Devania - 01

1261 Words
"Dokter Vania ini sudah cantik, baik, pintar lagi. Saya pengin deh punya menantu seperti Dokter," ujar wanita paruh baya yang baru saja diperiksa oleh Vania. Gadis berambut panjang itu tersenyum hangat. "Bu Sari ini bisa saja. Lagian kan anak Bu Sari perempuan semua, mana bisa saya jadi menantu Ibu," balas Vania. "Saya sampai lupa gender anak-anak saya. Saking penginnya saya punya menantu seperti Dokter. Anak-anak saya saja jarang jengukin saya loh, cuma Dokter dan suster-suster di sini yang mau merawat saya," ungkap Bu Sari. "Itu sudah kewajiban kami, Bu. Bu Sari tidak perlu sungkan," balas Vania. Seusai berpamitan dengan Bu Sari dan beberapa pasien lain di bangsal itu, Devania berjalan keluar. Ia menghapus peluh di keningnya dengan selembar tisu, kemudian menoleh ke arah seorang suster yang sejak tadi mendampinginya. "Chris, ini bangsal terakhir, kan?" tanya Vania. Ia melirik jam tangannya sekilas. Ia seharusnya dapat menikmati istirahat makan siangnya sejak lima belas menit lalu. Tapi apalah daya, dikarenakan kesiangan masuk, dia juga harus menunda waktu istirahatnya. Apalagi, bangsal yang ditangani Vania adalah bangsal kelas tiga dimana pasiennya hampir selalu membludak, yang mengharuskan Vania sering kali mengabaikan waktu istirahat makannya. "Sudah, Dok. Tapi jam 12.40 nanti Anda ada rapat internal dengan dokter-dokter poli penyakit dalam dan ruang operasi di ruang rapat tiga," ujar suster Christy. Vania mengangguk. "Masih ada dua puluh delapan menit. Makan siang dulu yuk!" ajak Vania. Christy menggeleng. "Saya bawa bekal, Dok. Anda duluan saja!" tolak Christy. Vania kembali mengangguk kemudian bergegas menuju lift untuk kembali ke ruangannya untuk mencuci tangan dan menyimpan jasnya. Vania baru saja hendak membuka pintu ketika sebuah panggilan mengharuskannya menoleh. "Ada apa lagi, Chris?" tanya Devania. "Ada pasien kritis di IGD, Dok." Christy. "Loh, ini kan hari Kamis. Ada tiga dokter yang piket IGD kan?" "Iya. Tapi masalahnya, beberapa waktu lalu ada kecelakaan yang mengharuskan Dokter Budi dan Dokter Ana harus ke lapangan. Sementara itu, Dokter Arman kan sedang mengambil cuti sejak kemarin karena ibu Beliau sakit, Dok. Dan kebanyakan dokter lain masih istirahat makan siang. Jadi perawat IGD meminta saya untuk minta bantuan pada Anda," terang Christy. "Oke. Ayo kita ke sana!" balas Vania cepat. Christy menyusul langkah besar Devania. Keduanya tampak tak sabar menunggu lift yang lama terbuka. Akhirnya, Vania beralih pada tangga darurat. Ia berlari menuruni tangga dari lantai empat ke lantai satu. Begitu pula dengan Christy. "Ada rekam medis pasien?" tanya Vania sembari terus melangkah. "Ada. Tunggu sebentar!" Christy menbuka file yang baru saja dikirim rekannya melalui email di handphonenya. "Princessa Linzy Manuela. Umur enam tahun. Menderita kanker darah stadium tiga. Riwayat penyakit kemungkinan diturunkan dari ibunya yang meninggal dunia dua tahun lalu," terang Christy membari membaca file di ponselnya. "Astaga, gadis se-kecil itu," gumam Vania. "Bruggg..." "Awwwshh.." Vania meringis ngilu saat merasakan kakinya yang keseleo akibat nyaris tergelincir dari tangga. "Astaga! Dok, Anda baik-baik saja? tanya" Christy cemas. "I'm oke. Ayo, Chris!" "Awww..." "Sepertinya kaki Anda terkilir, Dok," panik Christy. Vania menggeleng. Dia mengurut kakinya perlahan kemudian bangkit berdiri. "Enggak kok. Ayo!" ajaknya lagi. Akhirnya, dengan langkah tertatih, Vania kembali melanjutkan perjalanannya. Berusaha secepat mungkin untuk sampai di IGD. Karena ada seorang anak yang sangat membutuhkannya disana sekarang. Hingga tibalah Vania dan Christy di IGD. Ada dua orang suster dan seorang pria berjas dokter yang tengah menangani gadis kecil itu. Gadis yang tampak rapuh, dengan matanya yang terpejam. Bibirnya kering, senada dengan wajah pucat pasinya. Entah mengapa, rasanya begitu sakit saat Vania melihat gadis kecil itu. Vania melihat kesekeliling gadis itu. Ada yang aneh. Sesuatu yang membuat hatinya semakin sesak. "Di mana keluarganya?" tanya Vania. "Hmm.. seperti yang saya katakan tadi, Dok. Ibunya sudah meninggal dunia. Lalu ayahnya, saya kurang tahu, Dok." Christy. Yup. Gadis itu tampak kesepian. Hanya seorang wanita berbaju sederhana yang setia menemaninya dengan wajah kusut khas orang kelelahan. Setetes air mata Vania menetes. Sepi. Tiba-tiba hatinya merasa sepi. Dan itu semua seperti mengalir begitu saja ketika semakin dalam Vania menatap tubuh mungil itu. "Loh, Dokter Vania sudah ada di sini?" tanya seorang perawat jaga IGD. Vania kembali tersadar dari lamunannya dan segera menghapus air matanya. "Kamu tahu di mana keluarga anak itu?" Vania. "Linzy maksud Anda?" Vania mengangguk. "Ibunya sudah meninggal, dan ayahnya sudah menikah lagi. Sementara, keluarga besarnya mayoritas ada di Lampung. Itu yang saya tahu," terang Suster Ari. Hati Vania kembali bergetar. "Sedang apa kamu di situ?" teriak seseorang dengan penuh emosi. Devania tersentak. Suara lantang itu keluar dari mulut Andrea. Dokter tampan itu melangkah cepat ke arah Devania dengan wajah menahan emosi. "Apa saja yang Anda lakukan sebagai seorang dokter? Hah? Dari mana saja Anda?" tanya Andrea dengan penuh penekanan. "Ma.. ma.. maaf. Saya-" "Sekali lagi kamu membuat kesalahan seperti ini, silakan mengundurkan diri dari posisi Anda sekarang!" potong Andrea. "Suster Ari, pindahkan pasien ke ruang anggrek!" lanjutnya. "Ba- baik, Dok," balas suster Ari. Belum sempat Vania angkat bicara, Andrea sudah pergi lebih dulu. Vania hanya dapat membeku di tempatnya. "Maafkan saya ya, Dok tidak bisa membantu banyak. Soalnya tadi Dokter Andrea menanyakan di mana dokter yang lain, dan saya bilang kalau hanya ada Anda yang ada di tempat dan tengah menuju ke sini," ujar Nira, salah seorang perawat jaga di IGD. Vania memasang senyum palsunya. "Tidak apa. Memang salah saya yang terlambat datang. Anak itu baik-baik saja kan?" Vania. Nira mengangguk. "Ck, Nir, Dokter Vania itu tadi telat datang karena kakinya terkilir. Sampai sekarang saja masih pincang gitu. Kamu gimana sih?" tegur Christy pada sahabatnya itu. "Aduh, maaf, Dok. Saya benar-benar tidak tahu. Biar saya yang bantu meluruskan masalah ini pada Dokter Andrea ya?" tawar Nira. Vania tertawa kecil kemudian menepuk bahu Nira. "Tidak perlu, Suster Nira. Tidak apa-apa kok. Makasih ya, Anda sudah membantu Dokter Andrea untuk menyelamatkan gadis kecil tadi. Kalau saja Anda tidak menjalankan tugas itu, dan terjadi hal tidak diinginkan pada gadis kecil tadi, saya pasti akan sangat merasa bersalah," ungkap Vania. Nira kehabisan kata-kata. Ia menemukan sosok dokter yang luar biasa dari diri Devania. Dia memang banyak dikagumi. Bahkan pasien bangsal kelas tiga selalu memuji keramahan dan kecantikan dokter satu itu. Dan kini, Nira sendiri telah membuktikan, seberapa mengagumkannya sosok itu. "Dok, biar saya obati kaki Anda ya?" tawar Christy. Vania seperti tersadar akan sesuatu. Ia melirik jamnya. "Astaga! Lima menit lagi rapat dimulai!" pekiknya. "Aduh, Dok, kaki Anda masih sakit. Anda juga belum makan siang." Christy pun ikut panik dibuatnya. "Saya baik-baik saja, Christy. Di mana ruang rapatnya tadi? Saya lupa." tanya Vania. "Ruang rapat tiga, Dok." "Tunggu! Dokter mau saya belikan sesuatu?" Christy. "Hmm... nasi telur aja dibungkus. Oh iya, mintain sayur kangkung juga ya. Sambelnya nggak usah, saya nggak suka pedas. Minumnya.. hmm.. air mineral aja, jangan yang dingin tapi. Saya biasa beli itu di kantin, boleh ya?" pinta Vania. Nira tertegun mendengar pesanan Devania. Ia tak menyangka dengan kesederhanaan dokter muda itu. Bahkan dari wajahnya, ia tak tampak seperti orang yang kesulitan ekonomi. Sementara, Christy sudah sangat terbiasa dengan hal tak terduga yang Vania lakukan. Vania memang sering meminta tolong padanya dalam segala hal, bahkan pernah sekali Vania sampai menelfonnya karena pulpennya Christy bawa, atau karena jas Vania menyangkut di tasnya dan ia tak berani meminta bantuan pada orang lain. Bisa dikatakan, Christy adalah orang yang paling dekat dengan Vania di rumah sakit ini. "Bisa, Dok. Nanti saya antar ke ruangan Anda ya?" jawab Christy. Vania mengacungkan jari jempolnya kemudian berlalu menuju lift terdekat. "Chris, aku ikut Dokter Vania ya!" ucap Nira. "Iya. Kasihan juga dia, kakinya pasti masih sakit." Christy. *** Bersambung ... Hallowww... yang suka boleh pholow ig riskandria06 yes! Jangan lupa masukkan cerita ini ke pustaka kalian :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD