Morning Sickness-2

1303 Words
Sesampainya di kantor, Damian meminta sekretarisnya untuk masuk. "Selamat pagi, Pak!" Rachel menyapa dengan sopan. "Pagi, Rach, masuklah." Damian mengempas duduk di kursinya, mengembuskan napas berat kemudian merapikan jas dan dasi. Rachel memperhatikan wajah atasannya yang tidak seperti biasa. Dan mencoba menebaknya. Dia tersenyum tipis sebelum mulai bertanya di balik map yang ia peluk. "Bapak kenapa? Seperti bahagia tapi ada rasa kesalnya juga?" selidik Rachel mencoba untuk akrab dengan atasannya yang tidak semenyeramkan atasan dalam kisah novel. "Yeah, Rach. Aku memang sedang sangat bahagia tapi ... juga dibuat kesal oleh istri aku," jawab Damian dengan ramah. "Oh, um ..., pasti ada kaitannya dengan kehamilan Bu Auris?" Rachel mengambil duduk di hadapan Damian akhirnya. "Ya, memang tentang itu, bukan hanya berkaitan, tetapi mutlak karena itu." Rachel tertawa kecil sembari menyerahkan sebuah map di tangannya kepada Damian yang menerima sambil mengembus napas berat lagi untuk kedua kalinya. "Boleh aku tau? Mungkin Bapak akan sedikit lega." Damian mengalihkan pandangan dari dokumen untuk menatap Rachel. "Aku memang akan mengatakan kepada kamu, Rachel." Damian menutup kembali dokumen laporan list member untuk sebulan ke depan. "Katakanlah Pak, Anda bisa mengecek kembali laporan itu nanti," pinta Rachel dengan sangat sopan. "Aku rasa isi kepala Bapak itu jauh lebih penting untuk segera dikeluarkan," tutur Rachel lagi. "Morning sickness, Rach. Auris sedang mengalami itu untuk pertamakalinya pagi ini. Dan aku, diabaikan." "Diabaikan bagaimana maksud Bapak?" ulang Rachel dengan senyuman ramah. "Hmm, dia sangat manja hari ini karena morning sickness itu. Aku sangat ingin dia manja kepadaku, sebagai seorang suami yang sangat mencintai dia. Tapi apa? Dia mengabaikan aku, dan dia lebih memilih Mommy-nya, dia seperti seorang bayi," keluh Damian. Rachel tak bisa manahan tawa kecilnya. "Ya namanya juga anak tunggal, sudah biasa dimanja, dan mereka sangat dekat. Bapak maklumi saja dulu. Nanti juga ... Bapak akan merasakan betapa manjanya seorang istri yang sedang hamil. Terlebih lagi dikehamilan pertama saat ini." Damian tersenyum. Untuk pertamakalinya Rachel melihat atasannya tersenyum tipis namun sangat terpancar rona bahagianya yang akan segera menjadi seorang ayah. "Thank you Rachel, aku senang kamu bisa jadi teman bicara yang nyaman. Aku pun tidak suka situasi pekerjaan yang kaku." "Aku juga senang bisa memiliki atasan yang tidak seperti kebanyakan orang yang, yah ... Bapak tau sendiri maksud aku." Damian mengangguk. "Oke. Um ..., bagaimana pelanggan kita di tahun kemarin dan awal tahun baru ini?" "Sangat signifikan, Pak. Aku optimis di tahun baru ini kita akan sangat berkembang. Ditambah lagi di zaman sekarang ini yang namanya pengamanan sangat dibutuhkan. Belum lagi, perkembangan media sosial, gengsi masyarakat semakin tinggi, tidak terkecuali soal pengawal pribadi. Selebriti atau pun idola tidak hanya ada karena televisi sebagai aktor atau penyanyi dan sebagainya. Tapi juga melalui media ** dan youtube." Damian meninggikan alis kemudian mengangguk. Menautkan jari - jarinya sebelum mulai bicara. "Yeah, benar. Aku mengerti maksud kamu. Kalau begitu ... harus ada tim kreatif yang kita rekrut untuk bagian promosi dan iklan. Kita bisa memiliki ** dan juga channel youtube sebagai media promosi kita." "Aku setuju Pak. Kalau begitu akan aku buat lowongan untuk tim ini. Berapa orang yang Bapak butuhkan?" Damian sedikit berpikir. "Hm ..., mungkin untuk sementara ... empat saja dulu. Dua untuk bagian **, dan dua untuk bagian youtube. Kita lihat dulu nanti perkembangannya seperti apa jika ingin menambahkan karyawan baru." "Baik, Pak. Aku mengerti dan akan aku kerjakan sekarang juga." "Silahkan." "Permisi, Pak." Rachel beranjak dari kursi. "Rach." "Iya, Pak?" dia berbalik. "Terima kasih." Damian tersenyum. Rachel tersenyum sebelum benar -benar pergi dari ruangan Damian. Sepeninggal Rachel, Damian meneliti kembali list membernya. Sebagian besar adalah memberi besar. Dia tentu akan lebih memimpikan perusahaannya akan lebih besar karena ia sudah memiliki calon pewaris. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk putranya. Tidak peduli kakeknya memiliki banyak perusahaan yang mungkin saja akan ia wariskan, sebagai ayah ia tak mau hanya mewariskan nama belakang. __ Seharian Damian berpikir keras di dalam ruangannya yang menghadap separuh pusat Jakarta. Ia menguras seluruh isi kepala memikirkan bagaimana cara memajukan kinerja perusahaan dan menambahkan beragam pilihan sebagai inovasi. Bersaing bukan masalah harga, tapi bagaimana memberikan pelayanan dan pilihan menarik. Ia tak menyadari entah sudah berapa panggilan yang sudah ia dapatkan. Hingga akhirnya ... Pintu diketuk dengan hati - hati. "Masuk." "Maaf Pak." Rachel hanya menyembulkan kepalanya di balik pintu. "Ada apa, Rach?" "Ibu Auris menghubungi Bapak sejak tadi." "Astaga! Baiklah, terima kasih." "Permisi, Pak." Menutup kembali pintu. Damian buru - buru mencapai meja kerjanya. Meraih benda penting yang sejak tadi memanggil namun ia tak mendengar. Lovely Wife ... Dua belas kali panggilan. Damian segera menghubungi. "Halo sayang, maaf ..." "Dami ..., aku belum apa - apa kamu udah nggak siaga gini jadi suami!" protes Auris dengan nada kesal. "Sayang, aku ..." "Dami ...," Auris merengek sejadinya. "Maaf sayang, hape aku di meja dan nggak aku nyalain nada panggilnya, sementara aku di pinggir ruangan nggak dengar getarnya di meja. Aku pulang sekarang, ya." Damian menarik jas di sandaran kursi, bergegas meninggalkan ruangan tanpa memutuskan sambungan meski hanya mendengar tangisan Auris yang sedang kesal kepadanya. "Kamu di ruangan, tapi hape di meja, kamu melamun di pinggir ruangan?" "Em, iya. Em, tapi bukan melamun,aku sedang berpikir." "Tentang apa?" Damian menahan diri di pintu, mendongak dan bertemu pandang dengan Rachel yang sedang duduk di mejanya. "Anak kita. Masa depan anak kita." Damian menutup pintu berjalan ke arah Rachel sambil terus mendengar apa yang Auris katakan masih dengan nada manjanya. "Dami ..., nggak usah kejauhan mikir dulu. Kamu pikirin dulu gimana perkembangan anak kamu di perut aku." Damian membelalak begitu pun Rachel. Kemudian berusa mengatakan sesuatu pada Rachel hanya dengan gerakan bibir yang Rachel coba pahami hanya dari sudut pandang situasi kehamilan pertama istri atasannya. Rachel mengangguk ketika ia mengerti bahwa atasannya akan segera pulang dan mengerti apa yang harus ia lakukan sebagai sekretaris. Damian terburu - buru pergi tanpa menyingkirkan benda pipih di telinganya. Rachel menggeleng pelan kemudian tersenyum. "Jadi itu, alasan Pak Damian semangat banget ningkatin kinerja perusahaan? Pemikiran orang kaya memang rumit." Rachel menyisir rambut sebahunya ke belakang. "Takut banget anak keturunannya hidup miskin. Padahal kakeknya aja ..., raja bisnis." Menautkan jari - jarinya, menopangkan pada dagu. "Hei, ngapain lo komat - kamit kaya mbah dukun aja?" seorang pria bertubuh kekar, atletis, wajah tampan, ciri khas bodyguard film hollywood banget, ia duduk di ujung meja milik Rachel. "Enggak, gue lagi merhatiin Pak Damian." "Naksir, ya?" tuduhnya sembarangan. "Ih, apa - an sih lo! Gue heran aja, kenapa pemikiran orang kaya itu selalu jauh ke depan. Kalo orang susahkan paling mikirnya gimana besok." "Memangnya si Boss mikirin apa - an?" dia Petra, bertanya dari sisi seorang pria. "Ehm, istrinya Pak Damian lagi hamil. Belum juga sebulan Pak Damian udah mikirin masa depannya. Padahal, jelas -jelas masa depan calon bayi itu udah terjamin tujuh turunan dari warisan Atmadiraja, kan." "Elo salah, Hel. Itu artinya si Boss emang beneran orang baik, nikahin istrinya beneran karena cinta bukan karena hartanya. Liat aja, dia masih sibuk mikirin apa yang bisa dia kasih ke anaknya yang jelas - jelas belum lahir. Dia nggak mau hanya pasrah mengandalkan apa yang akan anaknya dapetin dari si kakek. Itu baru laki namanya!" "Keren ya, Pak Damian." Rachel tersenyum lalu menggigit bibir bawahnya. Menyandarkan punggung di kursinya lalu berkata, "coba aja gue yang ..." "Elo nggak dapet big Boss, dapet gue aja mau nggak?" Petra memainkan alinya. "Apa - an sih, lo!" "Serius." "Eh, elo nggak ada tugas ngawal?" "Ada." Rachel meneliti layar komputernya. "Hari ini lo kosong. Besok elo ngawal Nyonya Bachir yang akan bepergian keliling Eropa dengan kapal pesiar." "Hari ini tugas gue ngawal tuan putri. Ini lagi tugas." Seketika Rachel tersipu. "Udah sana pergi. Nggak butuh dikawal gue." "Gue tunggu sampe makan siang. Bentar lagi." Rachel menggeleng pasrah sementara Petra tersenyum puas. ___ - - - - - - - - - - - - - *** - - - - - - - - - - - -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD