Ada Kesadaran

2705 Words
Hasrat dan penasaran selalu mengalahkan akal sehatnya. Pikir Nicholas, mungkin satu kecupan di bibir Serlin tidak akan berdampak apapun. Mungkin... semuanya juga akan baik-baik saja setelah Nicholas mengecupnya. Kelopak mata Nicholas akhirnya terpejam perlahan. Ia memiringkan wajahnya dan makin mendekati wajah Serlin hingga hidung mancungnya menyentuh pipi Serlin. Drrtt... Getaran ponsel Nicholas sontak membuat ia menarik diri dari Sherlin dan segera menarik ponselnya dari saku celana. Ia membuka ponsel dan nama Arletta muncul di kolom notifikasi chat-nya. Arletta: udah selesai nganterin tante Vivi shopping? Arletta: lama banget nggak ada kabar Serlin sontak membuka kelopak matanya begitu Nicholas terasa menarik diri darinya. Pipinya langsung terasa memanas, bagaimanapun ia malu. Malu karena tidak jadi berciuman. Nicholas malah sekarang sibuk dengan ponselnya, membalas pesan dari seseorang. Layar bioskop sudah mulai memutarkan film-nya dan Serlin lalu membenahi posisi duduknya menatap lurus kearah layar, mengabaikan Nicholas. Sambil ia kemudian mengambil popcorn dan memakannya banyak-banyak untuk menghilangkan kekesalannya pada Nicholas. Bagaimanapun ia sekarang canggung. Serlin mengunyah dengan raut wajah kesal. Apa-apaan lelaki disampingnya ini?! Bagaimanapun tadi adalah dirinya yang sudah membuka diri, mempersilakan Nicholas menciumnya, yang bakal menjadi ciuman pertamanya. Ah, Serlin juga sudah gila membiarkan lelaki seperti Nicholas menjadi ciuman pertamanya! Nicholas berdeham, kemudian memanggil Serlin. "Lin?" gadis itu menoleh, "udah biasa kan nonton sendiri?" Memilih tidak menjawab, Serlin hanya mengernyitkan dahi-nya. "Kalau aku tinggal... gimana?" tanya Nicholas hati-hati. "Hah?" Serlin semakin dongkol sekarang. Nicholas yang memaksa untuk ikut dan lelaki itu sekarang yang mau meninggalkannya di awal film yang baru mulai. Nicholas menggaruk ujung pelipisnya, menatap Serlin tak enak hati. "Aku lupa kalau mau nyamperin pacar habis nganter mom shopping. Dia udah nungguin di apartemennya." Wait... what? Pacar?! Batin Serlin dongkol di dalam hati. "Kamu punya pacar?" Nicholas mengangguk. "Nyokap nggak tahu tapi." "Astaga," Serlin mengusap wajahnya dan memalingkan wajah dari Nicholas. Bisa-bisanya ia menonton bioskop berdua dan nyaris berciuman dengan lelaki yang punya pacar?! "Ah, gimana kalau aku bawa pacarku kesini aja, oke? Kalian kenalan aja. Habis itu aku antar kamu pulang. Bisa habis aku sama mom kalau biarin kamu pulang sendirian." Celetuk Nicholas. Serlin hanya mengibas-ibaskan tangannya. "Udah deh, mending kamu pergi aja." "Jangan pulang sebelum aku jemput lagi disini, oke?" "Nggak janji." Nicholas yang sudah hampir mau berdiri sampai kembali duduk dan menyipitkan mata menatap Serlin. "Serlin," panggilnya penuh penekanan. Serlin lalu berdecak kesal. "Iya-iya! Udah sana buruan pergi!" "Nah, gitu dong." Nicholas lalu mengacak rambutnya dan meninggalkan Serlin sendirian. Tatapan mata Serlin beralih menatap punggung Nicholas yang semakin lama semakin menjauh. Ia kemudian mengalihkan pandangannya, menatap bangku kosong disampingnya, menatap camilan milik Nicholas yang bahkan belum lelaki itu sentuh. Serlin jadi berpikir, apa dia tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk menjalin hubungan serius dengan seorang pria? *** Sembari menyantap makan sore-nya yang sudah terlambat, Arletta menatap Nicholas yang dari tadi sibuk dengan ponselnya. Bahkan dari menjemput Arletta di apartemen, Nicholas sudah terlihat buru-buru dan wajahnya tidak nyaman. "Kamu nggak makan?" tanya Arletta. "Hah?" Nicholas menatap Arletta sejenak, lalu menatap makanannya yang masih utuh. "Oh, iya-iya." Arletta tersenyum tipis. "Cewek itu kan cuma nonton. Nggak bakal hilang, kali." Nicholas hanya tersenyum sambil mengedikkan bahunya. Masalahnya Arletta tidak tahu kalau Serlin adalah gadis yang keras kepala. Belum lagi kalau sampai Vivi tahu Nicholas tidak mengantarkan Serlin pulang, Nicholas bisa habis kena omel. Dan yang paling fatal sekarang, Nicholas takut kalau Serlin akan bilang ke mommy-nya kalau Nicholas meninggalkan Serlin di bioskop demi menjemput pacarnya. Baiklah, Nicholas benar-benar merasa berengsek sekarang. Sedangkan Arletta biasa saja. Dalam menjalani hubungan, kejujuran adalah kunci utamanya. Nicholas jujur kalau ternyata Vivi mencoba menjodohkan Nicholas dengan anak teman arisannya. Dan ini bukan kali pertama Nicholas coba dijodohkan oleh Vivi. Arletta sudah biasa, Nicholas juga tidak akan terpengaruh oleh wanita-wanita lain maupun mommy-nya sendiri. Walaupun Arletta juga paham kalau Nicholas belum bisa memberitahu Vivi kalau Nic sudah membawa Arletta kembali ke Jakarta, bahkan membelikan apartemen untuk Arletta tinggali. Arletta yang sedang makan sontak terhenti begitu melihat perubahan ekspresi Nicholas. Dari berekspresi datar, menjadi tersenyum cerah saat menatap ke balik bahu-nya. Arletta menoleh kebelakang, dan ia mendapati seorang gadis dengan rambut hitam kecokelatan panjang, yang hanya mengenakan pakaian casual seperti jeans dan kemeja yang dimasukkan, sambil menggunakan sling bag dan sneakers. Penilaian pertama dari Arletta, gadis yang sekarang berdiri di dekat mejanya ini manis dan masih terlihat seperti mahasiswi sekali. "Udah selesai nontonnya? Bagus nggak film-nya?" tanya Nicholas sambil menarikkan kursi untuk Serlin agar duduk disampingnya. Serlin mengangguk. "Bagus." Kemudian menatap Arletta. "Pacarnya Nicholas, ya?" "Iya, aku pacarnya." Arletta tersenyum ramah, kemudian mengangsurkan tangannya kearah Serlin. "Arletta." Serlin merasa benar-benar berbeda dengan Arletta. Wajah Arletta dipoles make-up bak barbie yang cantik, rambut panjang cokelatnya di curly pada bagian ujungnya. Berbeda dengan Serlin yang mengenakan pakaian casual, Arletta mengenakan dress yang terlihat seksi namun tetap sopan, terlebih lagi, Arletta sangat harum dan menggoda. "Serlin." Serlin menjabat tangan Arletta dan balas tersenyum, lalu menatap Nicholas. "Mau pesen makan juga, nggak?" tawar Nicholas pada Serlin, untuk meredakan kecanggungan yang ada. Entah kenapa, ia rasanya canggung dan ingin hilang ditelan bumi saja. *** Mobil Nicholas berhenti di depan lobi apartemen Arletta karena Nicholas mengantar Arletta dulu, baru mengantar Serlin pulang. "Senang ketemu kamu, Serlin." Arletta menoleh ke kursi belakang sebelum ia turun dari mobil. Sedangkan Serlin hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. "See ya." Arletta kemudian turun dari mobil, diikuti Nicholas yang menggenggam tangannya. "Aku anter sampai sini aja ya." Kata Nicholas di depan lobi, lalu melirik kearah mobilnya yang masih menyala. "Nggak enak kalau nganter Serlin kemalaman." "Iya, aku ngerti." Kata Arletta sambil mengalungkan lengannya di leher Nicholas dan memeluknya dengan manja. "Kamu nanti mampir?" Nicholas balas memeluk pinggang Arletta. Dipeluk oleh Arletta seperti ini dan tawaran mampir, tentu saja kalau tidak ada Serlin Nicholas akan segera memakirkan mobilnya di basement dan menghabiskan malam panas bersama Arletta diatas ranjang favorit mereka. "Lihat nanti dulu, deh. Kamu tidur aja duluan." Jawab Nicholas. Arletta menghela napas, kemudian melepaskan pelukannya dari Nicholas dan kemudian mengecup bibir kekasihnya itu. Dari dalam mobil, Serlin langsung memalingkan wajahnya begitu melihat Nicholas sempat-sempatnya berciuman dengan Arletta. Nicholas kemudian kembali masuk kedalam mobil dan menoleh ke kursi belakang menatap Serlin. "Nggak pindah depan?" Tanya Nicholas dan Serlin mendongak menatapnya. "Aku bukan supir taksi online, loh." Serlin hanya menghela napas dan keluar dari mobil untuk pindah kursi penumpang depan. Bagaimanapun ia harus sabar-sabar dengan Nicholas. Lagipula sebentar lagi ia pulang dan pertemuan ini akan segera usai. "Laper nggak sih?" Celetuk Nicholas karena ia bermaksud menghilangkan kesunyian di dalam mobilnya bersama Serlin. Serlin melirik Nicholas, "bukannya tadi kamu udah makan?" "Laper lagi aku." Nicholas meringis. "Mau makan?" "Enggak, makasih." Bersamaan dengan jawaban ketus itu, kemudian terdengar suara perut gemerucuk. Dan Serlin buru-buru meremas perutnya. Perut sialan! Nicholas sontak terkekeh. "Yeee, laper bilang aja laper. Gengsi kok di gedein." "Kamu kok makin lama makin nyebelin sih?!" "Situ juga jutek mulu dari tadi." "Kenapa kamu masih mau sih nurutin kemauan orangtua kita buat jalan sedangkan kamu sendiri sudah punya pacar." Nicholas terdiam sejenak, melirik Serlin, kemudian tersenyum menggoda. "Jadi ini semua karena Arletta?" "Enggak." Serlin mengelak. "Enggak salah?" Nicholas lalu tertawa. "Kan aku juga nggak tahu kalau mom bakal ngenalin aku sama kamu. Aku tahunya cuma disuruh nganterin shopping. Udahlah, kita kerumah aku aja dulu, aku masakin, laper emang bikin emosi." "Anterin aku pulang sekarang atau aku bakal ngaduin ke tante Vivi kalau kamu ternyata punya pacar." Ancam Arletta ketika mobil Nicholas memasuki gerbang komplek perumahan. "Oh, ngancem nih ceritanya?" Nicholas masih tenang, kemudian menghentikan mobilnya di sebuah rumah cluster dengan cat dominan abu bertingkat satu. "Gimana kalau aku juga bilang ke tante Fara kalau anaknya yang terkenal baik dan manis ini nulis novel erotis yang berisi banyak adegan hot. Mau?" Serlin sontak terdiam dan wajahnya memucat. Nicholas kemudian turun dari mobilnya, lalu membukakan pintu untuk Serlin. "Kalau nggak mau, turun sekarang. Temenin aku makan kalau kamu memang nggak mau makan." Nicholas melangkah membuka pintu rumahnya begitu saja, membiarkan Serlin di belakangnya berdiri dengan rasa kesal yang teramat sangat. *** Piring berisi nasi goreng dengan telur mata sapi itu disodorkan kearah Serlin yang masih cemberut saat duduk di kursi kitchen isle. Nicholas kemudian ikut duduk dihadapannya. "Makan." Suruh Nicholas sambil menunjuk Sherlin dengan garpu. "Aku tahu kamu laper dari tadi." Sherlin kemudian mulai menyendok nasi goreng bikinan Nicholas dan melahapnya. "Enak, nggak?" tanya Nicholas. "Jarang-jarang loh aku masakin orang. Biasanya dimasakin Arletta juga. Tapi semenjak punya rumah sendiri jadi kadang-kadang masak sendiri kalau nggak mager." "Kurang asin." Komentar Serlin sambil mengunyah. "Tapi gapapa, masih bisa dimakan." "Dasar," Nicholas mendengkus. "Bilang aja enak, sih." Serlin hanya mengedikkan bahu-nya. Lalu menatap kesekitaran rumah ini. "Rumah ini, kamu beli sendiri?" "Iya, beli pakai uang sendiri hasil usaha selama ini." Jawab Nicholas. "Kenapa beli rumah sendiri? Kan masih bisa tinggal sama tante Vivi." "Rumah ini aku beli buat masa depan." Jawab Nicholas sambil menatap Serlin tepat di matanya. "Buat istri dan anak-anakku nanti. Lagian kalau belum menikah gini, rumah ini buat nongkrong aku sama temen-temen. Rumah ini juga deket sama coffe shopku dan deket sama apartemen Arletta." Serlin berpikir sejenak, seperti mengingat sesuatu. "Aku pernah lihat kamu di Detik Coffee." "Nah, itu coffee shop yang aku dirikan sama Abian dan Kairav. Kita temen SMA dulu." Nicholas tersenyum cerah setiap mengingat coffee shop yang didirikannya bersama dua sahabatnya itu. "Bian? Abian editorku, itu teman SMA kamu?" Nicholas mengangguk, kemudian bertopang dagu. "Bian sempat cerita kemarin, dia masih heran kenapa kamu nutupin identitas kamu sebagai penulis? Bukannya bagus untuk dikenal? Novelmu juga sudah best seller, kan?" "Kurang pede aja. Sama malas dikenal oleh orang lain karena karyaku." Serlin hanya tersenyum kecil.  "Tapi buat apa kurang percaya diri sama karya sendiri? Kamu bisa menulis, menerbitkan buku, best seller sampai diterjemahkan ke Bahasa asing, laku keras di negara lain, bukannya itu sebuah kebanggaan? Belum tentu orang lain punya bakat menulis juga sebaik kamu." Ucap Nicholas. Serlin mengernyitkan dahi, lalu tertawa. "Sebaik aku?" Nicholas mengangguk meyakinkan. "Kata Bian, kebanyakan penulis novel yang mengambil tema erotis isinya hanya melulu soal adegan ranjang. Sedangkan kamu bisa Menyusun cerita erotis itu dengan rapi, penuh konflik, makannya penerbit Bian tertarik." Pipi Serlin sontak memanas dan ia langsung menunduk menatap makanannya lagi sambil mengusap tengkuknya. "Kenapa? aku salah ngomong, ya?" tanya Nicholas memastikan. "Aku... selalu ngerasa aneh tiap bahas novelku ke orang lain. Bahkan ke Bian sebagai editorku sendiri, dan ke kamu." Jawab Serlin. Nicholas sontak tersenyum geli. "Mana yang aneh coba?" Serlin menggelengkan kepalanya, "aneh. Karena orang-orang berkata seolah aku ini memang hebat menulis cerita. Padahal itu cerita erotis." "Terus kenapa? apa yang salah sama cerita erotis? Bagus, kok. Bikin panas-dingin." Celetuk Nicholas yang membuat Serlin melotot protes kearahnya. "Tapi buat aku yang kenal penulisnya, kamu tergolong benar-benar gadis polos yang membuat aku ragu kalau kamu memang penulis novel itu. I mean, novel Sexret benar-benar sepanas itu ceritanya. Dan kamu, bahkan kelihatan masih canggung jalan sama cowok." "Kelihatan emang?" tanya Serlin serius. Nicholas sontak heran. "Serius, Serlin, ini pertama kali kamu jalan sama cowok?" Serlin terdiam dan menggigit bibir bagian bawahnya sambil menghindari tatapan Nicholas. "Nonton cuma berdua sama cowok, itu tadi juga jadi pengalaman yang pertama buat kamu?" Nicholas memastikan lagi dan ketika Serlin hanya bisa mengangguk pelan, Nicholas dibuat melongo. "T-tapi gimana bisa kamu nulis adegan s*x di novel? I mean, aku kira kamu sudah pengalaman." Mendengar itu Serlin sontak menggebrak meja dan menatap Nicholas tidak terima. "Maksud kamu, aku cewek nakal yang hobi s*x bebas sana-sini dan jago banget main di ranjang?!" Nicholas sampai tersedak nasi gorengnya karena ucapan Serlin dan gertakan wanita itu. Serlin kemudian berdiri dari kitchen isle dan melangkah ke kabinet dapur. "Aku mau minum." Kata Serlin masih dengan nada kesal. "Gelasnya dimana?" Nicholas memutar kursinya, menatap punggung Serlin dengan tangan bersedekap di depan d**a. "Yang sopan dong tanya-nya." Serlin membalikkan badan, menatap Nicholas dengan satu alis naik keatas. Nicholas tersenyum tipis, mempraktekan gaya bicara. "Mas Nicholas, tolong ambilin minum." "Aku nggak minta diambilin minum. Cuma tanya gelasnya ada dimana." Jawab Serlin sewot. Nicholas lalu berdiri, melangkah mendekati Serlin. Langkahnya semakin dekat kehadapan Serlin hingga Serlin memundurkan langkahnya dan langkahnya terhenti ketika punggungnya terantuk wastafel di belakangnya. Nicholas berhenti tepat dihadapannya. Kemudian Nicholas mendongak. "Gelasnya ada di kabinet atas. Ambil aja." Serlin yang tidak bisa berkutik apapun kemudian ikut mendongak. Lalu menelan saliva-nya ketika melihat kabinet yang tinggi diatasnya. "Minggir kamu. Aku mau ambil kursi." Nicholas menggeleng. "Nggak boleh naik-naik, ntar jatuh." Serlin menatap Nicholas dengan kesal untuk kesekian kalinya. "Yaudah kamu minggir, biar aku jinjit." Nicholas menaikkan kedua alisnya, lalu mundur selangkah. Sialnya, entah kenapa Nicholas bisa membuat d**a Serlin berdegup lebih kencang daripada biasanya jika berada sedekat ini dengan Nic. Serlin lalu membalikkan badan, berjinjit membuka kotak kabinet di atasnya dan mengambil gelas kaca kecil. Nicholas dibelakangnya diam memperhatikan. Melihat tubuh sintal dan pinggang ramping Serlin dari belakang. Rambut panjang hitam kecokelatannya tergerai indah dari belakang. Banyak pikiran berkecamuk dalam kepala Nicholas saat ini. Entah kenapa, Serlin selalu bisa membuatnya penasaran. Serlin berhasil mendapatkan gelas itu, kemudian bergeser dan menuangkan air mineral kedalam gelas dan meneguknya. Baru tiga teguk air masuk kedalam kerongkongannya, Serlin yang sedang minum dibuat terkejut oleh lengan yang melingkari pinggangnya. Serlin terdiam dengan bibir gelas yang masih menempel di bibirnya. Degup jantungnya sudah langsung berlarian ketika bau parfum maskulin Nicholas begitu dekat dapat ia cium. Nicholas membalikkan badannya hingga Serlin kembali berhadapan dengan Nicholas dan kemudian Nicholas menarik gelas yang dipegang Serlin, menaruhnya begitu saja di meja. Yang tidak terduga selanjutnya adalah, Nicholas menangkup kedua pipi Serlin dengan lembut dan menunduk menempelkan bibirnya pada bibir Serlin. Kelopak mata Serlin melebar, terlalu terkejut oleh ciuman mendadak ini. Rasanya Serlin seperti benar-benar ditarik ke dunia novel yang dibikinnya. Yang ia rasakan sama persis dengan yang ia tulis. Waktu yang berdetik seolah berhenti begitu saja karena terlalu terkejut oleh ciuman ini. Serlin yang belum pernah berciuman, mempraktekan apa yang pernah ia tulis. Ia memejamkan kelopak matanya perlahan. Nicholas mulai mengulum bibirnya dan menggigit bibir pelan bibir bawah Serlin ketika Serlin tak kunjung membuka mulutnya. Bibir Serlin kemudian terbuka dan lidah Nicholas menelusup masuk kedalam mulutnya. Kulit tubuh Serlin meremang, otaknya terasa kosong, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Apa yang ia tulis di novel rasanya sulit di praktekan dalam ciuman yang nyata ini. Sampai Nicholas meraih tangannya dan meletakkannya di leher Nicholas. Serlin lalu mengalungkan lengannya di leher Nicholas. Meremas lembut tengkuk bagian belakangnya ketika tangan Nicholas menekan punggung Serlin sehingga mereka makin berdiri berdekatan dan jarak diantara mereka berdua terhapus. Nicholas memiringkan kepalanya kearah lain, ciuman mereka berdua makin dalam, Serlin berjinjit dan buah dadanya menekan d**a bidang Nicholas. Lidah Nicholas bergelut dengan lidah Serlin di dalam sana, saling bertukar saliva. Bibirnya mengulum dalam bibir Serlin, seolah mencecap rasa bibir polos itu untuk pertama kali dan makin memperdalam ciumannya. Nicholas jelas merasa bahwa ciuman Serlin masih malu-malu. Bahkan jemari Serlin masuk kedalam rambut bagian belakang Nicholas dan meremasnya dengan gerakan kaku. Hingga kemudian Nicholas melepas ciuman diantara keduanya saat oksigen diantara mereka terasa menipis. Serlin terengah, mengira ciuman ini sudah selesai. Tapi bibir Nicholas malah turun ke pipi Serlin, kemudian ke dagunya, dan turun lagi ke tengkuknya. Serlin meremas bahu Nicholas dengan gemetar. Ia tahu apa yang akan terjadi karena Serlin sering menuliskan adegan ini di novelnya. Ia bisa saja mendorong Nicholas, namun Serlin juga memiliki rasa penasaran yang besar. Degup jantung Serlin makin berpacu ketika merasakan hembusan napas berat Nicholas di tengkuknya. Nicholas membuka mulutnya, mengecup tengkuk Serlin dan menghisapnya. Napas Serlin tertarik, ia mengulum bibirnya ketika lidah Nicholas menjilat tengkuknya dan menggigit tengkuknya pelan hingga Serlin terengah begitu saja. Serlin memejamkan mata rapat-rapat dan meremas bahu Nicholas. Ia tidak menyangka terengah karena Nicholas mengecup keras tengkuknya. Gerakan Nicholas begitu luwes membuka satu persatu kancing kemejanya dan menelusupkan tangannya kedalam kemeja Serlin. Telapak tangan Nicholas meraba pinggang ramping Serlin dan perut ratanya. Napas Serlin makin memburu. Ini pertama kalinya seorang pria menyentuh kulit tubuhnya—pinggangnya dan perutnya, kemudian naik lagi hingga telapak tangan Nicholas menangkup buah d**a Serlin yang masih tertutupi bra. Kepala Serlin pening. Nicholas kembali lagi menariknya dalam ciuman dalam sambil meremas kuat buah d**a Serlin hingga Serlin melenguh dalam ciumannya. Gila, ini gila! Bahkan dalam pertemuan pertama Nicholas bisa merenggut ciuman pertama Serlin, bahkan lebih dari sebuah ciuman. --- Author Note Jangan lupa klik love di bagian sinopsis untuk menambahkan cerita ini ke reading list kamu. Tolong tinggalkan komentar yang menyenangkan! xoxo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD