[1]: Moccachino Florenta

739 Words
Now Playing: Bagaikan Langit—Potret “Bagaikan langit di sore hari Berwarna biru sebiru hatiku Menanti kabar yang aku tunggu Peluk dan cium hangatnya untukku.” Semasa hidupnya Caca tidak pernah merasakan jatuh cinta sedalam ini pada seorang cowok, biasanya cewek itu akan bertingkah cuek atau masa bodoh bahkan tak jarang karena sikapnya itulah dia sering diselingkuhi. Hingga Caca bertemu dengan mahkluk bertubuh tinggi yang belakangan ini telah berhasil Caca ketahui namanya adalah Adrian atau yang sok idenya Caca panggil dengan sebutan Ian, meski cowok itu sudah memberitahunya nama dia bukan itu Caca tetap tidak mendengar. Cewek keras kepala itu mana pernah menuruti perkataan orang lain jika dirasanya dia benar? “Jangan panggil nama gue begitu,” ucap Ian kala itu sedang memasang tali sepatu yang terlepas. Caca berjongkok, dia mengedipkan matanya memerhatikan wajah Ian yang tampak bersinar baginya. “Emang kenapa?” tanya Caca kemudian menyerukan nama panggilan baru Adrian. “Ian? Ian? Kan, lucu!”             Terlalu sering menerima teriakan heboh Caca, Ian tidak lagi kaget ketika cewek itu berseru ceria. “Iya, tapi nama gue bukan itu. Jangan ganti seenaknya,” jelas Ian, kalem.             “Emang kenapa?” ulangnya dengan iris mata melebar, ada kesenangan hadir di hatinya dan membentuk senyuman di bibir merahnya makin melengkung sempurna. “Ah, nggak ada yang manggil lo dengan nama ini ya?” jemari kanannya bergerak, menjentik pelan sambil tertawa puas. “HAHAHAHAHA ya udah anggap aja itu nama panggilan kesayangan dari gue!”             “Ck, gila.” decak Ian lalu berdiri meninggalkan Caca yang masih tergelak memerhatikan punggung tegap lelaki itu.             Caca pernah menyukai cowok lain, namun tidak ada satupun di antara mereka yang bisa menjungkirbalikan hidup Caca dan membuat Caca berkorban dengan tulus.             Bagi Caca cinta pertama merupakan momen di mana orang yang dicintainya, momen ketika berjuang mati-matian dan berkorban untuknya, momen saat menerima baik maupun buruknya orang yang dia cintai, momen yang tidak pernah Caca rasakan tapi hadir kala dia bertemu Ian.             Selama ini Caca mudah melepaskan, dia tidak berkorban apa pun. Dia tidak punya kepedulian yang tulus. Tidak ada rasa sayang yang nyata. Namun berubah saat dia bersama Ian. Cowok itu dingin dan tak terjangkau, tetapi hanya dengannya Caca bisa memahami cinta yang sesungguhnya.             Yang sayangnya hati Ian bukanlah untuknya.             Dan, meski Caca tahu dia pura-pura tak tahu sebab Ian pun tidak berusaha menyingkirkannya. Tepatnya dua tahun terlewati, Caca tidak mendengar kabar tentang Ian lagi. Setelah dia lulus, Caca memutuskan untuk fokus pada pekerjaan yang tengah dia geluti; menulis.             Saking sibuknya Caca bahkan menunda kuliahnya setahun, dia tidak ingin revisi yang membludak mengganggu pendidikannya. Oleh karena itu, sekarang Caca baru mencapai semester tiga dan pertama kali menginjak ubin kampus setahun lalu dengan status yang disandangnya bersama adik kelas; Mahasiswa baru.             Masih segar diingatannya, pertama kali Caca di undang ke grup mahasiswa baru, entah bagaimana caranya langsung banyak cowok yang mengirimi Caca pesan secara personal, mulai dari teman seangkatannya sampai senior-senior dari segala fakultas mendekatinya.             Waktu masih SMA, Caca akui dia memang dekil, kumel, kucel dan tidak terawat. Semenjak memiliki uang sendiri Caca bertekad mengubah dirinya menjadi cantik. Dan usahanya tidak sia-sia, kini layaknya orang norak Caca bahkan mengaca setiap hari.             “Gue beneran nggak sih ini? Kalo kayak gini sih pas SMA, Ian juga bertekuk lutut!” serunya menutup cermin kecil berwarna putih polos.             Perubahan Caca memang drastis. Di mulai dari rambutnya yang panjang terurai, dulu awut-awutan sekarang rapi, badan tambunnya berubah jadi kurus walau tidak sampai kering kerontang, warna kulitnya juga kembali putih bersinar tidak cokelat gosong. Sekarang Caca lebih percaya diri menatap ke depan daripada menunduk karena kalah saing.             Mengendap-endap Caca memasuki aula yang telah ramai diisi oleh kumpulan mahasiswa baru yang kompak pakai almamater kuning. Dia melongok ke kanan dan kiri mencari temannya.             Dyxon bilang dia ada di sini bersama anggota BEM, laki-laki itu terpilih jadi volunteer yang membantu mereka mengurus acara wisudaan. Jika bukan karena flashdisk yang berisikan drama korea yang sudah dia download untuk Caca pasti cewek itu enggan mendatanginya di tengah keramaian begini.             Tapi, ada satu dari sekian ribu orang yang berhasil menarik perhatiannya.             Bukan, bukan Dyxon. Melainkan seseorang yang membuat mata Caca langsung menyipit memerhatikannya yang sedang menyandarkan tubuh ke tembok.             Tunggu, cowok tinggi dengan kulit sawo matang itu bukannya Ian?             Kaki Caca melangkah, menghampiri lelaki yang tengah memainkan ponselnya sambil menatap ke satu titik; bangku yang berjejer di hadapannya.             Mulanya Caca tidak yakin, namun ketika dia mempertegas penglihatannya jantung Caca seperti berdetak keras dan minta dilesakkan.           “IAN!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD