaman kamu." Rara tersenyum dengan bibir bergetar. "Yang aku tahu, kamu menggenggam erat bukan karena menyayangiku. Kamu menghancurkanku perlahan." Alex menggeleng. Dia berusaha menggapai tangan Rara. "Bukan seperti itu. Kamu sama Ayaa begitu berarti, kalian berdua adalah adik aku. Bagaimana aku melindungi Ayaa, begitu pula yang aku lakukan padamu." Tapi aku selalu mengartikannya beda, kamu seolah tidak rela aku bersama lelaki lain. Kamu menunjukkan jika diri kamu mencintaiku, takut kehilanganku. Namun nyatanya ... sudahlah. Aku yang salah, aku terlalu banyak berharap. Rara meringis dalam hati. Apa dia terlalu berlebihan sekarang? Harusnya dia baik-baik saja, apa pun yang Alex lakukan dengn Syeila itu bukan urusannya. Kenapa dia harus peduli? Oh s**t! Tentu saja peduli dia begitu mencintai Alex! "Ya, terima kasih telah menyayangi dan menjagaku selama ini. Sudah ya, aku mau mandi. Aku juga lapar, mau makan malam setelah ini." "Baik, tapi aku tetap akan ikut menginap denganmu." Rara menghembuskan napas, lelah berdebat. Setelah memutar bola matanya malas, cepat-cepat Rara beranjak dari hadapan Alex menuju kamar mandi. Berlama-lama berdekatan dengan pria itu membuatnya gila, akal sehatnya lenyap dalam sekejap. Dia masih sama, lemah oleh perkataan manis Alex yang nyatanya selalu mampu memenjarakan. Rara tidak dapat disentuh perasaannya, dia akan luluh. Apalagi orangnya ialah Alex, lelaki yang selama ini dia sukai. Sejak kecil, lama sekali Alex bersemayam di dalam hatinya. **** Usai mandi, Rara membereskan kamarnya yang kelihatan berantakan. Kemudian menyiapkan barang-barangnya untuk menginap. Hampir satu jam dia menghabiskan waktunya beberes, barulah bisa turun ke bawah. Rara sudah tidak sabar ingin mengisi perut, dia lapar sekali. Sungguh jika hanya memikirkan soal perasaannya, ini tidak akan berujung. Pada akhirnya, dialah tetap yang akan memegang posisi kalah, selalu saja harus mengalah. Berjuang pun nampak sia-sia, Alex tidak mencintainya kan? "Bibi An ...," panggil Rara sembaru menuruni satu persatu undakan tangga. Dia bersenandung ringan sambil memegangi ponselnya, musik yang diputar terdengar dari benda pipih nan canggih itu. Bibi An baru saja keluar dari kamar mandi, dia segera menghampiri Rara yang memanggilnya sedari tadi. "Selamat malam, Nona Rara. Apa ingin makan malam sekarang?" tanyanya ramah. Rara mengangguk semangat. Aroma masakan sudah memasuki indra penciumannya sejak tadi, sangat menggugah selera. Masakan Bibi selalu bisa membuat mood Rara menjadi bagus. "Iya, Bibi. Aku sudah lapar banget, pengen makan yang banyak!" jawabnya sambil menarik kursi, duduk di sana dengan benar sementara Bibi An menyiapkan makanan untuknya. Sibuk memerhatikan Bibi An yang sangat telaten, membuat Rara mengingat sesuatu. "Ngomong-ngomong, ke mana pria menyebalkan itu Bibi? Kenapa dia tidak terlihat di mana-mana?" Bibi An langsung dapat menyimpulkan jika pria menyebalkan yang Rara maksud ialah Alex. Memangnya siapa lagi selain Alex yang datang ke tempat ini. "Baru saja keluar, Nona. Katanya ingin menjemput seseorang." Alis Rara hampir menyatu dengan dahi berkerut. "Siapa yang datang?" Belum sempat Bibi An menjawab, Alex datang menyapa riang. Rara menolehkan kepalanya ke arah Alex, lalu menatap tidak terlalu suka dengan wanita yang berada di samping kanannya. Dia ... Syeila. Memangnya siapa lagi? Ck! Buat apa Alex mengajak Syeila ke tempatnya? Awas saja jika melakukan hal tidak benar, dia akan menendang secara kejam Alex bersama Syeila sekalian. Ini tempat tinggalnya, bukan hotel yang bisa dipakai kapan saja untuk berhubungan badan. Wanita itu nampak cantik dengan pakaian santainya, celana jeans panjang dan crewneck hitam agak kebesaran. Dilihat dari penampilan, Syeila sangat menarik. Dia sangat memerhatikan apa yang dikenakannya, sangat pemilih dan kekinian. Rara tidak suka, dia selalu ingin tampil di atas Syeila. Tidak mau kalah, dan tidak akan pernah kalah--kalimat yang selalu dilontarkan untuk berdamai dengan keadaannya sendiri, miris. "Malam, Ra." Syeila menyapa semangat. Senyumnya lebar sekali dengan binar mata penuh kebahagiaan. Rara tersadar dari lamunan, dia membalas dengan senyuman tipis tidak niat. "Hem, selamat malam. Silakan duduk, makan malam akan segera di mulai. Aku sudah lapar sekali. Tapi kalau kalian tidak mau makan, tidak apa. Akan lebih baik, mungkin." Menaikkan bahunya. Sudah sebisa mungkin Rara bersikap baik pada Syeila, jika masih ada kurangnya tolong dimaafkan saja. Bisa jadi saat itu dia sedang tidak baik-baik saja. Memangnya harus bagaimana lagi dia bersikap? Memberengut kesal, bukan pilihan yang tepat. Dia akan menunjukkan pada dunia, jika dia akan tetap baik meski hatinya di dalam sana entah berbentuk apa akibat keseringan dikikis oleh pahitnya kenyataan. Tidak apa, Rara bisa melewati semuanya dengan senyuman. Lihat saja nanti. "Aku senang Alex mengajakku bersenang-senang bersama dengan teman-temanmu." Syeila menunjukkan rasa senangnya kepada Rara. Begabung dengan mengambil duduk di sisi Rara. Rara tersenyum sambil mengangguk. "Baguslah. Meski berbeda umur, tidak menjadi penghalang untuk kesenangan bersama bukan?" Syeila mengangguk. Kemudian tatapannya teralih kepada Alex. "Terima kasih, Sayang." Alex mengiyakannya dengan senang hati, tidak memedulikan perasaan Rara. Lagi-lagi harus mengalah, dan menderita sendirian dengan rasanya yang sudah menggilaa dan tidak tahu diri. Kenapa harus Alex pria yang Rara cintai, apa tidak ada pilihan lain? Sangat sulit, sesakit ini hatinya. Napsu makan Rara seketika menguap entah ke mana, dia jadi kenyang seketika melihat kedua pasangan di hadapannya ini saling mengobrol dan melempar tatapan penuh damba. Oh s**t! Kenapa dia harus cemburu? Ingatlah, Alex bukan milikmu Rara. "Aku selesai, sebentar lagi Calvin menjemput. Aku harus segera bersiap-siap." Rara meminum air putihnya hingga tandas, kemudian berniat beranjak dari tempat duduknya. "Kamu tidak berangkat bareng kita?" Alex terkejut mendengar Rara mengatakan jika Calvin akan menjemput. Bohong! Sebenarnya tidak ada yang ingin menjemput Rara sebelumnya, yang tadi hanyalah alibi. Namun, setelah ini Rara pasti akan menghubungi Calvin. Meminta lelaki itu untuk menjemputmya. Calvin adalah teman dekat Rara, lelaki itu sangat menginginkan Rara menjadi kekasihnya. Calvin sosok lelaki tampan, sangat berkarisma. Dia juga sangat wangi, baik, dan tentu saja tidak sombong meski hartanya melimpah. "Oh, enggak. Aku lupa mengatakannya, sebenarnya aku sudah memiliki janji dengan Calvin." Rara menggeleng sambil tersenyum miring. Kemudian dia berpura-pura lagi jika ponselnya bergetar, ada telepon yang masuk. "Halo Calvin. Oh iya aku baru aja habis makan malam, apa kamu akan segera ke sini menjemputku? Oke, baiklah setelah ini aku akan bersiap. Hati-hati di jalan, aku menunggumu." "Lihatkan, Calvin akan segera datang sebentar lagi. Aku akan bersiap dulu. Nanti kalian datang sendiri aja, akan aku kirimkan lokasinya. Kita bertemu di sana." Tanpa memberikan kesempatan Alex menyela atau melarangnya, Rara lebih dulu melenggang pergi dengan angkuh. Tapakan kakinya lebar, cepat menghilang dari pandangan Alex yang menajam. "Biarlah, Sayang. Rara akan baik-baik saja bersama kekasihnya." Syeila mengusap lengan Alex, memberikan kalimat positif agar pria itu berhenti mencemaskan keadaan Rara. Alex menghembuskan napasnya kasar. "Tetap saja. Dia kadang gila, apa saja bisa dia lakukan tanpa berpikir terlebih dahulu. Kadang aku suka heran, anak siapa dia? Setahuku paman Remon tidak sedikit pun memiliki watak keras kepala, Tante Julia juga. Mereka semua berbanding terbalik dengan Rara." Syeila tersenyum lucu. "Sayang, sudahlah. Tidak perlu terlalu membatasi. Nanti Rara marah lagi sama kamu, mogok bicara lagi. Kamu akan semakin ribet memperbaiki moodnya kembali. Beri dia ruang untuk menikmati masa mudanya. Aku tahu Rara perempuan baik-baik, tidak akan dia melemparkan diri ke sembarangan lelaki. Percaya sama aku." Usapan pada lengannya membuat Alex lebih tenang. Syeila memang paling bisa menjadi menawar emosi bagi Alex. Dia sangat beruntung memilikinya. "Baiklah. Terima kasih selalu berhasil membuatku merasa baik-baik saja. Selalu meyakinkanku untuk hal yang benar." Alex mengusap puncak kepala Syeila dengan sayang. "Makanlah lagi, yang banyak. Kamu jangan terlalu lelah bekerja. Pipimu terlihat menirus sekarang, Sayang." Syeila terkekeh geli. "Iya, aku sedang sibuk persiapan pameran bulan depan. Ada banyak rancangan yang harus aku selesaikan. Doakan hasil karyaku menjadi yang terbaik." Bercerita sedikit, Syeila adalah seorang desainer handal. Namanya cukup terkenal di ibu Kota. Pekerjaannya rapih, hingga memiliki peminat yang begitu ramai. Selain ramah, Syeila juga rendah hati kepada orang lain. Hal ini menjadi nilai tambah untuknya. Masih muda, tetapi sangat berbakat--sukses. Bahkan saat ini Syeila sudah memiliki dua cabang butiknya, lumayan besar dan tak pernah sepi pengunjung dalam setiap harinya. Luar biasa! Di balik tembok, Rara menyandarkan kepalanya di sana. Memegangi dadanya yang terasa amat sesak. Matanya terpejam cukup lama. Lantas mendesah kecewa untuk kesekian kali. "Sial! Cinta yang benar-benar tulus membuat akal sehat seseorang habis tak bersisa. Aish, jangan t***l Rara! Berhentilah bersikap kekanak-kanakan, Alex mempunyai jalan hidupnya sendiri. Sadar, lanjutkan hidupmu untuk masa depan yang lebih baik. Semangat Rara, hidupmu akan jauh lebih indah jika belajar cara memahami kenyataan dan ikhlas." "Oh Tuhan, masalahnya ... kenapa aku sangat sulit mengikhlaskan Alex bersama wanita lain? Pikiranku tak ingin bergerak ke arah sana, dia sungguh menetap pada satu hati saja. Bodoh sampai ke dasar!" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD