Bagian 9

1019 Words
Langkah ini rasanya begitu berat. Namun kukerahkan seluruh tenagaku untuk terus maju, menuju ruangan dokter Lugas.  Sampai di sana, aku segera mengetuk pintu. Dibukakan oleh seorang perawat. "Oh, Pak Anara. Anda sudah datang. Silakan masuk, Pak. Dokter Lugas sudah menunggu. Silakan." Perawat itu mempersilakan masuk dengan begitu ramahnya.  Aku hanya mengangguk, kemudian segera masuk dalam ruangan yang bersangkutan. Dokter Lugas segera menutup berkas yang ia cermati begitu melihat aku masuk.  "Silakan duduk, Pak Anara." Ia mengarahkan tangan kanannya pada kursi di hadapannya.  Aku segera duduk. "Bagaimana hasil pemeriksaan Arkana, Dok?" Jantung ini mulai terpacu lagi detakni. Begitu kencang. Begitu kuat debarannya.  Hati kecilku berdoa supaya hasil pemeriksaan Arkana keluar dengan baik. Meski ia sakit, semoga sakitnya tidak terlalu parah, dan masih bisa disembuhkan dengan mudah. Semoga saja.  Dokter Lugas pun mengambil berkas lain yang sepertinya sudah ia sendirikan dengan berkas - berkas lain. Aku yakin, itu dia hasil pemeriksaan Arkana. Tersimpan dalam sebuah map warna biru. Aku begitu ingin tahu apa isinya. Namun juga begitu takut jika apa yang aku hadapi, ternyata tidak sesuai dengan harapan.  Rupanya dokter Lugas tidak segera membuka berkas itu. Hanya meletakkan itu di atas meja. Kemudian ia beralih pada layar komputer di sebelahnya.  Setelah mouse disentuh, layar komputer itu menunjukkan gambar hasil CT - scan otak, yang aku yakini adalah milik Arkana.  "Apa itu hasil CT scan Arkana?" Aku akhirnya tetap mengutarakan pertanyaan itu, meski sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Hanya ingin membuat diriku sendiri lebih tenang dengan banyak bicara.  "Iya, Pak Anara. Saya akan menjelaskan kondisi Arkana saat ini. Saya minta Bapak untuk tenang, ya." Dokter Lugas bahkan sampai memberi peringatan seperti itu.  Apa ini artinya, kondisi Arkana benar - benar tidak baik? Tolong jangan Tuhan ... tolong. Jadikan putraku sehat - sehat saja.  "Bapak lihat sesuatu dengan tekstur bulat, ukurannya cukup besar, dan berada di bagian belakang kepala Arkana itu?" Dokter Lugas mengarahkan kursor pada sesuatu yang ia maksud.  Tentu saja aku melihatnya. Dan ukurannya memang besar. Hampir menutupi seluruh bagian otak belakang Arkana.  "Itu adalah tumornya. Hampir memenuhi bagian belakang otaknya. Jika saja lebih lambat kita mengambil tindakan, ukurannya akan semakin besar, kemudian akan merusak syaraf motorik Arkana dan juga syaraf optiknya. Alhamdulillah, kita satu langkah lebih cepat. Jadi masih ada harapan untuk kesembuhan Arkana."  Seluruh tubuhku rasanya lemas mendengar penjelasan dokter Lugas itu. Kedua tanganku bergetar hebat di bawah meja. Aku saling mengaitkan tangan ini supaya getarannya berkurang. Astaga ... rasa bersalah dalam dadaku semakin membesar.  Seharusnya memang lebih cepat Arkana mendapatkan penanganan. Sehingga ia tidak perlu jatuh dalam koma seperti sekarang ini.  Tapi Arkana masih bersyukur, karena dokter Lugas bilang, bahwa masih ada harapan sembuh untuk Arkana.  "Lalu bagaimana dengan perkiraan dokter waktu itu? Bahwa dengan kemungkinan kondisinya, ia tidak akan bisa bangun lagi dari kondisi komanya saat ini? Bahwa ia lambat laun akan mengalami mati otak? Saya bahka belum berani bilang ke ibu saya perihal itu. Karena sifatnya masih belum pasti. Karena hari ini pemeriksaan Arkana sudah keluar, apa ada kemungkinan Arkana akan segera sadar?"  Dokter Lugas mendengarkan ucapanku dengan saksama. Namun ia tak segera menjawab. Seperti sedang mengatur kata - kata terbaik, supaya aku tidak akan terlalu terguncang kala mendengar penjelasannya mungkin.  "Setelah hasil pemeriksaan keluar, saya mohon maaf karena harus menyampaikan ini. Kemungkinan untuk Arkana mengalami koma berkepanjangan, itu masih tetap ada, Pak. Karena kondisi seperti ini lah yang saya maksud ketika memberi prediksi waktu itu. Tapi kita masih bisa bernapas lega, karena meski dalam keadaan koma, ternyata tumor itu masih tergolong aman. Maksudnya, jika kita melakukan pembedahan, kemungkinan besar akan berhasil. Dan setelah itu kondisi Arkana diharapkan akan segera membaik, dan ia segera bisa sadar."  Aku mengangguk mendengarkan penjelasan dokter Lugas itu. Rasanya sesak di dadaku urung jua pergi. Meski dokter Lugas bilang ada harapan, tapi entah mengapa perasaan ini mengatakan sebaliknya. Aku benar - benar khawatir.  ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  Aku berjalan gontai menelusuri lorong demi lorong untuk kembali ke kamar Arkana. Hasil pemeriksaan sudah ada dalam tanganku. Rasanya aku ingin melambatkan langkah. Ingin berhenti di suatu tempat dulu, karena aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara menyampaikan ini semua pada Mama.  Sementara Mama tidak mungkin tidak menanyakan bagaimana hasil pemeriksaan Arkana nanti. Terlebih ada map yang dibawa olehku seperti ini. Dan aku tidak mungkin berbohong, karena cepat atau lambat Mama pasti tetap akan tahu. Akan lebih menyakitkan bagi Mama jika ia sampai tahu hal ini dari orang lain, bukan?  Akhirnya aku telah sampai di kamar Arkana. Dan benar saja, baru juga aku sampai di ambang pintu, Mama langsung bertanya perihal keadaan Arkana.  "Gimana, Nara? Apa kata dokter Lugas tadi?" tanyanya. Ia lalu menatap amplop besar di tanganku. "Itu hasil pemeriksaan Arkana, kah?"  Aku hanya mengangguk. Lalu menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Dari gelagat yang aku lakukan ini, aku yakin Mama sedikit banyak sudah bisa menangkap pesan tersiratnya. Bahwa ia harus mempersiapkan diri mendengar berita yang kurang baik.  "Ayo cepat katakan, Nara. Pelan - pelan aja. Mama akan berusaha mengerti. Insya Allah Mama akan kuat. Toh kita tidak berdiam diri, kan. Kita mengusahakan yang terbaik demi kesembuhan Arkana, kan?" Mama berusaha tersenyum di akhir kata - katanya. Tentu saja itu hanya seutas senyuman palsu.  Aku pun berusaha membalas senyum itu meski berat. Baru juga aku hendak menjawab. Tiba - tiba ....  "Pa ...."  Sebuah suara yang membuat aku dan Mama saling pandang, sebegitu terkejutnya kami.  Kami kemudian segera mengalihkan pandangan ke arah yang sama. Ya, pada Arkana. Pada putraku yang tiba - tiba terdengar suaranya, sedang memanggil aku.  Apa yang kami lihat sungguh menakjubkan. Arkana sadar. Kedua matanya telah terbuka. Dan ia memanggil aku. Hatiku rasanya mencelos mendengar suaranya kembali. Betapa aku merindukan suara itu. Betapa aku sangat bahagia karena Arkana akhirnya bangun.  "Kamu sudah bangun, Arka? Ya Allah ... Alhamdulillah ... Papa seneng banget." Aku tidak ragu mengungkapkan betapa bahagianya aku saat ini. Aku pun segera memeluk putraku itu, meski tak berani terlalu erat, takut akan semakin membuatnya sakit.  Mama pun begitu bahagia. Begitu senang mengetahui cucu kesayangannya akhirnya bangun.  Aku kemudian segera menekan tombol emergency di sebelah ranjang Arkana. Agar ia bisa segera diperiksa, dan dipastikan bagaimana keadaannya.  ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  T B C 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD