Chapter 08

1986 Words
Won Woo berjalan dengan santai menyusuri istana Gyeongbok. Kedua tangannya kosong karena larangan membawa senjata saat masuk ke istana, namun biasanya pemuda itu dibebaskan membawa senjata karena dia merupakan seorang putra dari Menteri Pertahanan. Tapi karena hari ini dia datang sebagai seorang pelajar Konfusius Sungkyunkwan, dia juga harus mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Mengarah ke paviliun yang ditinggali oleh Lee Seung. Saat itu Won Woo tidak sadar bahwa Lee Seung dan Jung Seok berjalan cukup jauh di belakangnya. Jung Seok yang menyadari kehadiran bangsawan muda itu lantas berucap, "sepertinya tuan muda Han sedang mencari Pangeran." Lee Seung memandang ke arah yang dimaksud oleh Jung Seok dan mendapati sosok Won Woo. Langkah Lee Seung tiba-tiba berhenti, membuat Jung Seok menatap penuh tanya. "Kenapa Pangeran berhenti?" "Aku ingin keluar sebentar." Lee Seung berbalik dan berjalan ke arah mereka datang sebelumnya. Jung Seok terlihat bingung, memandang kedua bangsawan itu secara bergantian sebelum memutuskan untuk menegur Won Woo. "Tuan Muda Han Won Woo." Langkah Won Woo terhenti, dengan cepat ia berbalik. "Oh! Kak Seok?" Won Woo sedikit melongokkan kepalanya ke samping dan melihat pergerakan Lee Seung yang pergi menjauh. Dia kemudian mengeluh sembari berjalan menghampiri Jung Seok, "ya ampun ... tega sekali meninggalkanku." Setelah sampai di tempat Jung Seok. Won Woo lantas bertanya, "kak Lee Seung ingin pergi ke mana?" " Pangeran mengatakan bahwa dia ingin keluar sebentar." Won Woo kemudian menyusul Lee Seung, begitupun dengan Jung Seok. Melangkah dengan lebar, Won Woo dan Jung Seok kemudian bisa menyeimbangkan langkah mereka dengan Lee Seung. Won Woo berjalan di samping Lee Seung dan lantas menegur, "Kakak ingin pergi ke mana?" "Mencari angin," jawab Lee Seung, singkat seperti biasa. Won Woo kembali bertanya, "kenapa Kakak tidak bergabung dengan pelajar lainnya?" "Aku tidak mendapatkan jabatan apapun, untuk apa aku bergabung?" jawaban yang lebih panjang dan berhasil mengejutkan Won Woo. "Hah! Sungguh? Ah ... tidak mungkin. Kakak menempati peringkat pertama, mana mungkin Baginda Raja tidak memberikan apapun pada Kakak." Lee Seung memandang. Kemudian balik bertanya, "bagaimana denganmu?" "Aku? Aku akan meneruskan karir ayahku, jadi aku tidak membutuhkan jabatan di pemerintah. Tapi sepertinya beberapa anak pejabat juga tidak mendapatkan tempat di pemerintahan kecuali bagi mereka yang sudah menikah." Lee Seung tak lagi menyambung pembicaraan, dan ketiganya berjalan bersama dengan mulut yang terkatup rapat. Namun Won Woo yang memang tidak suka dengan situasi semacam itu, lantas kembali memulai pembicaraan. "Jika Kakak ingin pergi keluar, mampirlah ke rumahku sebelum kembali. Ayahku sering kali menanyakan kabarmu." "Di mana beliau sekarang?" "Sepertinya masih ada di istana. Tapi dia tidak memiliki agenda untuk pergi jauh." "Aku akan berkunjung nanti malam." Won Woo tersenyum. Dia kemudian menoleh dan menegur Jung Seok, "Kak Seok juga. Kita makan besar di rumahku sebagai perayaan." Jung Seok hanya menjawab dengan anggukan singkat. Dan setelah berjalan tak terlalu jauh, langkah mereka melambat ketika dari arah berlawanan Lee Hyuk datang bersama Hyeon Woo. Hanya dalam hitungan detik, mereka sudah saling berhadapan. Senyum ramah Lee Hyuk menjadi sambutan akan pertemuan mereka. Jung Seok dan Won Woo lebih dulu merendahkan kepala mereka sebagai pengganti salam, baru setelah itu disusul oleh Lee Seung. Tatapan ramah Lee Hyuk bertemu dengan tatapan dingin Lee Seung. Dan sang Putra Mahkota lah yang memberikan teguran lebih dulu. "Lama tidak bertemu, Pangeran Lee Seung. Aku mendengar kabar baik tentangmu." Lee Seung menyahut dengan nada bicara yang kaku, "sudah memperhatikanku, aku ucapkan terima kasih, Putra Mahkota." Senyum Lee Hyuk sedikit melebar, namun tak sampai memperlihatkan giginya. "Sudah sangat lama sekali. Aku pikir kita perlu minum teh bersama, itupun jika kau tidak sibuk." "Aku rasa itu adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Dalam waktu dekat, Baginda Raja menyuruhku pergi ke suatu tempat." "Ah ... begitu rupanya. Tidak masalah, aku memahami hal itu. Kita akan melakukannya lain kali ... kalau begitu, selamat tinggal." Lee Hyuk dan Hyeon Woo melewati ketiganya, namun baru beberapa langkah dan Lee Hyuk kembali berbalik. "Ah ... ada yang terlupakan." Ketiga pemuda itu serempak berbalik ke arah Lee Hyuk. Sang Putra Mahkota lantas berucap dengan senyum ramah yang tertahan di kedua sudut bibirnya, "selamat atas kelulusanmu, Pangeran Lee Seung." Lee Seung menunduk dalam, mengantarkan langkah Lee Hyuk yang meninggalkan tempatnya. Pandangan ketiga pemuda itu lantas mengikuti Lee Hyuk, dan saat itu mereka mendengar suara batuk yang sangat singkat dari sang Putra Mahkota. Jung Seok kemudian berucap, "apakah Putra Mahkota baik-baik saja?" Lee Seung dan Won Woo serempak memandang Jung Seok. Namun teguran pertama dilontarkan oleh Won Woo. "Memangnya ada apa dengan Putra Mahkota?" Jung Seok memandang dan lantas berucap, "seminggu yang lalu Baginda Raja mengumumkan rencana pernikahan untuk Putra Mahkota." Won Woo berseru, "ah ... maksud Kak Seok, penyakit kutukan itu?" Dahi Jung Seok mengernyit. "Kenapa Tuan Muda Han mengatakan hal seperti itu?" "Bagaimana bukan kutukan? Setiap kali akan menikah, Putra Mahkota selalu jatuh sakit. Jika seperti itu bagaimana dia bisa menikah?" Saat itu, Lee Seung yang tak menyahuti pembicaraan keduanya justru menaruh perhatiannya pada sosok Lee Hyuk yang semakin mengecil di pandangannya. Sejujurnya dia juga bertanya-tanya tentang kondisi kesehatan Lee Hyuk saat ini. Namun sepertinya banyak orang yang melupakan fakta tersebut ketika perhatian mereka tersita oleh lulusan terbaik Sungkyunkwan tahun itu. Lee Seung kemudian berucap menengahi keduanya, "jika itu memang sebuah kutukan. Maka tugasnya adalah mematahkan kutukan itu sendiri sebelum bisa menjadi Raja." Won Woo dan Jung Seok tampak terkejut. Keduanya serempak memandang Lee Seung. Jung Seok lantas menegur, "kenapa Pangeran bicara seperti itu?" "Tidak ada Raja yang tidak memiliki keturunan. Namun jika tetap dipaksakan, dia akan tewas ... satu-satunya jalan adalah mematahkan kutukan itu sendiri." Menyelesaikan kalimatnya, Lee Seung berbalik dan melanjutkan kembali langkah yang sempat tertunda. Won Woo tampak mempertimbangkan sesuatu sebelum berucap, "benar juga. Tapi apa benar itu penyakit kutukan?" "Tidak ada yang tahu sampai seseorang mengungkap kebenaran," sahut Jung Seok yang kemudian menyusul langkah Lee Seung. "Itu ... sedikit mengerikan," gumam Won Woo sebelum melangkahkan kakinya menyusul keduanya. °°°° Menjelang malam hari, Chang Kyun meninggalkan Sungkyunkwan dan bergegas pulang. Dengan sebuah buku di tangan kanan dan pedang di tangan kiri, pemuda pemilik tatapan sedingin rembulan itu menyusuri jalanan yang cukup sepi. Menyusup ke dalam kegelapan yang terkadang melenyapkan sosoknya ketika cahaya rembulan tak mampu untuk menjangkau tempatnya. Langkah tenang itu terhenti ketika pendengarannya menangkap pergerakan kecil di atas tempatnya. Chang Kyun mendongak, dan suara yang sebelumnya ia dengar hanyalah suara ranting pohon di sisi jalan yang patah. Pandangan Chang Kyun lantas menemukan ketertarikan pada langit gelap malam itu. Sejenak menyusuri kegelapan di langit malam itu, perhatiannya lantas tertuju pada satu bintang yang paling bersinar di langit Hanyang sejak kemarin malam. "Ada yang salah dengan bintang Pangeran Lee Seung." "Memangnya kenapa?" "Bintang Pangeran Lee Seung bersinar lebih terang dibandingkan dengan bintang Putra Mahkota. Yang aku dengar, jika terjadi hal seperti itu, akan ada bencana yang terjadi di istana ..." Pandangan Chang Kyun terjatuh setelah teringat kembali akan perkataan para petugas yang bekerja di Gwansanggam siang tadi saat ia hendak mengantarkan surat dari ayahnya kepada Guru Heo Joon. Tak ingin menghabiskan malam di tempat asing itu, Chang Kyun kembali melangkahkan kakinya. Berjalan cukup jauh. Pada akhirnya Chang Kyun memasuki halaman rumahnya dan bertemu dengan salah satu pekerja yang saat itu hendak meninggalkan halaman. Pekerja itu lantas menegur, "Tuan Muda baru pulang?" Chang Kyun mengangguk singkat dan balas menegur, "apa yang Paman lakukan semalam ini?" "Ah ... bukan apa-apa, hanya memeriksa keadaan." "Kalau begitu cepatlah beristirahat." Chang Kyun melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Memasuki rumah, pandangan Chang Kyun segera menemukan sang ayah yang duduk di ruang tamu. Guru Hye Gak yang melihat putranya datang lantas menegur, "kau baru pulang?" Chang Kyun mengangguk, namun dengan cara yang lebih sopan. "Kalau begitu, segera bersihkan dirimu dan makan." Chang Kyun menutup pintu dan hendak pergi ke kamarnya, namun langkahnya terhenti. Tampak mempertimbangkan sesuatu sebelum memutuskan berbalik dan menghampiri sang ayah yang saat itu menaruh konsentrasi pada buku yang terbuka di atas meja. Chang Kyun menegur, "Ayah." Guru Hye Gak mendongak. "Adakah sesuatu yang ingin kau bicarakan?" Chang Kyun mengangguk singkat. "Jika Ayah tidak sibuk." "Duduklah." Guru Hye Gak menutup buku di hadapannya, sedangkan Chang Kyun segera duduk bersila berhadapan dengan sang ayah dengan meja kecil sebagai pembatas keduanya. Guru Hye Gak memulai pembicaraan dengan pertanyaan sederhana. "Apa yang ingin kau bicarakan?" "Ayah sudah melihat langit malam ini?" Guru Hye Gak sejenak terdiam dengan wajah tenang yang ia turunkan pada putranya. Setelah beberapa detik, Guru Hye Gak pun baru berbicara kembali. "Ada apa dengan langitnya?" "Bintang Putra Mahkota." Segaris senyum tipis terlihat di wajah Guru Hye Gak. "Kau melihatnya?" Chang Kyun mengangguk penuh keyakinan. "Apa saja yang sudah kau dengar hari ini di istana?" "Saat aku berada di Gwansanggam, aku tidak sengaja mendengar orang-orang di sana membicarakan tentang bintang Pangeran Lee Seung." "Apa yang mereka katakan?" "Mereka mengatakan bahwa ini bisa saja menjadi pertanda bahwa akan ada sesuatu yang buruk." "Kalau begitu, masuklah ke kamarmu dan lupakan apa yang kau dengar hari ini." Chang Kyun menatap tak percaya. "Kenapa Ayah bicara seperti itu?" "Kita bukanlah bagian dari keluarga kerajaan. Akan lebih baik jika kita tidak melibatkan diri terlalu jauh." Chang Kyun terlihat ragu. Dengan pertimbangan singkatnya dia lantas berbicara, "bagaimana jika pada akhirnya Pangeran Lee Seung lah yang akan menjadi Raja?" Raut wajah Guru Hye Gak tak menunjukkan perubahan, berbanding terbalik dengan batinnya yang sempat tersentak akan jalan pikiran putranya. "Atas dasar apa kau mengatakan hal itu, Chang Kyun?" "Tidak ada seorang Raja yang tidak memiliki keturunan." "Apa maksudmu?" "Putra Mahkota memiliki cacat yang sangat fatal yang bisa membuatnya kehilangan takhta kapan saja." "Cacat apakah yang sedang kau bicarakan ini?" Chang Kyun terlihat ragu. Namun hanya pada ayahnya ia bisa membicarakan hal itu. "Setiap kali pernikahan disusun, kesehatan Putra Mahkota akan menurun." Rahang Guru Hye Gak tiba-tiba mengeras. "Maksudmu, saat ini kesehatan Putra Mahkota menurun?" Chang Kyun mengangguk. "Tadi pagi aku bertemu dengan Putra Mahkota. Semua orang tampaknya belum menyadari hal itu. Hyeon Woo mengatakan bahwa satu minggu terakhir, kesehatan Putra Mahkota menurun ... aku khawatir jika pernikahan tetap dijalankan, Putra Mahkota akan jatuh sakit seperti yang sudah-sudah." Pandangan Guru Hye Gak terjatuh ke samping. Dia lantas bergumam, "sudah tiga tahun dan kondisi Putra Mahkota tidak membaik." Chang Kyun menyahut, "hal itu bisa saja membahayakan posisinya. Mengingat Pangeran Lee Seung berhasil menjadi pusat perhatian tahun ini ... rakyat pasti akan memilih Raja yang sehat. Dan garis keturunan keluarga kerajaan harus tetap disambung ... jika Putra Mahkota tidak bisa menikah—" "Tahanlah semua pemikiranmu," sergah Guru Hye Gak. "ada banyak jalan untuk menuju Nirwana, namun tidak banyak orang yang bisa sampai di tempat itu ... manusia harus tetap berhati-hati meski ia yakin bahwa ia sudah berada di jalan yang benar ... lisanmu bisa jauh lebih berbahaya dari pada pedangmu. Ingat pesan ayah, jangan mengatakan hal ini pada siapapun." "Lalu apa yang akan Ayah lakukan?" "Tidak ada yang bisa kita lakukan. Istana memiliki orang-orang hebat untuk bisa mencari jalan keluar dari permasalahan ini ... tentang siapakah yang akan menjadi Raja kelak, kita tidak memiliki hak untuk mencampuri hal itu ... sekarang masuklah ke kamarmu." Chang Kyun patuh, beranjak dari duduknya dan menuju kamarnya. Setelah kepergian sang putra, keresahan itu tiba-tiba terlihat di wajah tenang Guru Hye Gak. Guru Besar Sungkyunkwan itu lantas bergumam, "kau pasti tahu sesuatu, Kepala Cenayang Kim."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD